Kamis, 22 Mei 2008

Mengantar Republik Memasuki Era Baru (100 Tahun Kebangkitan Bangsa; Refleksi untuk Kaum Muda)

Oleh Arip Musthopa, SIP
Ketua PB HMI 2006-2008

100 tahun yang lalu tentu berbeda dengan kondisi saat ini. Hal yang paling nyata dan penting tentang perbedaan itu adalah 100 tahun yang lalu, Negara Bangsa Republik Indonesia masih merupakan suatu impian, cita-cita. Bahkan mungkin belum terpikir apabila kelak namanya adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berideologikan Pancasila. Kekuasaan pemerintahan atas tanah nusantara ketika itu masih diperjuangkan untuk direbut dari Pemerintah Hindia Belanda. Namun kini, Negara Bangsa Republik Indonesia telah ada bahkan telah berusia cukup tua, 63 tahun. Begitupun dengan kekuasaan atas bumi nusantara, sudah ada dalam genggaman.

Persoalannya sekarang bukan lagi bagaimana membentuk Negara dan merebut kekuasaan seperti pada 100 tahun yang lalu. Tapi bagaimana menggunakan kekuasaan sehingga cita-cita kita berbangsa dan bernegara sebagaimana tertuang dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 dapat terrealisasi. Inilah perbedaan kontekstual penting yang pertama yang harus dialamatkan dalam refleksi 100 tahun kebangkitan bangsa.
Selanjutnya, sejak reformasi dan amandemen UUD 1945, kekuasaan Negara berada dalam genggaman pemerintahan, bukan pemerintah. Walaupun pemerintah masih sebagai pemegang otoritas dengan porsi yang terbesar, “kue” otoritas pemerintahan sudah terbagi kepada legislatif, lembaga yudikatif, Bank Indonesia untuk moneter, pemerintah daerah, dan sebagainya. Kondisi ini berbeda dengan situasi masa Orde Baru dan Orde Lama di bawah UUD 1945 sebelum di amandemen yang membagi “kue” kekuasaan bukan saja terbesar kepada Pemerintah (eksekutif) namun juga dominan dan tersentral. Bahkan dalam kedua era tersebut, kekuasaan bukan lagi melekat pada lembaga namun telah mengalami personalisasi, melekat pada figur presidennya.
Perubahan yang sangat penting dan mendasar ini menuntut paling tidak tiga konsekuensi. Pertama, kita tidak lagi dapat berharap akan tampilnya pemerintah ataupun sosok presiden yang kuat dan dominan karena itu sama dengan memutar arah jarumnya ke era Orde Lama dan Orde Baru. Paling jauh kita hanya berharap tampilnya suatu pemerintahan yang efektif, itupun dengan catatan seorang presiden atau pemerintah tidak bertepuk sebelah tangan. Tepukan akan menghasilkan apabila tangan kekuasaan yang lainnya baik itu dari legislatif, yudikatif, pemerintah daerah, dan lain-lain juga melakukan hal yang sama.
Kedua, apabila kita tidak dapat berharap lahirnya pemerintah yang kuat apalagi sosok presiden yang kuat karena iklimnya yang tidak kondusif, lantas kepada apa semestinya kita memberikan perhatian atau harapan? Perhatian semestinya ditujukan pada pembangunan kelembagaan sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, dimana pun kita berada, kita harus membangun dan memperkuat peran kelembagaan dari lembaga yang kita pimpin atau tempat dimana kita bekerja. Peran kelembagaan yang kuat dan efektif tersebut akan memberikan kontribusi pada harmonisasi sistem sehingga tercipta sistem berbangsa dan bernegara yang kuat. Bila ini yang terwujud, kepada sistem itulah kita dapat berharap.
Ketiga, bila titik kekuasaan sudah tersebar, apabila peran, fungsi, dan tugas sudah didistribusikan, maka upaya untuk menggerakkan kekuasaan dan otoritas tersebut kepada suatu fokus dibutuhkan effort yang lebih besar dan bahkan juga waktu. Dalam kondisi yang demikian, peningkatan intensitas dan kualitas koordinasi dan komunikasi adalah kata-kata kunci sebagai solusi. Konon, permasalahan komunikasi dan koordinasi antar setor pemerintahan saat ini betul-betul merupakan kendala yang cukup serius dan berperan penting memperlambat kinerja dan menciptakan misunderstanding dalam pemerintahan.
Ruang kekuasaan yang lebih terdistribusi dan terbuka dengan tingkatan yang variatif tersebut sesungguhnya merupakan kesempatan yang sangat baik untuk tampilnya sosok-sosok yang lebih muda. Sosok-sosok yang bukan semata muda secara usia namun yang lebih penting secara gagasan dan semangat. Kaum muda Indonesia ditantang secara serius untuk memanfaatkan kesempatan emas ini. Yakni, kesempatan untuk menduduki pos-pos penting dan strategis dalam lembaga publik maupun swasta dan berperan meningkatkan kapasitas lembaga tersebut untuk masa depan bangsa yang lebih baik dalam jangka panjang, bukan untuk sesuatu yang artifisial.
***
Konteks kedua yang penting dari 100 tahun kebangkitan bangsa adalah pada faktor kualitas sumber daya manusia dan sosial budaya. Kemampuan mendirikan organisasi modern Budi Utomo yang kemudian disusul oleh organisasi lain seperti Sarekat (Dagang) Islam, Muhammadiyah, Taman siswa, dan lain-lain merupakan kristalisasi dari peningkatan kualitas sumber daya manusia penduduk pribumi sebagai hasil dari politik etis yang diberlakukan Pemerintah Hindia Belanda pada akhir abad ke-19. Hal ini mewartakan bahwa lompatan besar dalam sejarah hanya dapat dilakukan apabila terjadi peningkatan kualitas sumber daya manusia yang signifikan.
Secara sosial budaya, ketika itu media komunikasi dan informasi masih sangat terbatas pada komunikasi tatap muka, surat dan surat kabar. Telepon dan radio belum menjadi budaya penduduk bumi nusantara. Apalagi televisi, komputer dan internet seperti saat ini. Akibatnya, saluran informasi dan pengetahuan masih sangat terbatas. Dinamika secara otomatis menjadi lebih rendah dan berbagai versi dalam memahami dan mengajukan cara pandang dalam kehidupan juga tidak sevariatif sekarang. Sarana transportasi juga masih belum seperti saat ini, saat itu masih belum ada pesawat, bahkan mobilpun belum.
Segala “keterbatasan zaman” ketika itu ternyata tidak mampu menggagalkan ide untuk membuat suatu “lompatan sejarah” yang kemudian kita kenal sebagai momentum kebangkitan bangsa. Ide yang digalang generasi awal abad ke-20 tersebut ternyata mampu menembus batas-batas keterbatasan zaman yang dikungkung oleh ruang dan waktu. Disinilah kita memperoleh pelajaran penting betapa memiliki sumber daya manusia yang lebih berkualitas jauh lebih penting dari sekedar kaya akan sumber daya alam. Oleh karena itu, kita patut “marah” kepada pemerintahan kita yang tidak memiliki paradigma untuk memprioritaskan pembangunan sumber daya manusia, malah sebaliknya, cukup serius dalam mengeksploitasi sumber daya alam. Semestinya strategi yang kita tempuh, mengeksploitasi sumber daya alam untuk berinvestasi di sumber daya manusia secara besar-besaran, bukan ‘sekedar memberi makan’ dan ‘membuat kemajuan-kemajuan artifisial’ yang alih-alih membuat kita semakin maju, malah membangun ‘rumah kertas’ yang rapuh apabila diterpa krisis dan gejolak negatif global.
Sebagai kaum muda Indonesia, kita dituntut untuk meluruskan paradigma pembangunan nasional yang berorientasi ‘sekedar memberi makan’ dan ‘membuat kemajuan-kemajuan artifisial’ tersebut menuju pembangunan untuk membangun sumber daya manusia yang unggul. Karena dengan keunggulan sumber daya manusia, kita akan kuat secara internal sehingga tidak rapuh diterpa krisis dan gejolak negatif global dan dapat meraih segala impian bangsa.
Akhirnya itulah yang menjadi tugas utama kita sebagai kaum muda: mengantarkan republik memasuki era baru; era dimana bangsa ini berorientasi dan berharap pada sistem dan lembaga bukan pada figur, dan berorientasi pada pembangunan manusia Indonesia bukan pada pembangunan yang ‘sekedar memberi makan’ dan ‘membuat kemajuan-kemajuan artifisial’! Wallahu a’ lam.

Read More......