Jumat, 26 Desember 2008

Urgensi Hadirnya Pemilih Cerdas

Oleh Arip Musthopa
Ketika PB HMI sedang mempersiapkan training dan deklarasi gerakan pemilih cerdas tiba-tiba muncul iklan di media elektronik yang mengusung slogan 'menjadi pemilih cerdas dengan memilih yang berkualitas'. Iklan yang diterbitkan oleh Kemeneg Infokom tersebut menggariskan suatu penegasan bahwa terdapat relevansi antara pemilu yang berkualitas dan hadirnya pemilih yang cerdas. Sejauh mana relevansi diantara keduanya itulah yang ingin digambarkan oleh tulisan ini.


Pemilu adalah prosedur demokrasi. Pemilu yang berkualitas berarti sebagai suatu prosedur demokrasi dia tidak berjarak dengan nilai-nilai substansi demokrasi seperti keadilan, persamaan, kejujuran, dll. Keberjarakan antara pemilu sebagai prosedur dan nilai-nilai substansi demokrasi akan melegitimasi proses dan hasil dari pemilu itu sendiri sekaligus membuat tatanan demokrasi kita menjadi rapuh. Merayakan pemilu semata sebagai prosedur hanya akan membuatnya seolah ritual yang miskin makna seperti yang dikeluhkan dari tiap pemilu di masa Orde Baru.

Pemilu yang berkualitas juga mensyaratkan output berupa legislatif dan eksekutif yang lebih baik dari sebelumnya. Pasca pemilu diharapkan terbentuk suatu pemerintahan yang bisa efektif bekerja dalam nafas 'menata warisan masa lalu dan berinvestasi bagi masa depan'. Suatu pemerintahan yang tidak melulu sibuk mengatasi permasalahan aktual tetapi menyiapkan suatu fundamen bagi kehidupan bangsa dan negara yang lebih baik di masa depan.

Agar cita-cita pemilu berkualitas tersebut dapat diraih, paling tidak dibutuhkan kehadiran empat hal. Pertama, penyelenggara pemilu yang fair, mandiri dan independen. Dalam hal ini kapasitas, kapabilitas, dan integritas penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu, dan birokrasi di bawahnya) menjadi pertaruhan. Peran mereka sangat penting dalam menyiapkan 'lapangan' yang baik bagi semua kontestan. Kedua, kontestan pemilu yang harus beretika dan taat aturan main. Dalam hal ini baik partai politik maupun perseorangan peserta pemilu harus mendisiplinkan diri untuk menjaga hasrat kekuasaan agar tidak melanggar rambu-rambu dalam lapangan yang telah disiapkan dengan baik oleh penyelenggara pemilu. Ketatnya iklim kompetisi dan hasrat yang menggebu dapat "memaksa" kontestan mengeluarkan "jurus mabuk" yang bukan saja tidak baik bagi pendidikan politik masyarakat namun juga merusak masa depan demokrasi kita.

Ketiga, media massa yang sehat dan obyektif. Peran media massa dalam mengarahkan proses pemilu dan mempengaruhi hasilnya sangat besar. Oleh karena itu, hadirnya pers yang sehat dan obyektif amat sangat dibutuhkan. Keempat, hadirnya pemilih yang cerdas. Kondisi dan perilaku pemilih sangat menentukan proses dan hasil pemilu. Pemilih yang cerdas akan memilih wakil rakyat dan pemimpinnya yang terbaik, absennya pemilih yang cerdas dapat menghasilkan wakil rakyat dan pemimpin yang tidak kompatibel dengan kebutuhan bangsa dan negara.

Menurut statistik, tingkat pemilih untuk Pemilu 2009 sekitar 80% berpendidikan SLTP ke bawah. Tingkat pendidikan yang rendah tersebut, ditambah faktor keterbatasan akses informasi plus kondisi ekonomi yang kurang menguntungkan dapat mengarahkan pemilih berpikir pragmatis dan "sederhana". Pemilih yang demikian akan dengan mudah menunjuk faktor 'diberi uang', faktor 'penampilan fisik' (tampan atau cantik), faktor 'diberi atribut kontestan', dan sejenisnya sebagai alasan untuk memilih. Padahal itu saja tidak cukup sebagai prasyarat untuk menentukan pilihan yang benar dalam alam demokrasi yang berkualitas. Bahkan pemilih yang demikian akan mendorong lahirnya wakil-wakil rakyat dan pemimpin yang korup dan manipulatif atas aspirasi rakyatnya.

Kondisi mayoritas pemilih yang demikian tentu mengundang keprihatinan dan membahayakan kualitas pemilu dan outputnya. Terlalu mahal masa lima tahun kita serahkan kepada "para pendekar berwatak jahat" (baca: wakil rakyat dan pemimpin yang kurang berkualitas dan tidak baik hati). Disinilah pentingnya pendidikan pemilih oleh 'kalangan tercerahkan' agar hadir para pemilih yang cerdas. Pemilih yang melampui kriteria artifisial di atas. Artinya, tidak mendasarkan pilihannya pada faktor-faktor artifisial tersebut. Dia pro aktif mendaftarkan diri sebagai pemilih, menggunakan hak pilihnya, melawan politik uang, dan beranjak lebih jauh mengedepankan faktor rekam jejak dan program kontestan dalam menggunakan hak pilihnya. Wallau a'lam.

Read More......

Tentang Dualisme KNPI

Oleh Arip Musthopa
Tulisan ini berpijak pada asumsi realitas, terdapat dua kepemimpinan DPP KNPI periode 2008-2011 yang dihasilkan oleh dua Kongres KNPI XII yakni versi Ancol dan Bali, Oktober 2008. Sebagai komponen bangsa yang mengikuti secara aktif proses terbentuknya dualisme tersebut, penulis ingin merefleksi terjadinya dualisme tersebut dan menyumbangkan setitik gagasan untuk jalan keluarnya.


Dalam asumsi 'husnuzan', tidak ada yang menginginkan dualisme DPP KNPI, tidak juga yang terlibat dalam konflik. Cuma 'salah kelola' yang menjadi penyebab perpecahan. Sebagai organisasi tempat berhimpun organisasi kepemudaan, KNPI semestinya menjadi perekat keanekaragaman pemikiran, afiliasi politik, dan aliran kepercayaan pemuda Indonesia. Fungsi perekat KNPI yang kedodoran inilah yang kemudian disesalkan, apalagi terjadi di tengah perayaan 80 tahun Sumpah Pemuda sehingga menjadi anomali sejarah "merayakan persatuan dengan perpecahan".

Inilah titik nadir dari perjalanan sejarah KNPI. Tidak ada yang jaya dalam konflik semacam ini karena logika benar-salah ataupun konstitusional-non konstitusional menjadi "melar" tergantung subyektifitas dan kepentingan. Adu kuat itulah kuncinya, seperti kata Adam Smith "survival of the fittest", yang kuat dialah yang bertahan. Apa yang dapat kita pelajari dari peristiwa "memilukan" ini?

Inkompetensi, Intervensi, dan Kontradiksi

Penulis memandang perpecahan sebagai permukaan atau output dari sesuatu yang lebih fundamental. Istilah tradisionalnya, "tidak ada asap bila tidak ada api". Tentu ada faktor penggerak terjadinya perpecahan tersebut atau kata Marx, 'basis material'-nya. Paling tidak tiga hal berikut. Pertama, inkompetensi dari kepemimpinan DPP KNPI periode 2005-2008. Kepemimpinan yang tidak fokus mengurusi DPP KNPI dan pemuda Indonesia yang dikombinasikan dengan lemahnya pengalaman kepemimpinan pucuk pimpinan DPP KNPI adalah penyebab dari sisi ini. Wujud nyatanya menjadikan keterlibatan di DPP KNPI sebagai batu loncatan bagi karier politik dan bisnis yang lebih baik. Tingginya kepentingan dari pimpinan dan pengurus DPP KNPI bak anak panah yang mengarah ke segala penjuru mata angin yang merobek cakrawala yang memayungi keutuhan DPP KNPI.

Kedua, Intervensi. Tidak dapat dipungkiri bahwa salah arah 'intervensi' dari kementerian pemuda dan olahraga menjadikan permasalahan menjadi lebih akut. Konflik menjadi lebih sulit diatasi ketika salahsatu pihak merasa di-back up oleh kekuasaan pemerintah, meski kita tahu pucuk pimpinan nasional tidak menghendaki demikian. Akibatnya, semangat perlawanan yang dibalut keyakinan bahwa "saatnya pemuda tidak mengembek kepada kekuasaan" menjadi energi tersendiri yang mengkristal. Dalam proses menuju perpecahan, sebetulnya penulis sempat mengusulkan suatu formula untuk menghindari perpecahan dengan 'Kongres dibuka di Ancol dan Berakhir di Bali' namun sayang dinding-dinding ego dan kepentingan sesaat terlalu tebal untuk dapat ditembus.

Ketiga, Kontradiksi. Organisasi yang sehat tidak dibangun di atas fundamen yang saling kontradiksi. Kontradiksi yang paling kentara adalah KNPI yang hakikatnya adalah organisasi dari, oleh, dan untuk pemuda Indonesia namun diurus dan ditentukan oleh suara 'orang tua'. Maksudnya, sudah lazim diketahui bahwa para pengurus DPP KNPI dan pimpinan OKP banyak yang berusia di atas 40 tahun. Padahal idealnya secara sosiologis dan seperti yang diusulkan dalam draft RUU Kepemudaan yang disusun Kemenegpora, usia pemuda adalah maksimal 35 tahun. Kontradiksi berikutnya adalah OKP yang berhimpun di dalam tubuh KNPI tidak semuanya memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh konstitusi KNPI itu sendiri. Tidak semua OKP yang berhimpun dan memiliki suara dalam voting di Kongres KNPI adalah organisasi yang lingkupnya nasional. Apalagi besar dan kecilnya OKP tidak dihargai dengan prinsip pembagian suara yang proporsional.

KNPI Baru

Dualisme KNPI tidak layak untuk dipertahankan, kecuali memang KNPI tidak lagi dibutuhkan atau lebih baik didirikan organisasi kepemudaan tempat berhimpun yang baru. Sejauh ini masing-masing pihak masih menggunakan logika adu kuat untuk memperoleh pengakuan dan ingin diakui sebagai satu-satunya OKP yang sah. Dalam hemat penulis, selama logika ini yang masih dijalankan, tidak akan ada penyelesaian atas dualisme ini dan keduanya akan menjadi abu, bukan arang seperti yang mereka harapkan.

Dualisme ini semestinya tidak didekati dari penafsiran 'kami yang paling benar atau konstitusional' karena konstitusi KNPI sendiri tidak mampu mewadahi konflik semacam ini. Ada celah konstitusional yang memungkinkan banyak penafsiran konstitusi sehingga terdapat plus-minus dari sudut pandang ini.

Dualisme dapat diatasi dan terjaminkan tidak akan terulang lagi di kemudian hari apabila elit pemuda Indonesia saat ini mau menurunkan egonya dan membenahi KNPI secara fundamental sehingga dapat tercipta KNPI Baru yang mendekati idealitas. Idealnya KNPI sesuai hakikatnya sebagai organisasi pemuda, dihuni oleh pemuda (saja) dengan maksimal usia 35 tahun. Dihuni oleh OKP yang bersifat nasional, memiliki cabang setingkat provinsi di lebih dari 50% jumlah provinsi dan hal tersebut terbukti dengan adanya aktifitas yang kontinyu dan regenerasi yang normal, tidak hanya mengandalkan kop surat, stempel, dan papan nama. Pembagian hak suara didasarkan pada asas proporsional yakni tergantung besar-kecilnya OKP tersebut dan agar terjaga kemurnian dan semangat awal pendirian KNPI maka OKP pendiri harus diberikan hak keistimewaan tertentu seperti hak veto di PBB atau golden share di perusahaan.

Tanpa perubahan yang fundamental dan memaksakan logika adu kuat mungkin dapat menyelesaikan masalah secara artifisial tapi tidak secara substansial dan sangat mungkin perpecahan akan terulang dalam waktu dekat, bahkan berturut-turut karena yang lemah tidak akan sepenuhnya mati. Generasi muda di KNPI, OKP dan Kemenegpora sekarang dihadapkan pada dua pilihan sejarah: membiarkan logika adu kuat berlanjut dan konflik berlarut atau turunkan ego dan bangun KNPI Baru? Saya memilih yang kedua, bagaimana dengan anda? Wallahu a'lam bishshawab.

Read More......

Kamis, 11 Desember 2008

The HMI Way (for Better Indonesia)

Oleh Arip Musthopa

Secara sederhana 'The HMI Way" adalah sebuah istilah yang kami maksudkan untuk menjelaskan tentang jalan yang HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) pilih selama 62 tahun keberadaannya dan bagaimana prospeknya ke depan. Tak terasa jalan yang ditepuh oleh HMI bagi umat dan bangsa Indonesia selama ini telah membuat suatu blok kesejarahan tersendiri yang --paling tidak menurut pengakuan intern-- telah diakui dan layak dilabeli 'The HMI Way' seperti 'The Apple Way', 'The General Electric Way' atau 'The Toyota Way' di bidang lain. Dengan gagasan 'The HMI Way' kami ingin menegaskan tentang "blok sejarah" tersebut, mengkritalisasi nilai dan karakternya, mengevaluasi perjalanannya, memproyeksi, dan mengkontekstualisasinya pada zaman yang terus bergerak dan berubah ini.

Sejak didirikan 5 Februari 1947/14 Rabiul Awal 1366 HMI menegaskan komitmen keislaman dan keindonesiaan secara bersamaan dan sinergis sebagaimana tercermin dalam tujuan awal berdirinya HMI. Dua semangat, yakni keagamaan dan kebangsaan (Nasionalisme) dikawinkan, diharmonisasi dan diracik sehingga saling mengisi selaras dengan visi founding fathers Republik Indonesia di tengah masih banyaknya kalangan muslim yang berteriak hendak membentuk negara Islam. Komitmen awal ini sangat penting karena menjadi bekal awal bagi 'kalangan santri' untuk tidak canggung bernegara, berkiprah secara total dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal sebelumnya, bernegara seolah milik 'kalangan abangan', suatu efek traumatik akibat pendudukan pemerintah kolonial Belanda yang masih kental terasa pada usia dini republik. Pak De (Dahlan Ranuwiwardjo) dapatlah disanjungkan sebagai icon yang secara gigih mempertebal karakter kebangsaan (nasionalisme) pada tubuh HMI di usianya yang masih belia.

Problem berikutnya muncul ketika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, umat Islam dituntut untuk berkontribusi secara lebih optimal di tengah terjadinya kemandekan pemikiran Islam. Singkatnya, antara doktrin dan realitas kehidupan masyarakat tidak connected. Agama terasingkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara yang terus berkembang seiring pembangunan yang terus berjalan. Umat Islam dan kalangan intelektual muslim khususnya tertantang untuk membuat terobosan pemikiran sehingga Islam kompatibel dan kontributif bagi nation-state Indonesia yang semakin modern. Gelegar terobosan pembaruan pemikiran Islampun berhasil lahir dari tubuh HMI di era akhir tahun 1960-an dengan icon utamanya Nurcholish Madjid yang terus berkembang menjadi narasi besar 'Gelombang Pembaruan Pemikiran Islam' hingga tahun 1990an. Pokok-pokok pemikiran Cak Nur yang masih menggema hingga saat ini diantaranya Islam Yes Parti Islam No dan sekularisasi agama (Islam).

Pada saat Orde Baru rising, negara membutuhkan anak-anak bangsanya untuk mengisi birokrasi pemerintahan dan jabatan-jabatan politik sekaligus mensukseskan agenda 'developmentalisme' yang berarti 'negara sebagai agen utama perubahan sosial'. Anak-anak bangsa yang paling siap, dan berkontribusi signifikan dalam menyingkirkan PKI yang melakukan coup de etat tahun 1965, pada saat itu adalah dari tentara dan muslim terpelajar yang pada umumnya anggota HMI atau alumninya. Singkatnya sejarah kemudian mencatat bahwa kader-kader HMI berbondong-bondong masuk ke dalam birokrasi pemerintahan Orde Baru. Walaupun hingga akhir tahun 1980-an untuk jabatan-jabatan politik pada umumnya masih di pegang oleh tentara dan alumni-alumni HMI masih pada posisi second line. Strategi mendekati, mengisi, dan menguasai negara yang diidamkan Islam politik sejak masa Masyumi ini telah berhasil diwujudkan (alumni) HMI pada awal tahun 1990an ketika alumni-alumni HMI mendirikan ICMI. ICMI merupakan icon persetubuhan HMI dengan kekuasaan pemerintahan Orde Baru yang sedang berada di puncaknya.

Ketika era reformasi hadir dan Orde Baru tumbang, payung yang meneduhi kiprah "anak-anak" HMI tiba-tiba goyah dan anak-anak HMI dituntut survive. Kebiasaan "mengurusi negara" yang telah lama tertanam dan ditopang dengan regenerasi yang terus berjalan menjadikannya dapat survive dan bahkan nampak semakin "menggurita" di dalam tubuh birokrasi dan elit politik nasional dewasa ini. Namun kualitas, efektifitas dan keberlangsungan fenomena tersebut masih harus diuji lebih lanjut paling tidak karena beberapa hal berikut. Pertama, negara bukan lagi menjadi pusat kekuasaan dan sumber daya politik satu-satunya. Kini telah hadir trias politica gelombang kedua, yakni state, private, dan civil sosciety yang masing-masing memiliki pengaruh atau akses pada pengambilan keputusan kebijakan publik. Dengan demikian, hanya menguasi negara bukan berarti mengendalikan kekuasaan atas negara. Kedua, aktifis masjid HMI pada akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1980an yang aktif di Lembaga Dakwah Kampus telah melahirkan suatu generasi intelektual muslim baru yang kemudian memiliki karakter dan afiliasi perjuangan politik yang berbeda dengan induknya (HMI). Malah generasi baru ini telah melahirkan organisasi tersendiri yang menjadi kompetitor serius bagi HMI dan mengancam keberadaan HMI itu sendiri karena di sejumlah kampus excellent mereka berhasil mengalahkan HMI dalam merekrut kader. Ketiga, dunia telah memasuki abad XXI yang menuntut perlakuan berbeda dari abad XX. Dibutuhkan pemikiran dan kebiasaan baru yang kompatibel bagi konstruksi abad XXI. Sebagian besar aturan main, tradisi, dan pemikiran HMI dirumuskan di abad XX sehingga dibutuhkan evaluasi dan proyeksi terhadapnya. Padahal sejak erat bersetubuh dengan kekuasaan, tradisi intelektual HMI mengalami proses pemiskinan menuju pemikiran satu arah: political oriented.

Dewasa ini 'The HMI Way' ditantang untuk dapat survive dan kontributif agar Indonesia menjadi lebih baik. 'The HMI Way' harus ditafsir ulang dan diarahkan pada arahnya yang baru sebelum disadari bahwa segalanya sudah terlambat dan tidak mungkin diselamatkan. 'The HMI Way' yang sudah dipilih telah terbukti berhasil namun residunya membuatnya lambat kalaupun bukannya susah untuk membelokkan arah seiring arah zaman yang berubah. Dengan sumber daya anggota lebih dari 100 ribu orang yang tersebar di 186 cabang seluruh Indonesia kiranya kader-kader HMI dengan berbagai kontribusi dari alumninya yang berjumlah jutaan mampu menyelamatkan bahtera HMI. Bila kelak demikian, maka 'The HMI Way' memang selalu tepat menjawab tantangan zamannya. Wallahu a' lam. Yakin Usaha Sampai.

Read More......

Secuil Gagasan tentang Kepemimpinan Kaum Muda

Oleh Arip Musthopa

Wacana kepemimpinan kaum muda sangat penting untuk mendorong sirkulasi elit yang telah 10 tahun reformasi masih belum maksimal. Adalah hukum alam bahwa sirkulasi atau regenerasi itu penting untuk menjaga agar sistem berjalan dengan sehat dan terdapat keseimbangan antara tradisionalisme (sebagai reporesentasi masa lalu) dan inovasi (sebagai representasi masa kini dan masa depan). Wacana kepemimpinan kaum muda berpijak pada asumsi ketuaan dan kemudaan sebagai fasilitator bagi hadirnya tradisionalisme dan inovasi tersebut, meski tidak melulu berlaku sesederhana itu.

Karena kerangka dasar memunculkan wacana kepemimpinan kaum muda adalah untuk menjaga sistem berjalan dengan sehat dan seimbang, maka kemudaan jangan dimaknai sekedar umur (muda) melainkan sejumlah karakter lain dan pemikiran "kemudaan" yang menyertainya. Atas dasar kerangka dasar itu, maka prinsip-prinsip universal lain seperti kualitas, kapasitas, dan cara memperoleh posisi dengan etis dan sesuai mekanisme jangan pula dikorbankan demi satu alasan: asal muda!. Sama dengan tidak tepatnya memaksakan alasan "tidak berpengalaman" untuk menolak yang muda untuk tampil.Lantas, bagaimana dengan peluang kaum muda untuk tampil pada posisi-posisi strategis di Indonesia dewasa ini? Kepemimpinan kaum muda akan terbuka kalau terdapat "sistem" yang memungkinkan untuk itu. Bila kita lihat pada sektor politik, bisnis, dan birokrasi, maka sistem yang paling sulit ditembus terdapat pada birokrasi yang terkenal dengan adagium 'birokrasi kompleks'. Untuk politik relatif lebih terbuka, apalagi dunia bisnis. Singkatnya, semakin dinamis dan 'berserak" suatu sistem maka semakin terbuka kemungkinan percepatan sirkulasi dan tampilnya pemimpin-pemimpin muda. Celakanya justru di birokrasi lah "bottle neck" yang membuat putusan bisnis dan politik menjadi mandul, bahkan "keburu lemas" sebelum waktunya. Tak terhitung banyaknya kasus dimana pimpinan politik dan bisnis dibuat frustasi akibat ulah birokrasi yang bekerja dalam logika "kalau memang bisa dipersulit kenapa harus dipermudah" tersebut.Dalam ukuran keterdesakan dari ketiga sektor tersebut, dalam hemat kami, kepemimpinan kaum muda sangat dibutuhkan masuk segera dan lebih banyak ke dalam birokrasi. Birokrasi kita sangat membutuhkan infus darah-darah segar dari kaum muda. Bayangkan nilai startegis birokrasi dengan jumlah pegawainya yang berjumlah sekitar 4 juta orang! Sungguh mereka dapat membuat perubahan dipercepat atau diperlambat bahkan dengan hanya satu hal: selera birokrasi! Disinilah pentingnya di-review tentang aturan kepegawaian dalam birokrasi Indonesia sehingga memungkinkan tampilnya pemimpin-pemimpin muda yang memiliki kualitas, kapasitas, dan talenta yang lebih baik.Kemudian, kepemimpinan kaum muda juga membutuhkan prasyarat berikutnya untuk dapat tampil: sikap legowo dari kaum tua. Sikap legowo ini semacam "restu" yang mempersilahkan kaum muda untuk tampil sehingga kepemimpinan yang muda dapat berlangsung kondusif. Mendapatkan sikap legowo bukan perkara yang mudah namun juga tidak terlalu sulit. Tidak mudah karena yang tua merasa lebih, lebih tahu, lebih berpengalaman, lebih pantas, dan lebih berhak. Tidak sulit karena yang tua juga masih memiliki obyektifitas ketika yang muda menunjukkan kualitas, kapasitas, talenta, dan -- ini terkadang yang lebih penting-- kesantunan. Wacana Presiden MudaSemoga ini bukan karena "Obama Effect". Melainkan didasarkan atas kebutuhan riil bangsa Indonesia. Dalam wilayah ini bisa terdapat perdebatan yang seru dan syarat kepentingan. Unsur subyektifitas mudah masuk dalam hal ini, apalagi menjelang Pemilu 2009. Terlepas dari faktor tersebut, wacana ini layak untuk dikembangkan paling tidak karena beberapa hal berikut: pertama, industri kepemimpinan nasional saat ini masih "sakit" akibat diberangus oleh sistem Orde Baru yang sentralistik dan monolitik. Sebagian besar pimpinan nasional saat ini hampir di setiap sektor bukanlah tipikal pemimpin yang mengakar melainkan model "jenggot", menggantung ke atas karena sistem yang mengkondisikan demikian. Kini setelah reformasi dan demokratisasi, dibutuhkan yang mengakar bukan yang menggantung. Wacana presiden muda adalah "warning" pada setiap pemimpin --dengan simbol tertingginya presiden-- untuk menghadirkan gaya kepemimpinan yang berbeda tersebut. Kedua, Indonesia adalah negara besar (dalam arti potensi dan sumber daya) yang membutuhkan energi besar dari para pemimpinnya --dengan simbol tertingginya presiden-- agar optimalisasinya maksimal. Presiden atau pemimpin yang muda tentunya memiliki energi yang lebih besar daripada yang tua. Dalam hal ini wacana presiden muda merupakan "warning" kepada setiap capres atau pemimpin bahwa "pengalaman" dan 'pengetahuan" tidaklah lebih berarti apabila tidak dapat direalisasikan akibat keterbatasan energi sang presiden.Terakhir, untuk lahirnya presiden atau pemimpin nasional yang kuat dan berwibawa dibutuhkan proses yang panjang dan berliku. Tidak instan dan asalan. Dalam hal ini wacana presiden muda berarti suatu "foreplay" atas proses yang panjang dan berliku tersebut. Wacana tersebut seolah membangunkan orang, terutama bagi yang berminat, untuk memulai segera perjalanan panjang tersebut dalam suatu perspektif bahwa itu mungkin baginya. Wallahu a' lam

Read More......