Jumat, 05 Februari 2010

Demokrasi Satu Putaran

Oleh Arip Musthopa
Ketua Umum PB HMI 2008-2010

Indonesia pernah mengalami beberapa bentuk demokrasi. Mulai dari Demokrasi Parlementer (1955-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1966), dan Demokrasi Pancasila (1966-1998). Setelah era reformasi, diyakini demokrasi di Indonesia masih mencari bentuknya. Walaupun reformasi politik menghantarkan Indonesia pada sejumlah terobosan dalam penataan politiknya, namun tak ada kesepakatan dari para ahli apa bentuk dan nama demokrasi yang sedang berkembang di bumi Indonesia.


Sejumlah ahli dapat bersikukuh bahwa demokrasi yang benar adalah demokrasi semata, tanpa embel-embel. Oleh karena itu, desain dan praktek demokrasi kita juga sejatinya demikian. Namun tak dapat dipungkiri bahwa Amerika Serikat pun yang diakui telah menjalankan demokrasi lebih maju dari negara lain memiliki label dalam praktek demokrasinya, yakni demokrasi liberal. Lantas demokrasi apakah yang sedang dijalankan oleh Indonesia saat ini? Untuk menjawabnya, pisau analisa saya mengarahkan pada pesta demokrasi lima tahunan, pemilu dan formasi politik yang terbentuk pascanya.

Arti Penting Pemilu
Liberalisasi politik Indonesia mengalir deras pasca tumbangnya Soeharto. Cabang-cabang kekuasaan negara dimaknai dan ditata ulang. Kekuasaan presiden dibatasi, legislatif menguat dan mengambil bentuknya yang baru dengan hadirnya DPD, dan yudikatif dipecah dua menjadi Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Kebebasan pers, berserikat dan berkumpul dikedepankan. Partai-partai politik boleh bermunculan bak cendawan di musim hujan. Ekspresi suara publik dalam berbagai bentuk menjadi pertunjukan tersendiri dalam aransemen demokrasi yang coba dimapankan. Hubungan pusat-daerah juga diperbarui melalui kebijakan otonomi daerah.
Perubahan besar yang fundamental dan revolusioner tersebut berlangsung secara bertahap melalui mekanisme yang damai dan konstitusional. Integrasi territorial sempat terancam serius meski hanya Timtim yang lepas. Akhirnya penataan ulang tersebut dilengkapi dengan merubah mekanisme eleksi atau pemilihan pimpinan politik di pusat maupun daerah dengan mempraktekkan bentuk demokrasi langsung, melalui pilpres dan pilkada.
Karena fomasi elit masih sangat cair dan distribusi kuasa sangat plural, maka formasi politik sangat ditentukan oleh hasil pemilu yang diadakan tiap lima tahun. Dari tiga kali pemilu setelah era reformasi, selalu menghasilkan distribusi kuota politik yang berbeda. Sehingga formasi politik yang terbentuk dalam tiga masa pasca pemilu tersebut juga berbeda. Lihatlah Pemilu 1999 yang dimenangkan PDIP, Pemilu 2004 yang dimenangkan Partai Golkar dan Pemilu 2009 yang dimenangkan Partai Demokrat. Masing-masing era pasca pemilu tersebut memiliki “warna” dan “aroma” yang berbeda. Singkatnya, beda hasil pemilu, beda pula “anginnya”.
Dengan demikian, pemilu dalam setiap periode memiliki arti yang sangat penting dan strategis. Bukan hanya menghasilkan formasi parlemen yang berbeda melainkan juga membentuk formasi politik secara keseluruhan yang berbeda.
Dalam kaitannya dengan pimpinan eksekutif misalnya, pasca pemilu 1999 ditandai dengan fenomena pemenang Pileg, PDIP, yang tidak otomatis menjadi pimpinan puncak eksekutif karena dijegal oleh koalisi Poros Tengah yang mengusung Gus Dur. Megawati terpaksa hanya jadi wakil presiden, meskipun di tengah jalan mampu direbutnya jabatan presiden, setelah melalui kontraksi politik yang tidak dapat dipandang remeh dalam perjalanan demokrasi kita.
Pasca pemilu 2004, pemenang Pileg bukan hanya tidak mampu menjadi pimpinan eksekutif, bahkan tidak dapat ikut serta dalam pemerintahan. Sampai akhirnya kontraksi politik yang terjadi menghantarkan pada upaya perebutan “secara paksa” pimpinan Partai Golkar. Setelah itu, Partai Golkar terlibat dalam pemerintahan, stabilitas politik relatif dapat diwujudkan.

Pasca Pemilu 2009
Pemilu 2009 diwarnai oleh satu faktor dominan: upaya mengembangkan dan melanjutkan kekuasaan. Dalam hal ini, hampir semua fenomena politik penting baik yang “wajar” maupun yang “ganjil” dapat dijelaskan dalam perspektif faktor dominan tersebut. Kualitas pileg yang buruk, fenomena mega koalisi, pilpres satu putaran, dan formasi kabinet “bagi-bagi” adalah buah dari kerja politik mewujudkan faktor dominan di atas.
Faktor dominan tersebut, secara spekulatif didasarkan pada hasrat kuasa yang menggebu sebagai kompensasi atas kuasa yang kurang utuh pada periode sebelumnya. Walaupun secara normatif hal tersebut wajar-wajar saja karena setiap kekuasaan senantiasa menuntut stabilitas dan derajat efektifitas yang tinggi. Namun apa jadinya bila semuanya terkesan “dipaksakan”?
Perolehan suara Partai Demokrat (PD) yang melonjak hingga tiga kali lipat dari Pemilu 2004 adalah tahap awal kesan “dipaksakan” muncul ke permukaan. Betapa tidak, hasil yang mendecak rasa kagum tersebut menjadi tak strategis ketika dinodai oleh kisruh DPT dan metode penghitungan IT KPU yang amburadul. Perolehan PD yang fenomenal sebenarnya wajar bila dikoherenkan dengan popularitas SBY, namun entah mengapa harus ada kisruh DPT yang dapat menjadi dalih adanya ketidakwajaran.
Fase berikutnya adalah ketika harus dibentuk suatu koalisi besar untuk mengusung calon presiden incumbent. Secara normatif hal ini wajar saja karena yang mau dibangun bukan hanya memenuhi persyaratan pencalonan seperti pada Pemilu 2004, melainkan suatu koalisi pemerintahan yang akan bekerjasama selama lima tahun baik di eksekutif maupun legislatif. Dasar pertimbangannya tentu adalah kepastian kemenangan, stabilitas dan efektifitas pemerintahan.
Namun entah mengapa muncul kesan dipaksakan ketika koalisinya dibentuk terlalu besar, bahkan melibatkan parpol yang tidak memperoleh kursi di parlemen. Pelibatan mereka kiranya tidak terlalu penting. Namun hadirnya agenda untuk mencegah masuknya calon tertentu ke gelanggang karena dikhawatirkan akan menggagalkan, paling tidak memperpanjang jalan menuju kemenangan, membuat mereka dirasa penting untuk dirangkul.
Hasrat menjadikan permainan cepat selesai melalui pemilihan presiden satu putaran inilah yang harus dibayar sangat mahal. Karena untuk membentuk mega koalisi paling tidak dibutuhkan banyak janji dan bahkan banyak materi. Janji dan materi tentu harus disediakan oleh sang mpunya hajat. Akibatnya dapat ditebak, formasi politik yang terbentuk baik itu di parlemen maupun di eksekutif beserta cabang-cabangnya adalah upaya untuk menunaikan janji baik pada donator maupun parpol penyokong.
Namun anehnya, tidak berhenti sampai disitu, mega koalisi yang telah terbentuk masih juga dirasa kurang. Sehingga PDIP dan Partai Golkar yang awalnya tak masuk dalam koalisi juga berupaya untuk rangkul dengan kompensasi jabatan Ketua MPR dan kursi kabinet. Secara normatif, mungkin ini didorong oleh niat suci mengajak semua kekuatan politik untuk bekerjasama membangun bangsa ke depan dengan meminimalisasi perselisihan.
Namun apa jadinya apabila mega koalisi tersebut benar-benar terlalu besar sehingga tidak mampu dikelola dengan baik? Apalagi bila upaya memperbesar kekuatan pendukung terus dilakukan. Setiap pihak yang (potensial) mengganggu didekati dengan cara demikian, apa jadinya? Belum lagi kawan lama dipenuhi janjinya, telah ditebar benih-benih janji pada kawan baru. Akibatnya, barisan sakit hati juga akan panjang, mungkin lebih panjang dari kekuatan yang bisa dirangkul.
Kekuatan parlemen secara umum dapat ditundukkan dalam komitmen mega koalisi yang diabadikan dalam bentuk kontrak politik secara tertulis. Namun zahirnya demokrasi, mekanisme checks and balances adalah niscaya hadir. Oleh karena tak terwadahi parlemen, maka ia berupaya mencari jalan melalui kekuatan civil society yang disokong oleh media. Kekuatan ekstra parlemen pun menjelma menjadi penyeimbang yang tak kalah garangnya. Akibatnya, hingga belum seratus hari pemerintahan ini berjalan, tidak ada stabilitas politik dan efektifitas pemerintahan yang memadai. Indikasinya dapat dilihat dari tidak berjalan optimalnya program 100 hari pemerintahan.
Inilah gambaran umum demokrasi kita di periode kedua pemerintahan SBY. Sebuah demokrasi yang tertawan akibat upaya “paksa” untuk cepat memberikan kepastian kemenangan serta stabilitas dan efektifitas pemerintahan, yang justru menghadirkan gugatan atas kemenangan dan tak kunjung menghadirkan stabilitas dan efektifitas pemerintahan yang diidamkan. Inilah demokrasi satu putaran. Entah sampai kapan ia kan terus dipentaskan. Wallahu a’ lam bishshawab.

Read More......

Refleksi 63 Tahun: HMI dan Agenda Strategis Bangsa

Refleksi 63 Tahun HMI
HMI dan Agenda Strategis Bangsa
Oleh Arip Musthopa
Ketua Umum PB HMI 2008-2010
Hari ini, 63 tahun sudah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) berkiprah. Terpaut hanya delapan belas bulan lebih muda dari usia NKRI. Bernafaskan keindonesiaan dan keislaman, HMI menjadi saksi sejarah perjalanan republik. Jatuh-bangun mulai era revolusi fisik, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, orde baru, hingga era reformasi. Setiap era, HMI senantiasa berupaya memberikan kontribusi yang terbaik kepada republik. Menjadi bagian penting dari tiap perubahan besar yang terjadi.


Namun tidak ada gading yang tak retak. Selalu ada kelemahan dan kekurangan. Hal positif yang menjadi modal HMI, tak jera untuk terus mencoba. Layaknya insan akademis yang selalu haus untuk trial and error. Apalagi status mahasiswa cukup membantu menjadi cover, toh kesalahan tidak melulu bermakna kehancuran.
Kiprah alumni HMI yang eksis di banyak sektor kehidupan berbangsa dan bernegara menandakan ‘anak-anak’ HMI mampu survive. Memang HMI dikenal memiliki daya adaptasi yang tinggi dan tak mudah menyerah menghadapi segala kesulitan. Motto ‘yakin usaha sampai’ mendarah-daging dalam jiwa kader HMI.
***
Semangat memberi yang terbaik untuk republik, tak takut mencoba dan salah, serta optimisme yakin usaha sampai, kini kami rasakan menggelora dalam sanubari kader menjelang usia HMI ke-63. Suatu spirit positif yang dibutuhkan bukan saja untuk kemajuan, namun juga peradaban. Spirit positif tersebut adalah aset berharga yang memungkinkan kader HMI bangga mengibarkan benderanya. Menjadikan alumni HMI tidak tertunduk lesu untuk mengaku sebagai alumni. Lantas, kemana energi besar ini harus disalurkan?
Di tengah kondisi bangsa yang dibayang-bayangi krisis politik saat ini, HMI dituntut untuk tetap kritis dan bersuara lantang tanpa harus kehilangan pijakan intelektual. Oleh karena itu, HMI harus meletakkan sikap dan aksinya dalam koridor agenda-agenda strategis bangsa Indonesia. Tidak terjebak pada fenomena sesaat dan tarian pihak lain yang belum tentu sejalan dengan kejatidirian HMI itu sendiri.
Agenda strategis bangsa tersebut adalah pertama, pembangunan karakter bangsa (nation character building). Kita telah memilih untuk demokrasi yang pilarnya adalah regulasi (UUD 1945 hasil amandemen) dan iklim kebebasan. Konsensus bangsa telah memilihnya dan sekali layar terkembang surut kita berpantang.
Memang ada nada sumir yang meragukan demokrasi cocok bagi Indonesia, atau bukan seperti ini demokrasi yang kita mau. Namun, demokrasi adalah proses, tak mendadak sontak terwujud. Kelebihannya, demokrasi memungkinkan pelibatan pelaku dalam proses secara massif. Sehingga proses dan pembelajaran bukan hanya milik elit, namun juga rakyat.
Pasti ada jeleknya, proses menjadi lebih riuh dan potensi liar yang tinggi. Kemajuan bisa melambat, ketidakpastian juga bisa meninggi dan menciutkan nyali. Namun itulah tantangan sebuah pembelajaran kolektif atas nama demokrasi. Selama mekanisme checks and balances berjalan berbasiskan akal sehat, tak perlu khawatir demokrasi menjerumuskan. Bila telah sampai pada titik kesetimbangannya, kemajuan eksponensial bukanlah mimpi yang utopis.
Kedua, menjadikan negara fokus pada national interest-nya. Dalam hal ini kerapkali kita temukan kebijakan Negara yang tidak menjurus pada kepentingan nasionalnya. Secara gamblang kepentingan nasional adalah mewujudkan tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945. Disana disebutkan bahwa tujuan kita adalah ‘membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia’.
Analisa-analisa kritis menunjukkan bahwa kita belum memiliki Pemerintah Negara yang mencerminkan apa yang diinginkan konstitusi. Alih-alih berada pada posisi tersebut, malah diidentikkan menjadi kepanjangan tangan kepentingan asing. Adalah tugas komponen bangsa yang tercerahkan untuk terus berbisik, berteriak, hingga tindakan konstitusional pada pemerintah agar mengedepankan pewujudan kepentingan nasional.
Meski tidak mesti diposisikan diametral antara kepentingan nasional dan kepentingan asing, pengarusutamaan kepentingan nasional wajib hukumnya. Masuknya kepentingan asing dimungkinkan sejauh itu sejalan atau mendukung kepentingan nasional. Perspektif ini harus clear dalam setiap kebijakan Negara.
Globalisasi dan tanda-tanda pergeseran konstelasi global di awal abad XXI saat ini, menunjukkan intensitas lobi Negara-negara industri besar. Indonesia menjadi medan pertarungan yang sengit antara Amerika Serikat, Jepang, China, Korea, dan Uni Eropa. Kondisi tersebut mudah menenggelamkan kepentingan nasional dan mendudukkan kepentingan asing menjadi yang utama.
Ketiga, menjadikan bangsa Indonesia kompatibel menghadapi tantangan abad XXI. Abad XXI memiliki anasirnya tersendiri dibandingkan dengan abad XX dan abad-abad sebelumnya. Meski selalu ada yang sama dalam setiap abad, niscaya selalu lebih banyak yang berbeda di masing-masing abad.
Konstelasi geo-ekonomi-politik global, perbenturan antar peradaban tua, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perjanjian-perjanjian internasional, dan peristiwa-peristiwa besar di tingkat global dan regional adalah yang akan membentuk perwajahan abad XXI. Sejarah mencatat bahwa dinamika global antara pra Perang Dunia (PD) I hingga pasca PD II mampu dimanfaatkan generasi muda bangsa ketika itu untuk merumuskan kelahiran bangsa dan Negara Indonesia.
Kini telah 100 tahun dari masa itu, mampukah generasi bangsa saat ini, khususnya kaum muda, merumuskan dan mendirikan pilar-pilar bagi kebangkitan bangsa selanjutnya? Sehingga apa yang menjadi janji-janji kemerdekaan, apa yang menjadi raison d’ĂȘtre kita membentuk Negara-bangsa bernama Indonesia menjadi kian dekat tergapai.
Abad XXI kerapkali digambarkan sebagai era kebangkitan bangsa-bangsa Asia. Negara-negara di Asia Timur seperti Jepang, China, Korea, dan Taiwan serta India di Asia Selatan dinisbatkan akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dunia. PDB dunia sebagian besar akan dikontribusi kawasan ini. Pertanyaannya, dimana letak Indonesia dalam konstelasi tersebut?
Dengan potensi SDA melimpah dan SDM yang besar sepatutnya kita menjadi emerging forces baik di tingkat kawasan maupun global. Namun keunggulan komparatif tersebut tidak banyak bicara kecuali dilengkapi dengan keunggulan kompetitif: penguasaan IPTEK dan SDM yang mumpuni.
***
Akhirnya, usia 63 tahun bukanlah usia yang muda dan bukan juga senja untuk sebuah organisasi. Namun sudah lebih dari cukup untuk meneguhkan kedewasaan dan kematangan dalam menyikapi zaman. Ada ungkapan Nabi dimana adalah orang yang merugi apabila hari esok tidak lebih baik dari hari ini dan hari kemarin.
Maka terus bergeraklah HMI, jejakkan langkah-langkah mengharumkan di tengah gelombang dinamika yang terkadang insight-nya tidak tampil kasatmata. InsyaAllah dengan niatan memberi yang terbaik, berani mencoba dan salah, serta optimisme yakin usaha sampai, penempatan historis yang manis akan kau raih. Dirgahayu HMI ke-63. Wallahu a’ lam bishshawab.

Read More......