Sabtu, 15 Agustus 2009

Menjadi Mahasiswa Sejati

Oleh: Arip Musthopa

Mengenang masa awal saya masuk dunia perguruan tinggi, seorang senior yang kelak menjadi presiden mahasiswa di kampus secara menggigit bertanya pada kami, “Siapakah yang saya hadapi ini? Mahasiswa semester awal ataukah siswa kelas empat?”. Pertanyaan tersebut tidak beranjak dari ketidaktahuan melainkan dari kesadaran ontologis bahwa peralihan status dari ‘siswa’ menjadi ‘mahasiswa’ mengundang sejumlah konsekuensi yang tidak sederhana dan kerapkali gagal disadari oleh banyak mahasiswa. Sukses tidaknya perjalanan ‘kemahasiswaan’ seorang mahasiswa sangat ditentukan kesadaran atas pergeseran status tersebut.

Dunia perguruan tinggi sungguh berbeda dengan dunia sekolah menengah (atas dan pertama). Dunia sekolah menengah adalah periode yang dipenuhi suka cita, egoisme, kegundahan khas remaja, dan cita-cita hidup yang masih didominasi oleh ukuran-ukuran material dan pragmatis. Dunia perguruan tinggi berbeda, seolah membukakan segalanya sambil menjelaskan ‘It’s the real life’. Penuh warna dan pertarungan pembentukan jatidiri yang diukur dengan spirit intelektualisme, karya dan akhirnya pengakuan. Hidup tidaklah sesederhana yang dipikirkan sebelumnya, namun tetap menyimpan misteri potensi keindahan dan sukacita yang lebih luas, berwarna, dan mendalam. Semuanya bermula dari kesadaran historis pembentukan dan perjalanan bangsa serta posisi strategis mahasiswa didalamnya.

Sejarah dan Peran Strategis Mahasiswa
Sejarah adalah sebuah proses dialektis. Ia terbentuk dari berbagai peristiwa yang pada saat bersamaan bersifat dekonstruktif dan konstruktif. Ia menghancurkan sebuah kemapanan untuk menghadirkan tatanan baru yang berbeda. Tatanan baru tersebut bisa jadi merupakan penyempurnaan atas tatanan lama—biasanya disebut sebagai proses reformatif—atau bahkan ia merupakan kondisi baru yang sama sekali berbeda dan bertolak belakang. Yang terakhir ini sering dimengerti sebagai proses yang bersifat revolutif. Dialektika historis itu muncul sebagai reaksi atas banyaknya pertanyaan hidup yang dinamis.
Selain itu, kebutuhan hidup manusia yang terus berkembang menuntut adanya inovasi, baik terhadap ide maupun produk-produk peradaban. Karena itu, proses kesejarahan akan terus berlangsung dalam lingkaran thesa-antithesa-sinthesa. Tak ada yang tak berubah selain perubahan itu sendiri.
Sebagai kelompok minoritas terdidik, mahasiswa memiliki banyak kekuatan di dalam dirinya antara lain kekuatan moral (moral force), kekuatan ide (power of idea) dan kekuatan nalar (power of reason). Dengan kekuatan-kekuatan itu mahasiswa, sebagaimana dikemukakan oleh Jack Newfield, bisa disebut sebagai a prophetic minority. Jack Newfield lebih lanjut menjelaskan:

Mahasiswa adalah kelompok minoritas….para aktivis hanyalah minoritas juga dalam populasi mahasiswa. Tetapi mereka memainkan peranan yang profetik. Mereka melihat jauh ke depan dan memikirkan apa yang tidak atau belum dipikirkan oleh masyarakat umumnya. Dalam visi mereka, tampak suatu kesalahan mendasar dalam masyarakat. Dan mereka menginginkan perubahan. Tidak sekedar perubahan-perubahan marginal, tetapi perubahan fundamental. Mereka memikirkan suatu proses transformasi.

Sejarah Indonesia juga mencatat bagaimana pentingnya peran mahasiswa baik dalam proses menuju maupun pasca terbentuknya negara Indonesia. Peran mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam berbagai organisasi kemahasiswaan sangat menonjol dalam perubahan-perubahan besar di republik ini. Sejarah kemudian mencatat peran mereka dalam pembentukan nasionalisme Indonesia melalui Sumpah Pemuda (Youth Pledge) 1928, penculikan Soekarno-Hatta yang mendorong percepatan proklamasi kemerdekaan menjadi 17 Agustus 1945, peralihan Orde Lama ke Orde Baru tahun 1960-an akhir, dan peralihan dari Orde Baru ke Era Reformasi pada tahun 1998.
Oleh karena itu, tepat kiranya jika Indonesianis, Benedict Anderson menyebut bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah pemudanya. Kehadiran pemudalah, kata Benedict Anderson, yang menciptakan momen sejarah Indonesia masa depan, yakni sejarah terbentuknya sebuah bangsa yang satu, merdeka dari ketertindasan kolonialisme (Revolusi Pemuda: 1988).
Sebagai ‘kawah candradimuka’ pembentukan para aktivis, organisasi kemahasiswaan memang tidak pernah tunggal dan terpolarisasi berdasarkan keyakinan ideologisnya masing-masing. Tiap-tiap kelompok memiliki sikap, pandangan, pemahaman, dan penilaian yang berbeda-beda tentang sejumlah permasalahan. Mereka juga berbeda dalam cita-cita tentang bentuk masyarakat ideal. Namun demikian, tak bisa dipungkiri bahwa organisasi-organisasi kemahasiswaan berperan besar khususnya dalam penyiapan dan penyediaan kader-kader penerus bangsa, apapun keyakinan ideologis dan cita-cita idealnya.
Mereka lah yang memproduksi –meminjam istilah sejarawan Arnold Toynbee—creative minority yang berperan sebagai agent of change dan agent of social control bagi masyarakat dan bangsanya. Berdasarkan background kesejarahan tersebut, sejak awal seorang mahasiswa sepatutnya menanamkan diri untuk menjadi sosok “mahasiswa sejati”.

Mahasiswa Sejati
Untuk menjadi mahasiswa sejati pertama-tama kita harus memahami terlebih dahulu apa yang menjadi ‘fitrah’ dari mahasiswa. Paling tidak ada empat predikat yang melekat pada mahasiswa, pertama insan akademis. Dalam konteks ini mahasiswa adalah insan pembelajar yang haus ilmu dan informasi bagi pengembangan rasio dan kepribadiannya. Sekaligus menjadi bagian yang mengusung dunia yang dinaungi nilai-nilai keilmiahan, moralitas dan independensi.
Kedua, kemudaan. Mahasiswa adalah bagian dari pemuda dan pemuda adalah pemilik ‘darah muda’, yang mencari bentuk jatidiri dan menterjemahkan dunianya terkadang tidak secara rasional melainkan emosional. Dalam kemudaannya, mahasiswa adalah insan yang menginginkan perubahan, progresifitas, dan menciptakan dunianya sendiri yang berbeda dari ‘dunia buatan orang tua’.
Ketiga, youth of the nation. Sebagai youth of the nation, ia merupakan potret masa depan bangsanya. Makanya wajar bila suatu bangsa banyak menaruh harapan padanya. Sebagai youth of the nation, mahasiswa harus mempelajari permasalahan, dan keresahan bangsanya. Memahami kekuatan, kelemahan, ancaman, dan peluang yang dimiliki bangsanya. Lebih penting lagi, menjadi bagian problem solver, bukan beban (liability) bagi bangsanya.
Keempat, elit intelektual. Tidak sampai dari lima persen pemuda Indonesia mampu mengenyam pendidikan tinggi. Oleh karena itu, mahasiswa mau tidak mau terbentuk menjadi ‘elit’ karena jumlahnya yang sedikit dan memperoleh kesempatan istimewa menempuh pendidikan tinggi. Sebagai elit intelektual, mahasiswa sudah sepatutnya menjadi ‘kompas’ yang menunjukkan arah bangsanya. Menjadi ‘lampu pijar’ yang menerangi lingkungan sekitarnya.
Singkatnya menjadi mahasiswa sejati adalah berusaha keras memenuhi keempat predikat yang melekat pada status mahasiswa di atas. Mahasiswa sejati bukanlah mahasiswa yang datang untuk kuliah dan setelah itu pulang, menunggu kelulusan hingga –berharap-- bekerja di perusahaan dan lembaga yang mentereng. Dia tidak puas dengan ilmu yang diperoleh di ruang kelas semata. Dia mencari ilmu dan membentuk kepribadiannya di perpustakaan, diskusi dan seminar, study club, organisasi kemahasiswaan intra dan ekstra, serta melakukan public/community service. Bahkan melakukan “gerakan-gerakan”, menciptakan prototype insan dan masyarakat masa depan! Wallahu a’ lam bi ashshawab.

Read More......

Sabtu, 27 Juni 2009

HMI dan Pilpres 2009

Oleh Arip Musthopa, SIP., MSi
Ketua Umum PB HMI 2008-2010

Pilpres 2009 harus ditempatkan dalam konteks Indonesia yang transisional dari era otoritarian menuju era demokrasi yang mapan. Betul memang kita telah memasuki era demokrasi, namun demokrasi kita masih berdiaspora mencari bentuknya yang paling relevan dengan kondisi sosio-politik-ekonomi-budaya bangsa Indonesia. Dalam sketsa demikian, wajar kiranya dalam praktek demokrasi kita masih terdapat sejumlah kekurangan yang mengundang kekecewaan dan gugatan.


Pengalaman demokratisasi di negara-negara Amerika Latin menunjukkan bahwa waktu 10-15 tahun adalah waktu yang cukup untuk suatu masa transisi politik. Tentu saja tergantung pada kemampuan kita melakukan konsolidasi demokrasi, dalam arti memapankan sistem demokratik dan menempatkan figur-figur demokratik dalam pos-pos penting pemerintahan dan memuseumkan sistem dan figur-figur non-demokratik. Kiranya tahun 2014 adalah momentum kita mengakhiri fase transisi dan diharapkan tak ada lagi perubahan mayor pada sistem politik kita, meski secara minor tak terhindarkan.

Dalam suatu era transisi, apalagi dalam momentum hajat demokrasi seperti Pilpres 2009, terdapat turbulensi politik yang mem(di)pengaruhi berbagai kekuatan sosial-politik. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai organisasi kemahasiswaan yang memiliki 186 cabang di kabupaten/kota se-Indonesia dan anggota sekitar 321.000, tentu tak terkecuali. Tulisan ini merupakan ikhtiar kami untuk menjelaskan positioning HMI dalam hajat tersebut.

Pilpres: Antara Prosedur dan Substansi

Pilpres adalah prosedur demokrasi untuk seleksi pimpinan nasional, presiden dan wakil presiden. Lazimnya suatu prosedur, hanya bermakna bila merefleksi nilai-nilai substansi demokrasi. Pilpres yang terlalu berjarak dengan nilai-nilai substansi demokrasi dapat memunculkan gugatan, edukasi yang buruk, dan bahkan malapetaka politik. Nilai-nilai tersebut adalah keadilan, kejujuran, kesetaraan, dan kompetisi yang sehat (tegaknya fatsoen politik).

Pilpres yang demokratik dapat terwujud apabila hadir penyelenggara pemilu yang independen dan mandiri, kontestan yang beretika dan taat aturan main, media massa yang sehat dan obyektif, serta hadirnya pemilih yang cerdas. Ketidakhadiran salah satu dari keempat komponen di atas dapat mengakibat Pilpres mengidap sejumlah kelemahan bahkan cacat yang menjauhkannya dari kategori pemilu berkualitas dan demokratik.

Diantara keempat komponen di atas, posisi terlemah adalah pemilih. Pemilih adalah penentu yang digempur oleh kontestan dan media untuk diminta keberpihakan hati dan pikirannya. Dalam keterkungkungan gempuran tersebut, pemilih seyogyanya memperoleh perlindungan dari regulasi dan penyelenggara. Namun faktanya tidak demikian, pemilih tak dapat berharap banyak pada mereka. Karena regulasi dibuat elit yang belakangan menjadi kontestan. Karena penyelenggara kerapkali lebih menunjukkan kekhawatiran atas protes dari kontestan ketimbang pemilih. Alih-alih mereka memperoleh perlindungan dan edukasi yang cukup, malah disalahkan ketika tidak atau salah menggunakan hak pilih.

Lantas, kemana pemilih patut berharap memperoleh “suaka politik”? Kepada elemen civil society, yang menurut Cak Nur sebagai ‘rumah persemaian demokrasi’. Adalah tugas dari civil society ‘menemani’ pemilih agar tidak tersesat menggunakan hak pilihnya. Sebagai bagian dari elemen tersebut, HMI sepatutnya memberikan edukasi agar menjadi pemilih yang cerdas. Oleh karena itu, HMI kemudian menggelar Gerakan Pemilih Cerdas yang mengajak pemilih untuk: mendaftar sebagai pemilih, menggunakan hak pilih, anti politik uang (suap), dan mengedepankan rekam jejak dan program figur dalam menentukan pilihannya.

Pilpres dan Tafsir Independensi

HMI menggariskan dirinya sebagai organisasi yang bersifat Independen. Independensi dimaknai dua hal, independensi etis dan organisatoris. Independensi etis bermakna setiap anggota HMI berpihak dan memperjuangkan kebenaran, yang didasarkan pada pemahaman teologis bahwa fitrah manusia adalah hanief, cenderung pada kebenaran. Oleh karena anggota HMI independen secara etis, maka konsekuensinya secara organisasi HMI juga independen. Tidak berada di bawah atau menjadi underbouw organisasi apapun, karena akan membatasi ruang implementasi spirit independensi, kalaupun bukannya membunuh spirit independensi itu sendiri.

Dalam aksinya, HMI secara organisasi hanya boleh menunjukkan keberpihakan pada kebenaran atau kepada pihak yang mana kebenaran melekat padanya. Untuk tahu yang benar dan salah dibutuhkan pengetahuan atau ilmu. Disinilah nampak keterkaitan antara keyakinan independensi (dimensi iman) yang bisa terimplementasi dengan baik (dimensi amal) apabila didukung oleh ketersediaan pengetahuan (dimensi ilmu). Atas dasar itu di HMI tidak pernah sepi digaungkan pentingnya intelektualisme sebagai tradisi, yang bukan saja penting bagi bekal individu tapi juga menyangkut kiprah organisasi.

Selanjutnya, dalam suatu kontestasi politik seperti Pilpres 2009, dapatkah logika keberpihakan ‘benar-salah’, seperti yang disyaratkan dalam doktrin independensi dijadikan dasar untuk mendukung atau tidak mendukung calon tertentu? Disini kita dihadapkan pada problem metodologi untuk mengukur tingkat benar dan salah dari masing-masing calon. Sungguh problematis dan penuh jebakan subyektifitas. Dihadapkan pada kerumitan tersebut, nampaknya memilih sikap ‘netral’ merupakan sikap yang paling dekat dengan spirit independensi. Apalagi ada benefit lain, yakni positif untuk memelihara kohesifitas internal. Namun bukankah independensi justru harus berpihak? Suatu ironi apabila atas dasar independensi, yang zahirnya menuntut keberpihakan, malah menjadi tidak berpihak (netral). Lantas, kemanakah energi keberpihakan harus disalurkan? Karena HMI juga pantang bersikap pasif.

Oleh karena pilihan mendukung atau tidak figur calon tertentu terkendala metodologi implementasi doktrin independensi, maka keberpihakan tidak dapat disematkan pada calon atau figur. Yang paling mungkin adalah energi independensi disalurkan melalui upaya membangun sistem dan prosedur (playing field) yang adil untuk semua sekaligus memberdayakan yang terlemahkan oleh sistem yang berlaku. Logikanya, siapapun yang nantinya terpilih merupakan yang terbaik asalkan melalui suatu proses (sistem dan prosedur) yang benar dan baik. Sebaliknya, apabila sistem dan prosedurnya keliru maka pemimpin yang dihasilkan pastinya bukan yang terbaik.

Keberpihakan ini menuntut peran seperti watchdog yang ‘menggonggong’ apabila terdapat kekeliruan dalam berlakunya sistem dan prosedur. Mengambil peran menjadi pengawas jalannya pilpres ketimbang menjadi tim sukses capres. Peran-peran seperti kritik proses, edukasi pemilih, pengawasanpada hari-H, dan mendesakkan agenda strategis ke dalam program calon melalui dialog publik misalnya, merupakan model-model peran yang ditempuh dalam membangun pilpres yang berkualitas dan demokratis.

Pencalonan JK

Isu lain terkait kiprah HMI di Pilpres 2009 adalah perihal pencalonan Moh. Jusuf Kalla, biasa disapa JK, yang diisukan memperoleh dukungan dari HMI. Hal ini tentu pengkaitan sederhana dari status JK sebagai alumni HMI dan pernah menjadi Ketua Umum HMI Cabang Makassar. Apalagi KAHMI, baik yang presidensil maupun presidium, telah menyatakan dukungan secara terbuka kepada JK beberapa waktu yang lalu.

Lantas, bagaimana positioning HMI menyikapi pencalonan JK? Bagi HMI, seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, wilayah dukung-mendukung figur calon secara organisasi adalah wilayah yang tidak mungkin dimasuki, meskipun itu adalah alumni HMI. Sikap ini merupakan konsekuensi doktrin independensi yang telah dijelaskan di atas. Dengan demikian, HMI merupakan komunitas yang terbuka bagi semua calon. Adalah kesungguhan ‘rayuan politik’ dan tawaran program dari masing-masing capres lah yang akan menentukan kemana masing-masing anggota HMI akan menentukan pilihan.

Memang pada umumnya alumni dan anggota HMI merasa bangga apabila ada bagian dari keluarganya yang mampu mencapai tingkat kesuksesan tertentu. Solidaritas sebagai suatu keluarga besar yang aktif terkadang lebih dari sekedar merasa bangga melainkan turut membantu ikhtiar saudaranya disertai keikhlasan yang memadai. Solidaritas keluarga besar inilah yang kiranya menjadi ‘variabel laten’ yang dapat memuluskan JK mendulang suara dari alumni maupun anggota HMI secara lebih besar dibandingkan capres yang lain. Tentu saja sejauh JK mampu menekan pada tombol yang tepat untuk membangkitkan ‘variabel laten’ itu. Wallahu a’ lam bi ashshawab.

Read More......

Rabu, 04 Februari 2009

The HMI Way; Menyegarkan Kembali HMI

Oleh Arip Musthopa
Ketua Umum PB HMI

GENAP 62 tahun sudah usia HMI. Rentang usia yang cukup matang bagi sebuah organisasi. Ketika didirikan 05 Februari 1947 lalu, HMI berdiri di bawah semangat keislaman dan keindonesiaan secara bersamaan dan sinergis, bukan dikhotomik. Dua semangat itu dikawinkan, diharmonisasi dan diracik. Gagasan tersebut, menjadi penting di tengah masih banyaknya kalangan muslim yang menghendaki terbentuknya negara Islam, tidak hanya pada masa awal beridirinya HMI, tetapi juga hingga saat ini.

Gagasan keislaman-keindonesiaan yang diusung HMI menjadi sumbangsih gagasan yang sangat apik kepada bangsa, karena mampu mengimbangi ambisi golongan yang menghendaki terbangunnya negara dengan nalar dan sistem teokratik oleh nasionalisme berbalut Islam. Dan, Dahlan Ranuwihardjo, pantas menjadi salah satu ikon yang turut mempertebal karakter kebangsaan di dalam tubuh HMI ketika usia organisasi ini masih belia.

Pembaruan pemikiran Islam Indonesia berhasil lahir dari tubuh HMI pada era akhir 1960-an melalui pemikiran Nurcholish Madjid dengan jargon “Islam Yes, Parti Islam No” dan sekularisasi agama (Islam) yang terus berkembang menjadi narasi besar gelombang pembaruan pemikiran Islam hingga tahun 1990-an. Pada masa itu juga muncul Ahmad Wahib melalui limited group-nya yang oleh Greg Barton disejajarkan dengan Cak Nur dan Gus Dur sebagai tokoh pembaru Islam Indonesia.

Cakrawala pemikiran keislaman-keindonesiaan menjadikan HMI diposisikan sebagai kelompok Islam moderat. Pada masa awal peletakan develomentalisme Orde Baru, gagasan tersebut dianggap cocok menjadi pemikiran poros tengah untuk mengimbangi kekuatan Islam teokratik yang menghendaki negara Islam dan mainstream kelompok radikal kiri yang menginginkan negara totaliter. Saat itulah, sejarah kemudian mencatat kader-kader HMI berbondong-bondong masuk ke dalam birokrasi dan menjadi mesin penyuplay kader dari kelompok Islam selama pemerintahan Orde Baru. Kenyataan ini, kelak terus berjalan hingga membentuk watak politik kekuasaan dan menjadi bumerang kemandegan pemikiran di dalam tubuh HMI sendiri.

Ketika era Reformasi bergulir dan Orde Baru terkilir, payung yang meneduhi kiprah anak-anak HMI pun bergerak sumir. Tetapi kelihaian mengopeni birokrasi dan politik, ditopang stabilitas regenerasi, pemeliharaan jaringan, kemampuan adaptasi, dan diaspora kader-kader HMI menjadikannya tetap bertahan. Bahkan nampak semakin dominan mengisi birokrasi dan elit politik nasional dewasa ini. Namun kualitas, efektivitas dan keberlangsungan jalan tersebut akan menemukan tantangan dan mendapatkan ujian. Paling tidak ini dilandasi oleh beberapa alasan.

Pertama, negara bukanlah pusat perubahan dan sumber daya politik satu-satunya. Kini telah hadir trias politica gelombang kedua, yakni state, private, dan civil sosciety yang masing-masing memiliki pengaruh atau akses terhadap perubahan politik. Dengan demikian, hanya menguasi negara bukan berarti mengendalikan kekuasaan atas negara, apalagi mengendalikan perubahan sosial.

Kedua, dunia telah memasuki abad ke-21 yang menuntut perlakuan berbeda dari abad ke-20. HMI lahir dalam mileu budaya, pemikiran, dan realitas sosial abad ke-20 sehingga niscaya dibutuhkan evaluasi dan proyeksi terhadap rumusan teks dan tradisinya. Apalagi krisis energi, krisis ekonomi, loncatan pengetahuan dan teknologi informasi serta perubahan iklim global akan menentukan formasi masa depan. Pemikiran dan kebiasaan baru HMI yang memiliki imajinasi dan cakrawala tentang formasi kehidupan masa depan mutlak dibutuhkan.

Ketiga, kesanggupan bersaing HMI di tengah kemunculan organisasi intelektual muslim baru yang justru diprakarsai oleh eks aktivis HMI tahun 1970-an dan 1980-an yang aktif di Lembaga Dakwah Kampus. Mereka hadir dengan karakter dan afiliasi gerakan yang berbeda. Kelompok-kelompok ini mulai menguasai sejumlah kampus excellent. Inilah tantangan keberlangsungan HMI ke depan, karena basis kadernya di kampus-kampus.

Keempat, sejak erat ‘bersetubuh’ dengan kekuasaan, tradisi intelektual HMI mengalami proses pemiskinan menuju pemikiran satu arah, political oriented. Komunitas epistemik HMI yang melahirkan banyak intelektual seperti Cak Nur, Ahmad Wahib, Mukti Ali, Dawam Raharjdo, dan lainya digerus oleh komunitas politik. Jarang sekali ditemukan kelompok-kelompok diskusi. Kondisi ini tentu menyedihkan ketika dihadapkan bersamaan dengan lemahnya terobosan pemikiran Islam yang kompatibel dan kontributif bagi nation-state Indonesia yang modern.

Dengan demikian, HMI ditantang untuk survive dan kontributif agar umat Islam dan bangsa Indonesia menjadi lebih baik. Jalan yang dipilih HMI (The HMI Way) selama 62 tahun harus ditafsir ulang dan disegarkan kembali. Tentu empat hal di atas harus diperhatikan dan kiranya menjadi fokus tantangan dan ujian HMI pada usia ke-62 ini. Jalan yang sudah dipilih memang berhasil melahirkan generasi yang membanggakan, namun jika residunya tidak mampu dieliminir di tengah arah zaman yang berubah, akan berbalik menjadi boomerang yang melumpuhkan.

Kini anggota HMI berjumlah lebih dari 100 ribu orang yang tersebar di 186 cabang di seluruh Indonesia dengan berbagai kontribusi jutaan alumninya. Melihat potensi besar itu, HMI masih strategis dan merupakan aset vital untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik. Akhirnya secara objektif, siapapun akan berharap jika The HMI Way atau jalan yang dipilih HMI akan dapat menjawab tantangan zaman kekinian dan masa depan. Semoga.

Read More......