Senin, 17 Maret 2008

Kapitalisme, Domba, Meja Panjang

Oleh Muhammad Chatib Basri
Sejarah kapitalisme di Eropa mungkin adalah sejarah tentang domba danmeja panjang. Saya teringat satu risalah lama, mungkin ditulis olehOnghokham, tentang binatang ternak di Eropa dan Jawa beberapa abad lalu.

Di Eropa, ternak terpenting adalah domba, yang membutuhkankonsentrasi kapital yang besar (seperti lahan atau tanah) untukmenggembalakannya. Sedangkan di Jawa, konon, ternak utama adalah ayam, yang tak perlu konsentrasi kapital atau tanah yang luas. Sejarah kapitalisme barangkali juga sejarah tentang meja panjang.Cobalah lihat akar kata bank. Dalam bahasa Prancis, bank ditulis denganbanque (meja panjang yang berisi makanan), atau banca dalam bahasaItalia. Kata ini pun ada hubungannya dengan bangkrut, berasal dari katabanca rotta (Italia), yang artinya meja yang rusak (Inggris : rotten)karena kesalahan si pemilik meja itu sendiri. Tapi mengapa kemudian bank dikaitkan dengan meja panjang? Konon, ituadalah meja yang digunakan oleh orang Yahudi untuk mencatat aktifitaspeminjaman uangnya. Orang datang kepada lintah darat yang duduk didepan sebuah meja panjang. Saya tak tahu seberapa benar argumen ini, tapi marilah kita tengokperkembangan kapitalisme di Eropa. Di abad-abad lalu, kita melihatsebuah Eropa yang membenci duniawi. Aristoteles, misalnya, menunjukkanbahwa kebebasan adalah sebuah konsep tentang sebuah wilayah yangswasembada. Menjadi kaya, Aristoteles, adalah sesuatu yang boleh, tapimenjadi kaya melalui aktifitas dagang adalah membaha-yakan. Itu sebabnya mereka yang terlibat aktif dalam perdagangan untukmenghidupi diri mereka, dalam sebuah rezim yang baik, tidak boleh punyaperan dalam politik. Dan rezim yang baik adalah rezim yang diatur olehwarga terbaiknya dan memiliki nilai yang luhur. Karena itu warga yang baik adalah warga yang tak hidup dengan cara yangvulgar atau kasar seperti jalan hidup kaum pedagang. Dari konsep initampak bahwa dagang adalah kegiatan yang mencurigakan, yang menurunkanharkat. Pendapat Aristoteles ini juga sejalan dengan pandngan gerejawaktu itu, yang berlawanan diametral dengan pandangan para kapitalis. Kita mungkin teringat Wall Street, film Oliver Stone di akhir 1980 an,dimainkan Michael Douglas, yang memerankan Gordon Gekko. Gekko adalahsosok lantang : tamak adalah baik. Sebuah kontradiksi sempurna denganajaran Aristoteles atau ajaran agama-agam. Wall Street tentu sajasebuah film dengan pesan klasik, bahwa yang baik akan menang dan yangtamak akan kalah. Namun, dalam film ini dilukiskan dengan tajambagaimana ketamakan mendorong perilaku manusia. Membungakan uang atau riba dilarang oleh teologi Kristen, jauh sebelumIslam melarang riba. Dalam Kristen, pada awalnya orang diijinkanmeminjamkan uang kepada ”orang asing” tapi tidak kepada ”saudara”sendiri. Pandangan ini sejalan dengan pandangan proteksionis dan kaummerkantilis, yang mementingkan ”kelompok kita” dan mencoba mengambilkeuntungan dari pihak ”asing”. Dengan larangan membungakan uang bagi umat Kristen itu, yang tersisaadalah kelompok Yahudi. Lalu dibuatlah aturan : orang Kristen dilarangmembungakan uang, orang Yahudi tidak dilarang. Inilah yang kemudianmembuat Yahudi menguasai sektor ekonomi dan menjadi kaya. Larangan itumembuat kaum Yahudi kemudian diasosiasikan dengan aktifitas membungakanuang dan masuk dalam aktifitas ekonomi yang terlarang untuk orangKristen. Masyarakat Yahudi di Eropa yang semula hidup dari pertanian dankerajinan berubah menjadi masyarakat pedagang, terutama berdagang uang.Gereja Katolik kemudian memaksa komunitas Yahudi meninggalkankepemilikan tanah, dengan dengan cara tak akan membayar sewa tanah yangdimiliki Yahudi. Akibatnya masyarakat Yahudi beralih ke barang-barangberharga-bergerak, seperti berlian dan logam mulia. Dari sisi Yahudi sendiri, cara hidup berdagang sesuai dengan pandanganagama mereka, yang mengajarkan bahwa harus banyak waktu diserahkankepada Tuhan. Dagang dan membungakan uang kurang memakan waktuketimbang bertani, jadi lebih banyak waktu untuk mengabdi Tuhan. Itulah yang menjelaskan mengapa Yahudi kemudian menguasai perekonomiandi Eropa dan menjadi kuat secara politik, karena negara membutuhkanuang mereka untuk diperas. Karena itu masyarakat Yahudi bertindakseolah sebagai penghisap uang, yang kemudian akan dihisap lagi olehkerajaan. Bagaimanapun, Yahudi telanjur menguasai perekonomian Eropa. Benvenuti de Rambaldis de Imola menulis tentang karya termashur Dante,Divine Comedy. Penulis Italia itu berkelakar : mereka membunga-kan uangakan masuk ke neraka, sedangkan mereka yang gagal dalam membungakanuang akan terperosok ke dalam kemiskinan. Riwayat Yahudi di Eropa mungkin mirip dengan sejarah orang Cina diIndonesia. Kelompok Cina dulu tidak diijinkan masuk aktifitas selainekonomi; mereka kemudian berperan besar dalam ekonomi Indonesia. Memang kemudian terjadi pergeseran pandangan. Thomas Aquinas (Katolik)menyatakan uang itu steril dan tak kotor. Calvin (Protestan) berkata,membungakan uang diijinkan sampai lima persen, meski ia tetap mengecammereka yang hidup hanya dari membungakan uang. Dari sinilahtransformasi mulai terjadi. Kita bisa melihat beberapa pendukung pasar. Orang seperti Adam Smithdan Voltaire, misalnya, mengatakan bahwa aktifitas pasar dinilai bukankarena ia membuat orang menjadi lebih kaya, tapi karena memungkinkaneconomic self-interest dianggap kurang berbahaya dibanding upayamengejar hal lain, termasuk fanatisme agama. Voltaire adalah pengecam fanatisme agama, yang dianggap penyebab perangdan pertumpahan darah. Tentu orang bisa beragumen bahwa kapitalisme punmenimbulkan perang. Dan ini benar. Tapi David Friedman punya argumen lain. Menurut dia, ada tiga carauntuk membuat orang lain bersedia melakukan aktifitas yang kitainginkan. Cara pertama adalah cinta. Bila seseorang mencintai oranglain dengan sepenuh hati, maka ia akan melakukan permintaan orang itudengan sukarela. Sayangnya, dalam realitas kita tak bisa mengharapkansemua orang mencintai kita. Karena itu, kata Friedman : love is notenough. Cara kedua adalah paksaan (coercion). Pilihan ini kerap efektif untukmembuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan. Tapi paksaanakhirnya punya batas. Ada biaya yang sangat besar untuk ini. Maka perlucara ketiga : trade. Dalam trade, seseorang akan bersedia melakukanaktifitas bagi kepentingan orang lain, jika kepentingannya jugadiakomodasi oleh orang itu. Dengan kata lain, di sini terjadi pertukaran. Quid pro quo, atau iniuntuk itu. Dalam konteks ini ketika orang merasa bahwa dengan melakukansesuatu ia akan menerima manfaat dari tindakan itu, maka keputusannyauntuk bertindak akan bersifat sukarela. Dan ini sejalan dengan premis dasar libertarian. Selamakepentingan-kepentingan itu berinteraksi, dan masing-masing pihakmelihat keuntungan dari interaksi itu, selama itu pula proses interaksisosial berjalan. Sejarah kapitalisme memang penuh warna. Sebuah sejarah panjang yangmengalami transformasi : dari domba menjadi modal, dari meja panjangmenjadi bank.@

Read More......

Ziauddin Sardar: 'Islam Itu Seperti Samudra’

Sepekan di Indonesia, memberi gambaran yang bagus bagi pemikir Islam asal Inggris, Ziaudin Sardar, tentang masa depan Islam. Menurut dia, Indonesia adalah bentuk Islam di masa mendatang. Keberagaman yang ada di Indonesia, dinilainya bisa menjadi ikatan yang menyatukan. Dalam situasi perbincangan yang santai di salah satu ruang di British Council, Jakarta, dia menerima Iman F Yuniarto, Johar Arief, dan Irfan Junaidi, dari Republika untuk berbincang tentang masa depan dan agenda Islam. Berikut isi perbincangannya:

Bisa Anda gambarkan bagaimana masa depan Islam? Ya, kebanyakan orang berpikir bahwa Islam itu seperti sungai, yang diapit oleh batas, dan hanya mengalir ke satu arah. Tapi saya menganggap Islam itu seperti samudra yang tidak punya batas yang riil. Di samudra, Anda bisa mengarahkan budaya masyarakat pada arah tertentu yang dimiliki Islam. Di sungai, Anda tidak memerlukan penentuan arah. Di samudra, Anda memerlukan arah, karena Anda bisa bergerak ke manapun. Itulah nilai-nilai Islam. Menurut saya, kebanyakan Muslim tidak benar-benar memahami nilai Islam. Mereka pikir nilai Islam itu hanya shalat, puasa, zakat. Mereka tidak berpikir bahwa bertanya itu adalah juga nilai Islam. Mereka tidak menjadikan bertanya sebagai kunci dari nilai-nilai Islam. Padahal, kalau Anda lihat Alquran, di sana penuh dengan pertanyaan. Dialog pertama Nabi (Muhammad SAW) saat menerima wahyu adalah bertanya. Saat Nabi diminta untuk membaca, beliau mempertanyakan, apa yang harus dibaca. Jadi mengapa kita tidak jadikan bertanya sebagai nilai Islam. Jadi, buat saya, bertanya itu adalah nilai dasar Islam. Selain itu, membaca, berpikir, dan menulis, adalah juga nilai-nilai Islam. Bahkan, nilai ini datang lebih awal sebelum perintah shalat dan puasa. Dan jika Anda melihat masyarakat Muslim, satu hal yang tertinggal adalah membaca. Menulis juga tidak menjadi sesuatu yang diperhatikan dalam masyarakat Islam. Nilai lainnya yang juga penting adalah ijma' (konsensus). Mengapa ini penting. Karena dalam Islam juga dikenal debat dan mengkritik. Kalau Anda debat atau memberi kritik, berarti ada berbedaan pendapat. Tapi seseorang tidak bisa memaksakan pendapatnya. Anda bisa laksanakan pendapat jika sudah ada ijma'. Masyarakat Islam tidak pernah setuju dengan sesuatu yang salah. Musyawarah menjadi nilai Islam yang mendasar. Musyawarah itu berbeda dengan konsultasi. Musyawarah itu merupakan bentuk pertanggungjawaban. Konsultasi itu tidak mengandung pertanggungjawaban. Dan konsultasi itu hanya berupa pertanyaan yang sifatnya personal. Ada banyak mekanisme musyawarah. Pemilihan, referendum, adalah bagian dari musyawarah. Saya kira saat ini Muslim tidak punya navigasi, karena nilai-nilai yang dipegang hanya nilai-nilai yang bersifat ritual. Yang dipegang bukan nilai-nilai yang nyata. Jadi, menurut saya, masa depan Islam itu memiliki banyak arah. Jadi, saya tidak melihat masa depan Islam hanya bergerak pada satu arah. Karena itu, buku saya menyebut Islamic futures (huruf s di akhir kata menunjukkan jamak), bukan Islamic future, atau The Islamic future. Banyak sekali jalan untuk menjadi Muslim. Jadi masa depan Islam itu terbuka, beragam, dan dinamis. Islam itu bukan hanya satu, tapi beragam. Jadi menurut Anda, masa depan Islam itu cerah apa suram? Ya, itu pertanyaan yang akan saya jawab. Masa depan yang baik ataupun yang buruk itu tergantung kita. Masa depan bisa kita bentuk. Jadi, kalau kita bentuk agar masa depan menjadi suram, itu salah total. Tapi kalau kita ciptakan masa depan menjadi cerah, itu perjuangan kita. Jadi itu tergantung kita, bukan tergantung pada sesuatu yang abstrak. Saya percaya kita bisa membuat masa depan yang baik. Saya pikir, para cendekiawan muda di dunia Islam telah menyediakan sesuatu yang bisa diharapkan. Mereka bangkitkan Islam dalam berbagai aspek. Tapi kalau kita pikir bahwa ritual adalah segalanya, kita tidak akan pernah bisa bergerak ke manapun. Dan kita tidak akan berada di mana-mana dalam 500-600 tahun mendatang. Apakah masa depan Islam itu harus seperti kejayaan Islam di masa lalu? Tidak. Kalau Anda berjalan maju, terus Anda lihatnya ke belakang, maka Anda akan membentur sesuatu. Jadi kalau Anda maju, lihatlah ke depan. Tapi kalau perlu melihat ke belakang, jadikan itu sebagai momentum. Itulah yang disediakan sejarah. Kita perlu belajar sejarah, kita perlu maju dengan tradisi kita, tapi kita tidak boleh terkekang oleh tradisi kita. Tradisi itu hanya jadi batasan yang kaku. Berbagai tradisi itu diperlukan untuk memajukan masyarakat, bukan untuk mengekang. Saat ini kita sedang menghadapi isu besar berupa kampanye melawan teroris. Menurut Anda, apa dampaknya terhadap masa depan Islam? Menurut saya, isu terorisme telah menghambat kemajuan perkembangan masyarakat Islam. Saat ini, kalau Anda lihat masyarakat Muslim, kita akan lihat apa yang sebenarnya diperlukan masyarakat Muslim. Kebanyakan mereka kesulitan pendidikan. Lihatlah laporan UNDP. Lihatlah, di seluruh kawasaan Timur Tengah, tidak ada satu universitas yang bertaraf internasional. Dari Maroko sampai Iran, tidak ada satu universitas yang bertaraf internasional. Di Timur Tengah, pemerintahannya juga masih kerajaan serta menekan. Jadi agenda kita adalah terorisme dan agenda ini. Terorisme tidak akan mengatasi masalah (keterbelakangan dunia Islam) ini. Kita harus akui bahwa dunia Barat mempengaruhi Mubarak (presiden) di Mesir. Dunia Barat juga membuat penjajahan dan kekacauan di Irak, dan sebagainya. Itu benar. Tapi terorisme tidak akan bisa membuat Barat untuk tidak melakukan itu semua. Jadi problem bagi dunia Islam, bukan hanya kekuatan Barat, tapi juga kondisi dunia Islam sendiri. Haruskah kita terlibat dalam perang melawan terorisme itu? Ya, lihatlah contoh. Anda punya dua peristiwa pengeboman di Bali. Anda harus hentikan mereka yang jadi pelakunya. Jadi orang Indonesia bertanggung jawab untuk melakukan sesuatu yang bisa mencegahnya. Jadi mereka tidak membunuh manusia yang tidak berdosa. Saya pikir, kalangan ekstrem dalam masyarakat Muslim itu adalah minoritas. Tapi ini juga menjadi bagian dari tanggung jawab kita. Kalau Anda tidak bicara dengan mereka, kita izinkan mereka menjadi sesuatu yang tidak terlihat. Kalau Anda bicara dengan mereka, mereka akan menjadi terlihat. Manusia yang terlihat tidak akan mau menjadi teroris. Kita seharusnya tidak membiarkan mereka hidup hanya dalam dunia mereka yang terpisah dari kita. Apa yang membuat mereka tidak terlihat? Karena mereka berada di pinggiran. Mereka ingin sembunyi dan hanya bertukar pikiran hanya dengan anggota kelompok mereka. Kita perlu membawa mereka dalam komunitas dan tidak membiarkan mereka tersembunyi di pinggir. Kita sangat terbuka untuk berdialog dengan mereka. Kita tak boleh mereka mengambil anak-anak muda untuk dicuci otaknya. Sebagian kami menganggap bahwa perang terhadap terorisme sebenarnya perang terhadap Islam. Anda setuju? Saya pikir, terorisme paling menjadi masalah bagi umat Islam disbanding bagi umat lain. Umat Islam paling banyak menjadi korban dari aksi terorisme. Dalam 15 tahun terakhir, ratusan Muslim di Pakistan meninggal akibat serangan teroris. Ada juga satu kelompok Muslim yang membunuh Muslim yang lain, seperti yang terjadi antara Syiah dan Sunni. Hal serupa di Arab Saudi, Mesir, Yordania, dan sebagainya, yang terbunuh adalah Muslim. Bahkan tragedi 9/11, juga membunuh banyak Muslim. Bahkan tragedi 7/7 di London, juga membunuh banyak Muslim. Jadi terorisme menjadikan Muslim sebagai sasaran pertama. Jadi kalau menganggap perang melawan terorisme adalah perang melawan Islam, itu adalah mental dari korban yang terluka. Mereka berpikir tidak ada yang salah dengan dunia Islam. Yang selalu salah adalah Barat. Kita tertekan, sebabnya Barat. Kita tertinggal, sebabnya Barat. Kita lalai,sebabnya Barat, dan sebagainya. Semuanya, disebabkan Barat. Ini sangat berbahaya. Jadi sebenarnya di mana posisi Barat terhadap dunia Islam? Ini sangat jelas bahwa Barat adalah kekuatan yang dominan. Anda tahu bahwa kekuatan itu datang dari pengetahuan. Anda tahu bahwa kita memerlukan pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan dan kemajuan ekonomi. Militer hanyalah bagian kecil dan kekuatan itu. Anda tidak akan punya kekuatan militer jika tidak punya kekuatan ilmu pengetahuan. Dan kita lemah dalam semua ini. Kekuatan itu harus diusahakan, bukan datang begitu saja. Apa yang harus dilakukan dunia Islam terhadap kekuatan Barat? Menurut saya, dunia Islam harus mengajak dunia Barat. Ini era global. Kita harus turut serta dalam pemberdayaan yang dilakukan masyarakat dalam konteks yang sejajar. Saat ini kita tidak sejajar dalam kaitannya memajukan ilmu pengetahuan, riset, dan pemberdayaan masyarakat. Terlalu banyak perbedaan. Kita harus membangun kembali pemberdayaan masyarakat kita. (Republika - Senin, 09 Oktober 2006)

Read More......

Democratizing Globalization

Oleh Arip Musthopa

Dalam bukunya Making Globalization Work (Penguin Books, 2006), Joseph E. Stiglitz makin mengukuhkan karakternya yang memiliki perspektif yang tajam dan kritis terhadap globalisasi. Namun Stiglitz jauh dari sikap yang anti globalisasi, melainkan ia mengajukan berbagai pemikiran maju yang diharapkan menjadi solusi atas berbagai isu mendasar dalam globalisasi seperti kemiskinan, ketidakadilan, dan demokrasi. Bagi Stiglitz, globalisasi telah membawa suatu “unprecedented benefits to all”. Namun demikian, globalisasi harus terus dikritik dan harus di “remake” sehingga ia menjadi lebih dekat kepada apa yang ia janjikan.

Stiglitz menyoroti secara serius permasalahan ‘inequality’ (ketidakadilan/ kesenjangan) yang terus meningkat, khususnya dalam hal ekonomi. Isu seputar masalah ini adalah tentang ‘jobs’ (pekerjaan) dan tenaga kerja, produksi dan produktivitas, serta ‘income’, modal, dan ‘outsourcing’. Secara khusus, Stiglitz mengupas tentang outsourcing yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan Amerika ke India dan China. Menurutnya, fenomena outsourcing bukan hanya tentang upaya untuk meminimalisasi biaya produksi dan berapa jumlah tenaga kerja yang di-outsourced namun sudah mengakibatkan kekhawatiran orang-orang Amerika tentang pekerjaan dan bahkan dapat mengakibatkan gap antara supply dan demand tenaga kerja di Amerika Serikat yang bisa menyebabkan masalah yang lebih besar. Dalam periode tahun 2001-2004 saja, akibat outsourcing Amerika kehilangan 2,8 juta pekerjaan di sektor manufaktur.
Ulasan Stiglitz tentang peningkatan ketidakadilan dan fenomena outsourcing dalam tulisannya ini seolah ingin menunjukkan bahwa globalisasi bukan hanya memukul developing countries namun juga negara maju seperti Amerika Serikat. Karena fenomena outsourcing bagaimanapun bermuka dua, yakni keuntungan dan kerugian sekaligus. Bagi negara industri maju, paling tidak ada 3 jalan merespon tantangan globalisasi dalam masalah ini : pertama, mengesampingkan permasalahannya dan menerima peningkatan ‘inequality’; misalkan yang diajukan proponen teori trickle-down economics). Kedua, menolak globalisasi yang fair (adil). Sikap yang kedua ini berarti globalisasi merupakan momentum bagi Amerika dan Eropa menggunakan kekuatan ekonomi mereka untuk memastikan ‘rules of the game’ agar globalisasi menguntungkan mereka secara permanen –-paling tidak selama yang memungkinkan untuk itu. Baik yang pertama maupun yang kedua, bagi Stiglitz adalah ‘not working’ dan ‘morally wrong’ dan secara ekonomi maupun politik ‘unviable’. Selanjutnya Stiglitz merekomendasikan sikap yang ketiga, yakni ‘coping with globalization and reshaping it’. Dalam sikap yang ketiga ini, negara-negara industri maju hanya memerlukan sejumlah kebijakan dalam rangka upaya penyesuaian.
Stiglitz selanjutnya mengupas tentang terjadinya ‘democratic deficit’ dalam lembaga-lembaga internasional seperti IMF, WTO, dan World Bank. Hal ini ditunjukkan dengan tidak berjalannya prinsip dan mekanisme demokrasi dalam proses pengambilan kebijakan di lembaga-lembaga tersebut yang mengakibatkan kebijakan yang dikeluarkan tidak tepat dan menuai kegagalan. Selanjutnya hal ini berdampak pada citra dan kredibilitas lembaga-lembaga tersebut yang terus mengalami erosi.
Dalam upaya mengatasi masalah ini, Stiglitz mengajukan dua respon. Pertama, mereformasi tatanan institusional. Kedua, berfikir lebih hati-hati tentang apa yang diputuskan dalam level internasional. Yang pertama meliputi perubahan dalam struktur voting di IMF dan Bank Dunia, dengan memberikan hak yang lebih besar untuk negara-negara berkembang; perubahan dalam hal representasi/ perwakilan, siapa yang mewakili masing-masing negara? Hendaknya menteri yang terkait dengan bidang yang dibicarakan (tidak melulu menteri keuangan atau menteri di bidang ekonomi) ; mengadopsi prinsip perwakilan dengan mengacu pada prinsip-prinsip demokrasi.
Selanjutnya perlu juga dilakukan terhadap lembaga-lembaga tersebut upaya-upaya untuk meningkatkan transparansi; memperbaiki aturan-aturan tentang conflict-of-interest; lebih terbuka, termasuk memperbaiki prosedur-prosedur; mendorong kemampuan negara-negara berkembang untuk partisipasi secara lebih bermakna dalam proses pembuatan kebijakan; meningkatkan akuntabilitas; prosedur-prosedur hukum yang lebih baik; dan lebih baik lagi dalam mendorong ‘international rule of law’.
Sementara itu dalam rangka memperbaiki kebijakan-kebijakan di level internasional dibutuhkan ‘a new global social contract’ antara negara maju dan negara yang kurang maju/berkembang. Diantaranya adalah dengan membuat (1) sebuah komitmen dari negara-negara maju untuk menciptakan rezim perdagangan yang lebih fair, (2) sebuah pendekatan baru untuk hak atas kekayaan intelektual dan promosi riset, (3) sebuah persetujuan dari negara-negara maju untuk memberikan kompensasi kepada negara-negara berkembang atas ‘their environmental services’, (4) sebuah komitmen dari negara-negara maju untuk membayar negara-negara berkembang secara lebih fair atas sumber daya mereka yang dieksploitasi negara-negara maju; (5) mereformasi arsitektur keuangan global yang akan mengurangi ketidakstabilan, dan lain sebagainya.

Komentar
Apa yang dipaparkan dan diajukan oleh Stiglitz sungguh menarik dan banyak diantaranya bernilai praktis cukup tinggi. Hal ini tentu tidak terlepas dari pengalaman Stiglitz sendiri selama berkecimpung di lembaga-lembaga tersebut maupun di dalam pemerintahan Amerika Serikat. Namun demikian, tetap perlu digaris bawahi bahwa tetap dominannya perspektif negara maju dalam pandangan-pandangan Stiglitz. Sehingga cukup melakukan ‘remake’ atau ‘reshaping’, tidak perlu sampai ‘restructuring’ yang lebih radikal atau mendasar. Sehingga kita menjadi ragu apakah tawaran solusi yang diberikan oleh Stiglitz, yang nampaknya cukup optimistis dengan solusi yang diajukannya, akan benar-benar mencukupi untuk mewujudkan globalisasi yang ‘nearly live up to its promise’?
Globalisasi secara ilmu pengetahuan dan teknologi nampaknya tetap harus kita pandang sebagai sesuatu yang tak terhindarkan (given). Karena berkat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, interkoneksi (interconnection), intensitas (intencity), dan kecepatan (velocity) menjadi sesuatu yang sungguh nyata dan semakin meningkat. Namun apakah demikian secara ekonomi dan politik harus dipandang sebagai sesuatu yang given ? Sungguh saya tidak berpikir demikian. Sikap yang lebih kritis dan berhati-hati harus ditujukan dalam memandang globalisasi secara ekonomi dan politik, melebihi apa yang dilakukan oleh Stiglitz, dari sudut pandang negara dunia ketiga/negara berkembang yang merupakan habitat kini kita berada.
Kita sepakat dengan Stiglitz agar ada upaya untuk meningkatkan peranan negara-negara berkembang dalam pengambilan keputusan di lembaga-lembaga internasional. Namun hal tersebut akan semu apabila peningkatan itu tidak sampai pada titik yang memungkinkan negara-negara berkembang memiliki potensi untuk menang yang sama (fifty-fifty) dengan negara maju dalam menggolkan suatu kebijakan. Bahkan bagi kita, mungkin yang lebih dibutuhkan bukan potensi yang sama secara aturan main, melainkan potensi untuk menang yang lebih besar dari negara-negara maju dalam menggolkan suatu kebijakan karena dengan menggolkan lebih banyak kebijakan yang menguntungkan kita, kita memiliki banyak kesempatan untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju.@

Read More......

Refleksi 60 Tahun HMI

Oleh Anas Urbaningrum

Meraih Kembali Tradisi Intelektual Hari ini, 5 Februari 2007, HMI genap 60 tahun. Sebagai organisasi, HMI belumlah tua. Mengapa? Sebab, tugas sejarahnya belum mencapai puncak, apalagi selesai. Masih banyak tugas dan peran yang nyata-nyata menuntut kehadiran HMI.

Parameternya jelas, yakni khitah kelahiran HMI dengan visi keislaman dan keindonesiaan yang disandang. Dalam bahasa sederhana, hisab itu berbasis pertanyaan dasar: apa yang telah disumbangkan HMI bagi umat dan bangsa?Keluarga Besar HMI paham persis bahwa Harapan Masyarakat Indonesia adalah ungkapan Panglima Besar Jenderal Soedirman dalam bagian sambutannya pada dies natalis pertama HMI di Jogjakarta pada 1948. Saat itu, Jenderal Soedirman menumpahkan harapannya agar HMI bukan semata-mata Himpunan Mahasiswa Islam, tapi menjadi Harapan Masyarakat Indonesia.Plus-MinusSepanjang 60 tahun berdiri, HMI telah menampilkan peran dan kiprah bagi umat Islam dan bangsa Indonesia. HMI tidak hanya telah melahirkan banyak alumnus yangtersebar di berbagai bidang kehidupan bangsa, tapi juga turut mewarnai sejarah modern Islam Indonesia.Berbagai model alumnus lahir dari rahim perkaderan HMI. Berbagai tipe alumnus telah bermunculan dari pembelajaran di HMI. Kiprah alumni tumbuh dan berkembang sesuai panggilan jiwa masing-masing. Bebas memilih, sebebas cara berpikir yang dikembangkan dalam kehidupan organisasi.Jujur harus dikatakan, tidak semua kiprah dan peran alumni HMI bisa menjadi teladan. Ada yang tidak berhasil melawan sifat lalai, alpa, kemudian menerima musibah nama baik. Tapi, sebagian besar adalah orang-orang yang hidup dan tampil wajar, sesuaiprofesi masing-masing. Ulet bekerja, berkarya penuh ketekunan.Ada sejarah 1950-an yang melahirkan komitmen Negara nasional, bukan negara Islam. Ada sejarah 1960-an yang lebih berwarna pergulatan politik melawan kekuatankomunisme. Ada sejarah 1970-an yang ditandai tawaran terobosan tentang gerakan kultural bagi perjuangan umat Islam Indonesia.Tapi, ada pula sejarah 80-an yang menandai hubungan akomodatif dengan negara, terutama ketika isu asas tunggal. Ada pula sejarah 1990-an yang merupakankelanjutan sejarah relasi akomodasionis antara umat Islam dan negara serta diakhiri dinamika reformasi yang ditandai berhentinya Presiden Soeharto.Sama dengan organisasi dan gerakan kemahasiswaan lain, tantangan HMI menjadi lebih berat. Kondisi eksternal yang berubah cepat, dengan berbagai warna dan dinamikanya, sangat menuntut adaptasi, kreasi peran, serta kiprah baru yang relevan dan produktif.Ketika sikap kritis menjadi hal biasa, ketika intelektualitas mudah diakses secara bebas, ketika tradisi keagamaan berkembang pesat dengan penuh warna-warni, ketika politik massa menjadi lebih menonjol ketimbang keterampilan individual dan kekuatan lobi, ketika kekuatan dana sering membabat komitmen politik, serta ketika lulusan perguruan tinggi menghadapi sempitnya lapangan kerja, di manakah posisi dan peran organisasi kemahasiswaan di Indonesia? Di situ pula HMI berada. Sungguh tantangansejarah yang berat.Tegakkan KhitahSebagai organisasi perjuangan, HMI tetap penting dan strategis. Lahan garap mahasiswa, komunitas kaum muda terdidik, adalah wilayah yang lebih unggul daripada kelompok muda lain. Meski tidak sepenting pada zaman pra-kemerdekaan, 1950 sampai 1970, posisi serta peran mahasiswa tetap penting.Mahasiswa mempunyai peluang dan kesempatan untuk melakukan mobilitas sosial menjadi kelas menengah, pada berbagai bidang kehidupan yang semakinterbagi-bagi oleh proses modernisasi.Betapa pun, kelas menengah yang muncul membesar dan kuat merupakan salah satu modal pokok bagi masa depan Indonesia. Bukan kelas menengah yang (semata-mata)lahir dari faktor darah dan keturunan atau sebab-musabab patronase politik dan birokrasi, tapi kelas menengah yang lahir otentik lantaran kemampuan akademik-intelektua lnya, kemahiran dan ketrampilan teknokratisnya, serta komitmen sosialnya untuk terlibat dalam berbagai masalah kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.HMI akan tetap hidup, tegak dan terus mampu menjalankan tugas sejarahnya, jika secara sungguh-sungguh mengonsentrasikan diri pada pengaderan mahasiswa yang dengan tajam diorientasikan kepada lahirnya komunitas kelas menengah yang mempunyai kedalaman akademik-intelektua l, kemahiran, ketrampilan teknokratis, serta komitmen sosial-politik yang memadai. Tentu, semua dipayungi komitmen dan landasan keislaman yang cukup.Dalam kaitan tersebut, HMI perlu menjaga, merawat, dan menajamkan pengaderan anggotanya dengan aksentuasi pada beberapa hal pokok. Pertama, pengkajian danpendalaman Islam adalah sisi mutlak. Kader sangat perlu dibekali wawasan dan inspirasi, pengetahuan, kesadaran dan spirit pergerakan, serta tubuh dan api Islam. Tentu, Islam dalam pengertian dan wajah modernis, pluralis, damai, kontekstual, dan bervisi masa depan. Kedua, pengembangan tradisi intelektual sangat penting dijaga dan dibangkitkan kembali. Itulah salah satu karakter yang menjadi bagian sejarah HMI. Jika sekarang intelektualitas dan tradisi intelektualisme agak menurun, tidak ada jalan lain kecuali menggali kembali "harta karun" tradisi intelektual yang dulu pernah berkembang.Ketiga, pengembangan tradisi kepemimpinan yang demokratis dan mengakar. HMI masih berpotensi menjadi salah satu ladang bagi lahirnya kepemimpinan sipildari kalangan Islam moderat –berpaham nasionalis-religius Islam. Kader-kader HMI, baik yang terjun lebih cepat ke jalur partai politik, menjadi akademisi atau jalur intelektual di kampus, maupun yang menempa diri di jalur LSM, dituntut tidak hanyamampu dan matang secara politik, terampil berorganisasi, dan mahir berkomunikasi sosial, tapi juga semakin dituntut untuk membangun basis dan akar politik yang memadai. Selamat dies natalis ke-60. Wallahu a’lam. (Jawa Post, 5 Feb 2007)Anas Urbaningrum, ketua umum PB HMI periode 1997-1999

Read More......

Globalisasi dan Indonesia 2030

Oleh: Sri Hartati Samhadi
Abad ke-21 adalah abad milik Asia. Pada tahun 2050 separuh lebih produk nasional bruto dunia bakal dikuasai Asia. China, menggusur Amerika Serikat, akan menjadi pemain terkuat dunia, diikuti India di posisi ketiga. Lalu, apa peran dan di mana posisi Indonesia waktu itu?

China dan India dengan segala ekspansinya, berdasarkan sejumlah parameter saat ini dan prediksi ke depan, sudah jelas adalah pemenang dalam medan pertarungan terbuka dunia di era globalisasi, di mana tidak ada lagi sekat-sekat bukan saja bagi pergerakan informasi, modal, barang, jasa, manusia, tetapi juga ideologi dan nasionalisme negara.
Globalisasi ekonomi dan globalisasi korporasi juga memunculkan barisan korporasi dan individu pemain global baru. Lima tahun lalu, 51 dari 100 kekuatan ekonomi terbesar sudah bukan lagi ada di tangan negara atau teritori, tetapi di tangan korporasi.
Pendapatan WalMart, jaringan perusahaan ritel AS, pada tahun 2001 sudah melampaui produk domestik bruto (PDB) Indonesia sebagai negara. Penerimaan perusahaan minyak Royal Dutch Shell melampaui PDB Venezuela, salah satu anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang berpengaruh.
Pendapatan perusahaan mobil nomor satu dunia dari AS, General Motor, kira-kira sama dengan kombinasi PDB tiga negara: Selandia Baru, Irlandia, dan Hongaria. Perusahaan transnasional (TNCs) terbesar dunia, General Electric, menguasai aset 647,483 miliar dollar AS atau hampir tiga kali lipat PDB Indonesia.
Begitu besar kekuatan uang dan pengaruh yang dimiliki korporasi-korporasi ini sehingga mampu mengendalikan pengambilan keputusan di tingkat pemerintahan dan menentukan arah pergerakan perdagangan dan perekonomian global.
Pada awal dekade 1990-an terdapat 37.000 TNCs dengan sekitar 170.000 perusahaan afiliasi yang tersebar di seluruh dunia. Tahun 2004 jumlah TNCs meningkat menjadi sekitar 70.000 dengan total afiliasi 690.000. Sekitar 75 persen TNCs ini berbasis di Amerika Utara, Eropa Barat, serta Jepang, dan 99 dari 100 TNCs terbesar juga dari negara maju.
Namun, belakangan pemain kelas dunia dari negara berkembang, terutama Asia, mulai menyembul di sana-sini. Dalam daftar 100 TNCs nonfinansial terbesar dunia (dari sisi aset) versi World Investment Report 2005, ada nama seperti Hutchison Whampoa Limited (urutan 16) dari Hongkong, Singtel Ltd (66) dari Singapura, Petronas (72) dari Malaysia, dan Samsung (99) dari Korea Selatan.
Sementara dalam daftar 50 TNCs finansial terbesar dunia, ada tiga wakil dari China, yakni Industrial & Commercial Bank of China (urutan 23), Bank of China (34), dan China Construction Bank (39).


Lompatan besar
Menurut data United Nations Conference on Trade and Development, pada tahun 2004 China adalah eksportir terbesar ketiga di dunia untuk barang (merchandise goods) dan kesembilan terbesar untuk jasa komersial, dengan pangsa 9 dan 2,8 persen dari total ekspor dunia.
Volume ekspor China mencapai 325 miliar dollar AS tahun 2002 dan tahun lalu 764 miliar dollar AS. Manufaktur menyumbang 39 persen PDB China. Output manufaktur China tahun 2003 adalah ketiga terbesar setelah AS dan Jepang. Di sektor jasa, China yang terbesar kesembilan setelah AS, Jepang, Jerman, Inggris, Perancis, Italia, Kanada, dan Spanyol.
Sementara India peringkat ke-20 eksportir merchandise goods (1,1 persen) dan peringkat ke-22 untuk jasa komersial (1,5 persen). Produk nasional bruto (GNP) China tahun 2050 diperkirakan 175 persen dari GNP AS, sementara GNP India sudah akan menyamai AS dan menjadikannya perekonomian terbesar ketiga dunia, mengalahkan Uni Eropa dan Jepang.
Ketika China membuka diri pada dunia dua dekade lalu, orang hanya membayangkan potensi China sebagai pasar raksasa dengan lebih dari semiliar konsumen sehingga sangat menarik bagi perusahaan ritel dan manufaktur dunia. Belakangan, China bukan hanya menarik dan berkembang sebagai pasar, tetapi juga sebagai basis produksi berbagai produk manufaktur untuk memasok pasar global. China awal abad ke-21 ini seperti Inggris abad ke-19 lalu.
China tidak berhenti hanya sampai di sini. Jika pada awal 1990-an hanya dipandang sebagai lokasi menarik untuk basis produksi produk padat karya sederhana, dewasa ini China membuktikan juga kompetitif dalam berbagai industri berteknologi maju. Masuknya China dalam keanggotaan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) semakin melapangkan jalan bagi negeri Tirai Bambu ini untuk menjadi kekuatan yang semakin sulit ditandingi di pasar global.
Di sektor padat karya, seperti tekstil dan pakaian jadi, diakhirinya rezim kuota di negara-negara maju membuat ekspor China membanjiri pasar dunia dan membuat banyak industri tekstil dan pakaian jadi di sejumlah negara berkembang pesaing harus tutup. Pangsa ekspor pakaian dari China diperkirakan akan melonjak dari sekitar 17 persen dari total ekspor dunia saat ini menjadi 45 persen pada paruh kedua dekade ini.
Hal serupa terjadi pada produk-produk berteknologi tinggi. Bagaimana China menginvasi dan membanjiri pasar global dengan produk-produknya, dengan menggusur negara-negara pesaing, bisa dilihat dari data WTO berikut.
Pangsa China di pasar elektronik AS meningkat dari 9,5 persen (tahun 1992) menjadi 21,8 persen (1999). Sementara pada saat yang sama, pangsa Singapura turun dari 21,8 persen menjadi 13,4 persen. Kontribusi China terhadap produksi personal computer dunia naik dari 4 persen (1996) menjadi 21 persen (2000), sementara kontribusi ASEAN secara keseluruhan pada kurun waktu yang sama menciut dari 17 persen menjadi 6 persen.
Pangsa China terhadap total produksi hard disk dunia juga naik dari 1 persen (1996) menjadi 6 persen (2000), sementara pangsa ASEAN turun dari 83 persen menjadi 77 persen. Pangsa China untuk produksi keyboard naik dari 18 persen (1996) menjadi 38 persen (2000), sementara pangsa ASEAN tergerus dari 57 persen menjadi 42 persen.
Semua gambaran itu jelas memperlihatkan China terus naik kelas, membuat lompatan besar dari waktu ke waktu, dan pada saat yang sama terus memperluas diversifikasi produk dan pasarnya. Gerakan sapu bersih China di berbagai macam industri—mulai dari yang berintensitas teknologi sangat sederhana hingga intensitas teknologi dan nilai tambah sangat tinggi—ini semakin mempertegas posisi China sebagai the world’s factory memasuki abad ke-21.
Sementara pada saat yang sama, negara-negara tetangganya justru mengalami hollowing out di industri manufaktur berteknologi tinggi dengan cepat. Di industri berintensitas teknologi rendah yang cenderung padat karya, China menekan negara-negara seperti Vietnam dan Indonesia yang basis industrinya masih sempit, yakni teknologi yang tidak terlalu complicated dan bernilai tambah rendah.
Sementara di industri yang berintensitas teknologi tinggi, China semakin menjadi ancaman tidak saja bagi negara seperti Taiwan dan Korsel, tetapi juga AS dan Jepang. China tidak hanya membanjiri dunia dengan garmen, sepatu, dan mainan, tetapi juga produk-produk komputer, kamera, televisi, dan sebagainya.
China memasok 50 persen lebih produksi kamera dunia, 30 persen penyejuk udara (air conditioners/AC), 30 persen televisi, 25 persen mesin cuci, 20 persen lemari pendingin, dan masih banyak lagi.
Inovasi
Bagaimana China bisa melakukan itu semua? Ada beberapa faktor. Pertama, perusahaan-perusahaan teknologi asing, menurut Deloitte Research, sekarang ini berebut masuk untuk investasi di China, antara lain agar bisa memanfaatkan akses ke pasar China yang sangat besar dan bertumbuh dengan cepat. Kedua, perusahaan-perusahaan lokal yang menarik modal dari investor China di luar negeri (terutama Taiwan) juga semakin terampil memproduksi barang-barang berteknologi tinggi.
Tidak statis di industri padat karya yang mengandalkan upah buruh murah, China kini mulai lebih selektif menggiring investasi ke industri yang menghasilkan high end products dan padat modal. Ini antara lain untuk mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja murah yang mulai berkurang ketersediaannya.
Ketiga, perguruan-perguruan tinggi di China mampu mencetak barisan insinyur baru dalam jumlah besar setiap tahunnya, dengan upah yang tentu relatif murah dibandingkan jika menyewa insinyur asing. Setiap tahun, negara ini menghasilkan 2 juta-2,5 juta sarjana, dengan 60 persennya dari jurusan teknologi (insinyur). Sebagai perbandingan, di Indonesia lulusan jurusan teknologi hanya 18 persen, AS 25 persen, dan India 50 persen.
Untuk mendukung pertumbuhan industri teknologi tinggi padat modal yang menghasilkan high end products, pemerintahan China juga sangat agresif mendorong berbagai kegiatan penelitian dan pengembangan (R&D), sejalan dengan ambisinya menjadi The Fastest Growing Innovation Centre of the World, dengan tahapan, strategi, dan implementasi yang sangat jelas untuk sampai ke sana.
Hampir di setiap ibu kota provinsi ada R&D centre-nya. Positioning strategy ini mengindikasikan China mulai masuk babak kedua dalam pembangunan ekonominya.
Ketiga, negara ini relatif memiliki infrastruktur yang sangat bagus untuk mengangkut komponen dan barang dari luar dan juga di seluruh penjuru negeri. China, dengan 1,3 miliar penduduk, memiliki 88.775 kilometer jalan arteri dan 100.000 kilometer jalan tol, atau rasio panjang jalan per sejuta penduduk 1.384 kilometer.
Sebagai perbandingan, Indonesia dengan 220 juta penduduk baru memiliki jalan arteri 26.000 kilometer dan jalan tol 620 kilometer (121 kilometer per sejuta penduduk). Itu pun sebagian besar dalam kondisi rusak. Pelabuhan-pelabuhan di China sudah mampu melayani seperlima volume kontainer dunia dan negara ini terus membangun jalan-jalan tol dan pelabuhan-pelabuhan baru.
Keempat, kebijakan pemerintah yang sangat mendukung, termasuk perizinan investasi, perpajakan, dan kepabeanan. Kelima, pembangunan zona-zona ekonomi khusus (20 zona) sebagai mesin pertumbuhan ekonomi sehingga perkembangan ekonomi bisa lebih terfokus dan pembangunan infrastruktur juga lebih efisien.
Hasilnya, tahun 2004 China berhasil menarik investasi langsung asing 60,6 miliar dollar AS dan 500 perusahaan terbesar dunia hampir seluruhnya melakukan investasi di sana. Bagaimana kompetitifnya China bisa dilihat di tabel. Di sini kelihatan China sudah memperhitungkan segala aspek untuk bisa bersaing dan merebut abad ke-21 dalam genggamannya.
Hal serupa terjadi pada India yang mengalami pertumbuhan pesat sejak program liberalisasi dengan membongkar ”License raj" pada era Menteri Keuangan Manmohan Singh tahun 1991. India kini sudah masuk tahap kedua strategi pembangunan ekonomi dengan menggunakan teknologi informasi (IT) sebagai basis pembangunan ekonominya.
Hampir seluruh pemain bisnis IT dunia sudah membuka usahanya di India, terutama di Bangalore. Tahun 2006, pendapatan dari IT India mencapai 36 miliar dollar AS. Malaysia, Thailand, dan Filipina juga beranjak ke produk-produk yang memiliki tingkat teknologi lebih kompleks dan bernilai tambah tinggi. Singapura dan Korsel mengarah ke teknologi informasi dan perancangan produk.
Pragmatisme
Bagaimana dengan Indonesia? Prinsip globalisasi adalah adanya pembagian kerja untuk mencapai efisiensi. Sinyalemen bahwa Indonesia dengan tenaga kerja melimpah dan upah buruh murah hanya kebagian industri ”peluh” (sweatshop) seperti pakaian jadi dan alas kaki dalam rantai kegiatan produksi global, terbukti sebagian besar benar.
China, India, dan Malaysia juga memulai dengan sweatshop, tetapi kemudian mampu meng-upgrade industrinya dengan cepat. Hal ini yang tidak terjadi di Indonesia. Kebijakan Indonesia menghadapi globalisasi sendiri selama ini lebih didasarkan pada sikap pragmatisme.
Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Hadi Soesastro (Globalization: Challenge for Indonesia) mengatakan, kebijakan pemerintah menghadapi globalisasi tidak didasarkan pada pertimbangan ideologis, tetapi lebih pada penilaian obyektif apa yang bisa dicapai negara-negara Asia Timur lain.
Apalagi, saat itu di antara negara-negara di kawasan Asia sendiri ada persaingan, berlomba untuk meliberalisasikan perekonomiannya agar lebih menarik bagi investasi global. Momentum ini didorong lagi oleh munculnya berbagai kesepakatan kerja sama ekonomi regional seperti AFTA dan APEC.
Pemerintah meyakini melalui liberalisasi pasar, industri dan perusahaan-perusahaan di Indonesia akan bisa menjadi kompetitif secara internasional. Sejak pertengahan tahun 1980-an, Indonesia sudah mulai meliberalisasikan dan menderegulasikan rezim perdagangan dan investasinya.
Selama periode 1986-1990, tidak kurang dari 20 paket kebijakan liberalisasi perdagangan dan investasi diluncurkan. Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Timur yang memulai program liberalisasi ekonomi dengan liberalisasi rezim devisa.
Namun, dalam banyak kasus, paket kebijakan yang ditempuh pemerintah untuk mendorong sektor swasta waktu itu cenderung reaktif dan tak koheren serta diskriminatif karena sering kali tidak menyertakan kelompok atau sektor tertentu dari program deregulasi. Jadi, tidak mendorong terjadinya persaingan yang sehat.
Pengusaha tumbuh dan menggurita bukan karena ia efisien dan kompetitif, tetapi karena ia berhasil menguasai aset dan sumber daya ekonomi, akibat adanya privelese atau KKN dengan penguasa.
Kini Indonesia terkesan semakin gamang menghadapi globalisasi, terutama di tengah tekanan sentimen nasionalisme di dalam negeri. Di pihak pemerintah sendiri, karena menganggap sudah sukses melaksanakan tahap pertama liberalisasi (first-order adjustment) ekonomi, pemerintah cenderung menganggap sepele tantangan yang menunggu di depan mata.
Ini tercermin dari sikap taken for granted dan cenderung berpikir pendek. Padahal, tantangan akan semakin berat dan kompleks sejalan dengan semakin dalamnya integrasi internasional. Belum jelas bagaimana perekonomian dan bangsa ini menghadapi kompetisi lebih besar yang tidak bisa lagi dibendung.
Jika China yang the world’s factory dan India yang kini menjadi surga outsourcing IT dunia berebut menjadi pusat inovasi dunia, manufacture hub, atau mimpi-mimpi lain, Indonesia sampai saat ini belum berani mencanangkan menjadi apa pun atau mengambil peran apa pun di masa depan. Jika Indonesia sendiri tak mampu memberdayakan dan menolong dirinya serta membiarkan diri tergilas arus globalisasi, selamanya bangsa ini hanya akan menjadi tukang jahit dan buruh.
Menurut seorang panelis, yang dibutuhkan Indonesia sekarang ini adalah visioning, repositioning strategy, dan leadership. Tanpa itu semua, kita tidak akan pernah beranjak dari transformasi yang terus berputar-putar. Dengan visi jelas, tahapan-tahapan yang juga jelas, dan komitmen semua pihak serta kepemimpinan yang kuat untuk mencapai itu, tahun 2030 bukan tidak mungkin Indonesia juga bisa bangkit kembali menjadi bangsa yang lebih bermartabat dan berdaya sebagai pemenang dalam globalisasi.

Read More......

Benua Atlantis itu (Ternyata) Indonesia

Oleh Prof. Dr. H. Priyatna Abdurrasyid, Ph.D.*
MUSIBAH alam beruntun dialami Indonesia. Mulai dari tsunami di Aceh hingga yang mutakhir semburan Lumpur panas di Jawa Timur. Hal itu mengingatkan kita pada peristiwa serupa di wilayah yang dikenal sebagai Benua Atlantis. Apakah ada hubungan antaraIndonesia dan Atlantis?
Plato (427 - 347 SM) menyatakan bahwa puluhan ribu tahun lalu terjadi berbagai letusan gunung berapi secara serentak, menimbulkan gempa, pencairan es, dan banjir. Peristiwa itu mengakibatkan sebagian permukaan bumi tenggelam. Bagian itulah yang disebutnya benua yang hilang atau Atlantis. Penelitian mutakhir yang dilakukan oleh Aryso Santos, menegaskan bahwa Atlantis itu adalah wilayah yang sekarang disebut Indonesia.
Setelah melakukan penelitian selama 30 tahun, ia menghasilkan buku Atlantis, The LostContinent Finally Found, The Definitifve Localization of Plato's Lost Civilization (2005). Santos menampilkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani, yang akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah Indonesia. Sistem terasisasi sawah yang khas Indonesia, menurutnya, ialah bentuk yang diadopsi oleh Candi Borobudur, Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Aztec di Meksiko.
Konteks Indonesia
Bukan kebetulan ketika Indonesia pada tahun 1958, atas gagasan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja melalui UU No. 4 Perpu Tahun 1960, mencetuskan Deklarasi Djoeanda. Isinya menyatakan bahwa negara Indonesia dengan perairan pedalamannya merupakan kesatuan wilayah nusantara. Fakta itu kemudian diakui oleh Konvensi Hukum Laut Internasional 1982.
Merujuk penelitian Santos, pada masa puluhan ribu tahun yang lalu wilayah negara Indonesiamerupakan suatu benua yang menyatu. Tidak terpecah-pecah dalam puluhan ribu pulau seperti halnya sekarang. Santos menetapkan bahwa pada masa lalu itu Atlantis merupakan benua yang membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa, Kalimantan, terus ke arah timur dengan Indonesia (yang sekarang) sebagai pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi yang aktif dan dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Teori Plato menerangkan bahwa Atlantis merupakan benua yang hilang akibat letusan gunung berapi yang secara bersamaan meletus. Pada masa itu sebagian besar bagian dunia masih diliput oleh lapisan-lapisan es (era Pleistocene) . Dengan meletusnya berpuluh-puluh gunung berapi secara bersamaan yang sebagian besar terletak di wilayah Indonesia (dulu) itu, maka tenggelamlah sebagian benua dan diliput oleh air asal dari es yang mencair. Di antaranyaletusan gunung Meru di India Selatan dan gunung Semeru/Sumeru/Mahameru di JawaTimur. Lalu letusan gunung berapi di Sumatera yang membentuk Danau Toba denganpulau Samosir, yang merupakan puncak gunung yang meletus pada saat itu.
Letusan yang paling dahsyat di kemudian hari adalah gunung Krakatau (Krakatoa) yang memecah bagian Sumatera dan Jawa dan lain-lainnya serta membentuk selat dataran Sunda. Atlantis berasal dari bahasa Sanskrit Atala, yang berarti surga atau menara peninjauan(watch tower), Atalaia (Potugis), Atalaya (Spanyol). Plato menegaskan bahwa wilayah Atlantis pada saat itu merupakan pusat dari peradaban dunia dalam bentuk budaya, kekayaan alam, ilmu/teknologi, dan lain-lainnya. Plato menetapkan bahwa letak Atlantis itu di Samudera Atlantik sekarang.
Pada masanya, ia bersikukuh bahwa bumi ini datar dan dikelilingi oleh satu samudera (ocean) secara menyeluruh. Ocean berasal dari kata Sanskrit ashayana yang berarti mengelilingi secara menyeluruh. Pendapat itu kemudian ditentang oleh ahli-ahli di kemudian hari seperti Copernicus, Galilei-Galileo, Einstein, dan Stephen Hawking.
Santos berbeda dengan Plato mengenai lokasi Atlantis. Ilmuwan Brazil itu berargumentasi, bahwa pada saat terjadinya letusan berbagai gunung berapi itu, menyebabkan lapisan es mencair dan mengalir ke samudera sehingga luasnya bertambah. Air dan Lumpur berasaldari abu gunung berapi tersebut membebani samudera dan dasarnya, mengakibatkan tekanan luar biasa kepada kulit bumi di dasar samudera, terutama pada pantai benua. Tekanan ini mengakibatkan gempa. Gempa ini diperkuat lagi oleh gunung-gunung yang meletus kemudian secara beruntun dan menimbulkan gelombang tsunami yang dahsyat. Santos menamakannya Heinrich Events.
Dalam usaha mengemukakan pendapat mendasarkan kepada sejarah dunia, tampak Plato telah melakukan dua kekhilafan, pertama mengenai bentuk/posisi bumi yang katanya datar. Kedua, mengenai letak benua Atlantis yang katanya berada di Samudera Atlantik yang ditentang oleh Santos. Penelitian militer Amerika Serikat di wilayah Atlantik terbukti tidak berhasil menemukan bekas-bekas benua yang hilang itu. Oleh karena itu tidaklah semena-mena ada peribahasa yang berkata, "Amicus Plato, sed magis amica veritas." Artinya,"Saya senang kepada Plato tetapi saya lebih senang kepada kebenaran."
Namun, ada beberapa keadaan masa kini yang antara Plato dan Santos sependapat. Yakni pertama, bahwa lokasi benua yang tenggelam itu adalah Atlantis dan oleh Santos dipastikan sebagai wilayah Republik Indonesia. Kedua, jumlah atau panjangnya mata rantai gunung berapi di Indonesia. Di antaranya ialah Kerinci, Talang, Krakatoa, Malabar, Galunggung,Pangrango, Merapi, Merbabu, Semeru, Bromo, Agung, Rinjani. Sebagian dari gunung itu telah atau sedang aktif kembali. Ketiga, soal semburan lumpur akibat letusan gunung berapi yang abunya tercampur air laut menjadi lumpur. Endapan lumpur di laut ini kemudian meresap ke dalam tanah di daratan. Lumpur panas ini tercampur dengan gas-gas alam yang merupakan impossible barrier of mud (hambatan lumpur yang tidak bisa dilalui), atau in navigable (tidak dapat dilalui), tidak bisa ditembus atau dimasuki.
Dalam kasus di Sidoarjo, pernah dilakukan remote sensing, penginderaan jauh, yang menunjukkan adanya sistim kanalisasi di wilayah tersebut. Ada kemungkinan kanalisasi itu bekas penyaluran semburan lumpur panas dari masa yang lampau. Bahwa Indonesia adalah wilayah yang dianggap sebagai ahli waris Atlantis, tentu harus membuat kita bersyukur. Membuat kita tidak rendah diri di dalam pergaulan internasional, sebab Atlantis pada masanya ialah pusat peradaban dunia. Namun sebagai wilayah yang rawan bencana, sebagaimana telah dialami oleh Atlantis itu, sudah saatnya kita belajar dari sejarah dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan mutakhir untuk dapat mengatasinya. @
*Penulis, Direktur Kehormatan International Institute of Space Law (IISL), Paris-Prancis

Read More......

ASEAN Power Grid

Oleh Arip Musthopa
Tanggal 23 Agustus 2007 di Singapura, para menteri energi negara-negara ASEAN menandatangani Memorandum of Understanding on The ASEAN Power Grid, dari Indonesia diwakili oleh Menteri ESDM, Purnomo Yusgiantoro. Ide dalam MoU ini bukanlah hal baru, sebagaimana disebutkan dalam MoU tersebut, secara nyata gagasan ASEAN Power Grid sebagai “electricity interconnecting arrangements within ASEAN” disepakati menjadi muatan dalam ASEAN Vision 2020 yang dirumuskan dalam Second ASEAN Informal Summit di Kuala Lumpur, 15 Desember 2007.

Pertemuan Menteri-Menteri Energi ASEAN (AMEM) tahun 1999 dan 2004 yang merumuskan ASEAN Plan for Energy Cooperation semakin menajamkan rencana pembangunan ASEAN Power Grid tersebut. Selanjutnya, pertemuan AMEM ke-20 di Bali 5 Juli 2002 mengesahkan ASEAN Power Grid’s Roadmap for Intergration, dan pertemuan ke-21 AMEM di Langkawi, Malaysia pada 3 Juli 2003 menghasilkan Final Report of the ASEAN Interconnection Master Plan Study (AIMS) sebagai dua dokumen yang menjadi rujukan implementasi proyek tersebut.
Agar dapat menjadi dokumen yang mengikat, MoU tersebut harus diratifikasi oleh masing-masing negara anggota ASEAN sebagaimana disebutkan dalam Article X (ke sepuluh) poin 2 MoU. Hal ini telah sejalan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi pasal 10 yang berbunyi:
(1) Kerja sama internasional di bidang energi hanya dapat dilakukan untuk:
a. menjamin ketahanan energi nasional;
b. menjamin ketersediaan energi dalam negeri; dan
c. meningkatkan perekonomian nasional.
(2) Kerja sama internasional, sebagaima~a dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
(3) Dalam hal Pemerintah rnembuat perjanjian internasional dalam bidang energi yang menimbulkan akibat yang 1uas dan merldasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/ atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang, harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Dalam rangka ratifikasi, hendaknya Pemerintah segera mengajukan MoU tersebut untuk segera dibahas DPR sekaligus melakukan kajian yang komprehensif dalam rangka mempersiapkan Indonesia memasuki era ASEAN Power Grid. Kebetulan saat ini kita (Pemerintah dan DPR) sedang membahas RUU Ketenagalistrikan. Dalam hemat kami, pembahasan RUU Ketenagalistrikan dan ratifikasi MoU harus dilakukan secara paralel sehingga peluang yang terdapat dalam MoU dan konsekuensi yang ditimbulkan olehnya terhadap sistem ketenagalistrikan nasional dapat dibahas dan diantisipasi dalam muatan RUU Ketenagalistrikan. Sebagai contoh tentang rezim perpajakan untuk ekspor atau impor tenaga listrik yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan apapun. Dengan adanya ASEAN Power Grid yang membuka peluang ekspor-impor tenaga listrik, kebutuhan akan aturan tentang hal tersebut menjadi mutlak dan hal tersebut dapat terjawab pada saat pembahasan RUU Ketenagalistrikan.
ASEAN Power Grid dilatarbelakangi oleh tingginya permintaan tenaga listrik di ASEAN sesuai visi ASEAN 2020 yang diperkirakan tidak dapat dipenuhi oleh masing-masing negara tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan kerjasama kolektif untuk dapat memenuhinya. Selain itu, kerjasama ini diyakini dapat mendorong upaya penyediaan tenaga listrik yang lebih efisien di kawasan ASEAN sekaligus berdampak pada pelestarian lingkungan karena mengandalkan bahan bakar non minyak dan renewable energy. Karena secara paralel, ASEAN sedang mengembangkan proyek-proyek 1) ASEAN Power Grid; (2) Trans-ASEAN Gas Pipeline; (3) Energy Efficiency and Conservation; (4) New and Renewable Sources of Energy; (5) Coal Technology and Trading; and (6) Regional Energy Policy and Planning.
Dengan sumber daya primer Indonesia yang melimpah khususnya di Batubara dan Gas serta sumber daya primer yang terbarukan yang sangat besar seperti panas bumi yang belum optimal dikembangkan, Indonesia memiliki peluang yang sangat besar untuk mengoptimalkan pasar yang tercipta dari proyek ASEAN Power Grid ini. Rencananya, ASEAN Power Grid masuk ke Indonesia dari Singapura dan Malaysia melalui Batam, Sumatera, dan Kalimantan. Hal ini harus diimbangi oleh upaya kita untuk segera membenahi sistem ketenagalistrikan di pulau-pulau tersebut yang hingga saat ini belum terkoneksi. Sistem ketenagalistrikan di Sumatera baru sebagian yang terkoneksi dalam satu kesatuan pulau dan di Kalimantan masih lebih tertinggal dari sistem yang telah ada di Sumatera. Selain itu, sistem Jawa-Sumatera juga belum terkoneksi.
Rencana pembangunan ASEAN Power Grid harus disambut dengan kacamata untuk memanfaatkan jaringan tersebut nantinya untuk ekspor energi listrik dari Indonesia kepada negara-negara ASEAN lain, bukan sebaliknya kita akan mengimpor listrik dari mereka. Oleh karena itu, kita hendaknya secara optimal memanfaatkan sumber daya primer yang banyak tersedia di Kalimantan dan Sumatera dan membangun pembangkit-pembangkit listrik skala besar disana untuk selanjutnya diekspor melalui ASEAN Power Grid. Skema ini bukan saja akan memberikan revenue kepada negara dan menjadikan industri ketenagalistrikan kita akan berkembang, namun juga secara politis akan menimbulkan ketergantungan negara-negara ASEAN terhadap pasokan energi listrik Indonesia yang tentunya akan meningkatkan nilai tawar politik Indonesia di kawasan ASEAN.
Untuk memuluskan rencana dalam poin di atas, Pemerintah tidak perlu segan untuk memberikan insentif khusus atau pengaturan khusus yang lebih meringankan bagi pelaku usaha yang mau mengembangkan pembangkit dan sistem ketenagalistrikan di Sumatera dan Kalimantan, sepanjang dia dikembangkan untuk diekspor.
Kebijakan yang berorientasi pada ekspor tenaga listrik di atas, juga harus diikuti oleh pembatasan ekspor energi primer kepada negara-negara ASEAN khususnya dan negara-negara lain pada umumnya. Bukankah, menjual dalam bentuk energi sekunder akan memberikan nilai tambah ekonomi yang lebih baik daripada menjual dalam bentuk energi primer ?! (Januari 2008)

Read More......

Sabtu, 15 Maret 2008

An Old Worker

An old worker wants to retire from his job at a real estate construction company. He is convey to his boss about what he wants. He knew that would lose his income, but he decided a final decision. The worker feels tires. He wants take a rest and enjoy his remain life with his wife and family. He is dreaming a peaceful life.

The owner of company feels sad because he would lose one of the best workers. So, he asked to the worker to build a house for himself. Worker agreed to realize that last order by owner. But he can’t enjoy the work. He really wants to stop quickly. He doesn’t focus in his job to build a house. In this situation, the worker beginning to does the project. He used the bad material when he built the house.
Finally, the house that was order finished. The result is not a good house. When the owner of company came to look at the house, he gave a key house to the worker. He said, “This house is yours”. “My present for you as an award because your longtime dedication”, he added.
The worker was shocked. He was ashamed and regretful. He thought if he knew that he develop a house for himself, he would done the best. Now, he must live in a house which not really good that built by his own hand.
Friends, those are happened to our life. Sometimes, many of us are developing our life with a strange way. We underwent live as usual. Sometimes, we are not underwent life seriously. Even in the best moment we don’t do the best.
Reflections those we are the worker. Reflections those houses we have been built. Everyday we hit the hammers, build walls and roofs. Let us go to finishing our houses perfectly as well as the only once in our whole life.
In the end of our life we shocked when we seen what we did and found ours in there. In the beginning, if we aware about it, we will underwent our life in different ways.
Our future life is consequences of decisions and options those we chosen. Life is the project that we make by our own hands. Created by Anonim. English Version by Arip Musthopa

Read More......

Jumat, 14 Maret 2008

Isu Politik dalam Kebijakan Pemerintah tentang Kasus Gubernur Lampung 2002-2006

Oleh Arip Musthopa, SIP

Pendahuluan

Sejak tahun 1999, Indonesia memasuki era otonomi daerah atau desentralisasi.[1] Dimulainya era otonomi daerah ini ditandai dengan disahkannya UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Kedua UU tersebut menggantikan UU No 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan UU No 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Secara praktis, otonomi daerah mulai dilaksanakan secara utuh pada 1 Januari 2001 karena Pemerintah perlu melakukan persiapan untuk implementasi UU No 22 dan UU No 25 Tahun 1999 tersebut.
[1] Desentralisasi sebenarnya bukan hal baru dalam catatan sejarah bumi nusantara. Lebih dari seratus tahun yang lalu, praktek desentralisasi telah kita kenal ketika Pemerintah Belanda tahun 1903 menetapkan suatu Wethoudende Decentralisatie van het Bestuur in Nederlandsch-Indie (Stb.1903/329) atau yang lebih dikenal dengan sebutan Decentralisatie wet (Undang-Undang Desentralisasi) 1903. Kebijakan desentralisasi Pemerintah Belanda untuk Hindia Belanda tersebut kemudian diperkuat dengan dikeluarkannya Decentralisatie Besluit 1904 dan Locale Ordonantie 1905. Serta penyempurnaan Decentralisatie wet pada tahun 1922 melalui Wet op de Bestuurshervorming (Stb 1922/216). Desentralisasi yang diberikan oleh pemerintah kolonial memang merupakan desentralisasi yang terbatas karena tentu saja penuh nuansa kepentingan pemerintah kolonial. Namun demikian fase ini sangat penting sebagai pembelajaran politik (politieke scholing). Sayang sekali semangat desentralisasi ini tidak dikembangkan lebih lanjut namun sebaliknya diberangus oleh Demokrasi Terpimpin Orde Lama dan Orde Baru yang memang bertabiat sentralistis. Lihat Soetandyo Wignjosoebroto, Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia-Belanda: Kebijakan dan Upaya Sepanjang Babak Akhir Kekuasaan Kolonial di Indonesia (1900-1940), Bayu Media Publishing, Malang, 2004, hal 48-49.


Salah satu praktek dari pelaksanaan otonomi daerah yang cukup menyita perhatian adalah pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Pemilihan kepala daerah melalui DPRD tersebut disambut antusias oleh (elit) daerah karena memberikan kewenangan yang besar kepada DPRD untuk melakukan penjaringan bakal calon kepala daerah, menetapkan calon kepala daerah, memilih kepala daerah dan menetapkan calon terpilih kepala daerah. Pemerintah pusat hanya tinggal mengesahkan berdasarkan hasil pemilihan kepala daerah oleh DPRD tersebut.[1] Hal ini berbeda dengan yang terjadi pada masa Orde Baru, dimana DPRD hanya berwenang memilih calon yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat dan calon yang terpilih harus sesuai dengan keinginan pemerintah pusat. Apabila tidak sesuai maka pemerintah pusat tidak akan menetapkan/mensahkannya.[2]
Dengan formasi yang demikian, berarti kebijakan politik untuk memilih kepala daerah telah didesentralisasi kepada daerah melalui DPRD sebagai lembaga legislatif daerah. Pemerintah pusat hanya memiliki kewenangan administratif untuk mengesahkan calon terpilih, asalkan calon maupun kepala daerah terpilih telah memenuhi syarat sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan undang-undang.[3]
Dalam prakteknya, berbagai pemilihan kepala daerah tersebut memunculkan beragam fenomena yang “menarik”, dalam arti bahwa fenomena pemilihan tersebut tidak sepenuhnya berjalan sesuai dengan aturan normatif dan semangat desentralisasi yang ada dalam UU No 22 Tahun 1999 tersebut. Fenomena “menarik” tersebut, seperti yang ditampilkan dalam pemilihan Gubernur di Jawa Tengah, Bali, dan Lampung. Dalam tulisan ini, penulis ingin mengangkat permasalahan Gubernur yang terjadi di Provinsi Lampung dilihat dari isu politik yang terdapat di dalamnya terutama isu politik menyangkut perbedaan kepentingan antara pusat dan daerah yang menyebabkan Pemerintah enggan melaksanakan kewenangan administratifnya untuk mensahkan Gubernur terpilih hasil pemilihan Desember 2002.
Dipilihnya kasus pemilihan Gubernur Lampung didasarkan pertimbangan sebagai berikut: Pertama, kasus pemilihan Gubernur Provinsi Lampung, sejak akhir 2002, merupakan kasus yang terlama sebelum dapat diatasi oleh pemerintah pusat pada 24 November 2006. Kedua, kasus ini berakhir dengan tidak dilantiknya gubernur terpilih dari pemilihan gubernur 30 Desember 2002, yakni Alzier Dianis Thabranie, dan pemerintah pusat tetap mempertahankan Gubernur Syachroedin yang merupakan hasil pemilihan ulang pada 24 Mei 2004 sehingga memunculkan beraneka ragam tafsir hukum dan politik karena Mahkamah Agung mengabulkan gugatan Alzier atas kebijakan pusat yang tidak melantik dia. Ketiga, kasus pemilihan gubernur Lampung merupakan kasus yang paling berdampak terhadap sistem politik dan pembangunan di daerah itu sendiri karena selama kasus berlangsung dan bahkan hingga kini pun setelah kasus selesai, ketegangan politik terus terjadi di Lampung antara pendukung Alzier dan Syachroedin. Keempat, penulis mengikuti kasus ini dengan seksama dari awal ketika penulis menjadi aktivis mahasiswa di Universitas Lampung dan Ketua Umum HMI Cabang Bandar Lampung periode 2002-2003, yang dengan posisi tersebut penulis dapat berinteraksi langsung dengan elit politik Lampung dan memperoleh akses informasi primer dengan tingkat validitas yang dapat dipertanggungjawabkan.

Deskripsi Kasus Gubernur Lampung
Pada tanggal 30 Desember 2002 Provinsi Lampung menyelenggarakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Lampung. Ada lima pasang yang bertarung: Alzier Dianis Thabranie-Ansyorie Yunus dari FPDIP, Jazuli Isa-Mat Amin Kraying dari FPG, Syachroedin ZP-Malhani Manan dari FPPP, Herwan Achmad-Mawardi Harirama dari FPKB, dan Namoeri Anom-Azib Zanim dari FABKU, dan Oemarsono-Syamsuria Ryacudu dari FKK.
Dari 75 anggota DPRD Lampung, ada 73 wakil rakyat yang hadir pada pemilihan tersebut, 2 orang tidak hadir karena sakit. Melalui tiga kali putaran pemilihan akhirnya berhadap-hadapan pasangan Alzier Dianis Thabranie-Ansyorie Yunus versus Oemarsono-Syamsuria Ryacudu. Melalui proses pemilihan yang alot akhirnya pasangan Alzier-Ansyorie unggul dengan memperoleh 39 suara, sedangkan pasangan Oemarsono-Syamsuria memperoleh 33 suara, dan 1 suara sisanya abstain.
Selepas pemilihan hingga hari ini, pasangan Alzier-Ansyorie tidak pernah dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur. Menurut jadwal semestinya mereka dilantik pada 25 Januari 2003. Sebaliknya, pemerintah pusat menggelar pemilihan ulang pada 24 Mei 2004 dan kemudian melantik pasangan Gubernur-Wakil Gubernur Syachroedin ZP-Syamsuria Ryacudu yang dihasilkan dari pemilihan ulang tersebut. Akibat dari masalah ini hingga saat ini ketegangan politik di Lampung terus terjadi antara para pendukung Alzier (DPRD) melawan para pendukung Syachroedin (eksekutif dan PDIP), walaupun tensinya kini mulai menurun sejak Partai Golkar melalui Ketua Umum DPP Partai Golkar menyampaikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa mereka menerima putusan pemerintah pusat untuk tidak melantik Alzier pada 24 November 2006 yang berarti juga mengakui Syachroedin-Syamsuria Ryacudu sebagai Gubernur-Wakil Gubernur Propinsi Lampung periode 2004-2009.
Ada beberapa hal yang menyebabkan Alzier-Ansyorie tidak dilantik:
(1) Sehari sebelum pemilihan, 29 Desember 2002. Mendagri Hari Sabarno pada sore hari mengirim surat kawat No 121/27/2978/SJ tertanggal 29 Desember 2002 yang meminta DPRD Lampung mengklarifikasi tuduhan pidana yang melibatkan Alzier sebelum pemilihan Gubernur. Surat tersebut tidak dibacakan pimpinan DPRD (Abbas Hadisunyoto) sebelum pemilihan dilangsungkan.
(2) Pasangan Alzier-Ansyorie merupakan pasangan calon hasil Rakerdasus PDIP Lampung pada tanggal 8 Oktober 2002 yang kemudian diusulkan ke DPP PDIP untuk disahkan. Sedangkan calon Gubernur yang diinginkan oleh DPP PDIP adalah Oemarsono (Gubernur yang sedang menjabat) dan Wakil Gubernur diserahkan kepada DPD PDIP Lampung. Keputusan ini tertuang dalam SK DPP PDIP No A.06/IN/DPP/XI/2002 tertanggal 30 November 2002. Perbedaan calon antara DPD PDIP Lampung dan DPP PDIP ini kemudian berimbas pada pergantian pimpinan DPRD Lampung (dari Srie Atidah ke Abbas Hadisunyoto) dan pimpinan FPDIP di DPRD. Pergantian ini merupakan kemenangan kelompok pro Alzier-Ansyorie. Ansyorie Yunus sendiri ketika itu merupakan Ketua DPD PDIP Lampung.
(3) Alzier dihadapkan pada delapan tuduhan pidana. Yakni 2 kasus tuduhan penggelapan 500 ton pupuk PT Pusri PPD Lampung (2002), kasus penadah mobil curian Daihatsu Espass (2002), penggunaan gelas ilegal: drs, SE, dan MBA (2002), penipuan cek kososng dan penggelapan ruko (1993), penipuan dan penggelapan perhiasan emas (1993), penadah mobil mewah (2003), dan pencemaran nama baik Ny. Kurniati Muslihat (2003). Atas tuduhan tersebut Alzier diburu Mabes Polri untuk dikenai tahanan. Jum’at 18 April 2003 Alzier mendatangi Polda Lampung untuk menjalani pemeriksaan atas kasus-kasus tersebut. Setelah melalui pemeriksaaan maraton, Sabtu 19 April 2003 Alzier dibawa paksa melalui Helikopter dari Mapolda Lampung ke Mabes Polri. Selanjutnya 20 Agustus 2003, pemeriksaan terhadap Alzier dinyatakan selesai. Pada selasa 30 September 2003 berkas 2 perkara Alzier dari Kepolisian dinilai lengkap oleh Kejaksaan Tinggi, yakni 1 perkara dugaan penggelapan 500 ton pupuk milik PT Pusri dan 1 perkara penggunaan gelar ilegal. Melalui proses persidangan yang panjang, pada Kamis 12 Februari 2004 Alzier divonis hukuman sembilan bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun untuk kasus pupuk dan denda Rp5 juta subsider dua bulan penjara untuk kasus penggunaan gelar sarjana palsu.
Pada 1 Desember 2003 Mendagri Hari Sabarno mengeluarkan SK Mendagri No 161.27/598/Tahun 2003 tentang pembatalan hasil pemilihan Gubernur Lampung tanggal 30 Desember 2002. Serta SK No 121.27/1.989/SJ tertanggal 1 Desember 2003 tentang Pemilihan Ulang Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung paling lambat Maret 2003 sebelum pemilihan legislatif April 2004. Alasannya, ada prosedur yang dilanggar/tidak dilakukan. Pada 2 Desember 2003 keluar Keppres No 262/M/2003 yang mengangkat Tursandy Alwi (pejabat di Depdagri) sebagai Pejabat Gubernur Lampung.
Setelah PDIP melakukan pergantian antar waktu anggota DPRD Lampung dan terjadi pergatian pimpinan DPRD Lampung dari Abbas Hadisunyoto kepada Nurhasanah, maka DPRD Lampung menggelar pemilihan ulang Gubernur/Wakil Gubernur pada 24 Mei 2004 dengan dihadiri 67 anggota. Dalam pemilihan ulang initerpilih pasangan Syachroedin ZP-Syamsuria Ryacudu sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, mengalahkan pasangan Oemarsono-M. Ibrahim BS dengan perolehan suara cukup mencolok, 49 versus 17 suara. Syachroedin-Syamsuria dikukuhkan melalui Keppres No 71/M/2004 tertanggal 1 Juni 2004.
Merasa hak-hak politiknya tidak dikabulkan oleh pemerintah pusat, Alzier mengajukan SK pembatalan Mendagri ke PTUN Jakarta. Pada 13 Mei 2004, PTUN jakarta memerintahkan tergugat (Mendagri) mencabut SK No 161.27/598/2003 sekaligus menerbitkan surat keputusan tentang pengusulan pengesahan pasangan gubernur-wakil gubernur hasil pemilihan tanggal 30 Desember 2002 sebagai Gubernur/Wakil Gubernur Lampung periode 2003-2008. Alasan PTUN adalah bahwa alasan pembatalan pelantikan keduanya tidak jelas, tidak tegas, dan tidak limitatif sebagaimana seharusnya suatu keputusan. Surat pembatalan pelantikan tidak merinci dan tegas, jelas, dan limitatif pelaksanaan pemilihan gubernur/wakil gubernur yang mana atau bagian mana yang tidak memenuhi prosedur. Surat pembatalan juga tidak menegaskan peraturan perundang-undangan mana yang tidak dipenuhi.
Mendagri kemudian mengajukan banding, sambil banding diajukan, Mendagri tetap memproses pemilihan ulang gubernur/wakil gubernur Lampung. Kemudian, PTTUN pada tanggal 19 Oktober 2004 mengeluarkan putusan yang menguatkan putusan PTUN yakni mengabulkan gugatan Alzier-Ansyorie. Pasca putusan ini, Mendagri M. Ma’ruf AR mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.[4]
Selanjutnya pada 17 Juni 2004 Mahkamah Agung memenagkan gugatan Alzier dengan menguatkan putusan PTUN dan PTTUN Jakarta. Putusan kedua pengadilan di bawah MA itu membatalkan dua Surat Keputusan Mendagri tertanggal 1 Desember 2003. Menyikapi putusan MA tersebut, DPRD Lampung menggelar Rapat Paripurna DPRD minus anggota DPRD dari PDIP yang tidak setuju apabila DPRD harus menyikapi putusan MA. Dalam Rapat Paripurna 14 Juli 2005 tersebut DPRD Lampung menyatakan tidak mengakui Gubernur Syachroedin-Wakil Gubernur Syamsurya Ryacudu dan memohon Presiden lewat Mendagri mencabut Keppres pengangkatan Syachroedin-Syamsurya dan melantik Alzier-Ansyorie. Namun demikian, pemerintah tidak juga melakukan eksekusi atas putusan Mahkamah Agung tersebut. Hal ini mengakibatkan konflik politik antara pendukung Alzier versus Syachroedin yang kemudian menghambat kelancaran jalannya pemerintahan di Provinsi Lampung. DPRD Lampung (sebagian besar) tidak ingin melakukan pembahasan Anggaran Biaya Tambahan (ABT) APBD 2005 dan menolak melakukan pembahasan APBD tahun 2006. Kalaupun dilakukan usaha pembahasan melalui rapat DPRD yang dipimpin oleh Pimpinan DPRD dari FPDIP, Nurhasanah, anggota rapat selalu tidak memenuhi kuorum sehingga hasilnya tidak dapat disahkan oleh Mendagri. Ketegangan ini terus berlanjut hingga 24 Nopember 2006 Ketua Umum DPP Partai Golkar Jusuf Kalla berhasil melunakkan sikap Alzier dan Partai Golkar Lampung[5] agar dapat menerima kebijakan pemerintah yang telah melantik dan mengakui Gubernur Syachroedin ZP.

Pendekatan Kekuasaan untuk Pembuatan Keputusan : Elitisme
Model proses kebijakan elitis berpendapat bahwa kekuasaan terkonsentrasi di tangan segelintir orang atau kelompok. Menurut model ini pembuatan keputusan adalah proses yang dilaksanakan demi keuntungan elit-elit tersebut. Sebagai sebuah model pembuatan keputusan, tujuan elitisme didasarkan pada analisis terhadap cara dunia riil berjalan. Dikatakan bahwa dalam dunia riil ada pihak-pihak yang berada di atas yang memegang kekuasaan dan ada “massa” yang tak memegang kekuasaan. Model ini berasal dari ilmu sosial modern, yakni berakar pada dua karya ahli teori Italia: Mosca dan Pareto.[6]
Mosca mengatakan bahwa demokrasi dapat dilihat sebagai sebentuk politik dimana elit-elit bersaing untuk mendapatkan suara dari penduduk guna mengamankan legitimasi kekuasaan elit. Ide Mosca dan Pareto menjadi basis untuk merumuskan pendekatan elitis selanjutnya. Robert Michels (1915) mengembangkan pendekatan dalam studi partai politik dimana ia mengemukakan bahwa ada “hukum besi oligarki” yang berlaku di dalam organisasi. Di sepanjang waktu, elit-elit organisasi menciptakan kepentingan dan tujuan sendiri yang berbeda dengan tujuan dan kepentingan anggota organisasi.[7]
Garis perkembangan lain dalam pendekatan elit adalah garis yang dikemukakan oleh Lasswell (1936) yang juga mengemukakan pandangan bahwa: “studi politik adalah studi tentang pengaruh dan orang-orang yang berpengaruh ....orang-orang yang berpengaruh adalah orang-orang yang mendapatkan paling banyak...Orang-orang yang mendapatkan paling banyak adalah kaum elit, sisanya adalah massa.” (Lasswell, 1936: 13).[8]

Analisa Kasus

Melihat uraian kasus di atas, nampak bahwa aspirasi PDIP Lampung yang dihasilkan melalui Rakerdasus PDIP Lampung sebagai aspirasi daerah, aspirasi anggota tidak ditanggapi secara baik oleh DPP PDIP. Rekomendasi Rakerdasus yang memberikan suara terbanyak pada Alzier Dianis Thabranie ditolak mentah-mentah oleh DPP PDIP yang lebih menginginkan calon gubernur yang maju dari Fraksi PDIP di DPRD Lampung adalah Oemarsono, gubernur incumbent. Keputusan pusat (Pemerintah dan DPP PDIP) yang demikian menandakan bahwa elitisme kuat bercokol dan mendominasi perspektif mereka dalam pengambilan keputusan. Sehingga menandakan bahwa elit pusat (pemerintah/DPP PDIP) memiliki kepentingan tertentu yang tidak sama atau tidak dapat diakomodasi oleh Alzier. Sikap DPP PDIP yang tidak menginginkan Alzier sebagai calon Gubernur Lampung berimplikasi pada penolakan mengangkat dan melantik Alzier sebagai Gubernur Lampung periode 2003-2008 meskipun dia terpilih dengan perolehan suara cukup meyakinkan.
Kebijakan pemerintah pusat juga menimbulkan persepsi bahwa pemerintah pusat tidak tulus dalam memberikan otonomi daerah. Karena penentuan kebijakan yang strategis di daerah tetap saja harus sesuai dengan yang diinginkan oleh pemerintah pusat/pimpinan partai di tingkat pusat. Otonomi daerah untuk memilih dan menentukan kepada daerahnya sendiri sesuai semangat UU No 22 tahun 1999 sebagai landasan hukum dilaksanakannya pemilihan kepala daerah oleh DPRD tersebut menjadi semu maknanya. Karena toh, meski diselenggarakan oleh daerah secara otonom, calon yang harus diajukan dan yang harus jadi adalah yang dikehendaki oleh pemerintah pusat/pimpinan partai di tingkat pusat. Selain itu, tidak bisa! (paling tidak yang nampak dalam kasus di Lampung).
Kesalahan prosedur yang diajukan oleh pemerintah dalam surat pembatalannya tidak cukup beralasan karena kesalahan prosedur yang disampaikan tidak substansi, tidak jelas, dan tidak kuat untuk dijadikan alasan. Pendapat ini bahkan telah dikuatkan oleh putusan PTUN, PTTUN, dan putusan Mahkamah Agung. Namun demikian, pemerintah tetap tidak bergeming atas sikapnya. Karena yang subtansi bagi pemerintah pusat bukan apakah prosedurnya telah dengan sama persis dan tepat diikuti atau tidak, melainkan mereka tidak menginginkan Alzier sebagai Gubernur Lampung, dengan alasan yang tidak pernah diungkapkan secara terbuka kepada publik.
Kalaupun masalah dakwaan hukum pidana terhadap Alzier dijadikan alasan, bukankah seorang Gubernur juga dapat diadili ? Bukankah justru apabila seorang Gubernur diperiksa dan diadili akan meningkatkan prestise penegakan hukum; dibandingkan dengan mengadili seorang calon gubernur yang menang seperti Alzier yang sejak awal pencalonan tidak disetujui oleh partai penguasa, sehingga malah memunculkan persepsi bahwa penegakan hukum yang dilakukan bukan untuk keadilan dan tegaknya hukum melainkan untuk memuluskan agenda politik. Akibat negatifnya malah lebih meluas lagi karena merusak upaya reformasi di bidang hukum, yakni menegakkan tatanan hukum dengan logika dan obyektifitasnya sendiri, yang semestinya dihormati dan ditegakkan serta tidak diintervensi oleh kepentingan politik kekuasaan.
Lantas agenda apakah dari pemerintah pusat/partai penguasa yang dapat menjelaskan kenapa pemerintah pusat (yang dikuasai PDIP) enggan menggunakan kewenangan administratifnya untuk melantik Gubernur Lampung terpilih, Alzier? Jawaban atas pertanyaan ini lah yang merupakan dimensi atau isu politik di balik keputusan pusat yang tidak menginginkan Alzier sebagai Gubernur Lampung. Dalam politik, agenda politik tidak akan diungkapkan melalui penjelasan resmi. Namun apabila melihat pola kebijakan PDIP dalam pemilihan gubernur di Jawa Tengah dan Bali yang waktunya tidak berjauhan dari pemilihan gubernur di Lampung dapat ditemukan benang merah bahwa PDIP cenderung mengajukan calon gubernur dari incumbent. Menurut informasi yang diperoleh penulis dari lapangan, karena DPP PDIP lebih percaya kepada mereka (incumbent) dalam rangka memperoleh kemenangan di pemilu legislatif dan eksekutif tahun 2004 dibandingkan dengan calon lain mengingat mereka telah “mencapkan kukunya” selama lima tahun pemerintahannya dan memiliki “cukup logistik” untuk membantu PDIP memenangkan Pemilu 2004. Di dua daerah tersebut (Jawa Tengah dan Bali), DPP PDIP juga memperoleh perlawanan dari kadernya yang merasa lebih berhak diajukan oleh DPP PDIP karena merupakan kader partai dan bahkan pimpinan di struktur PDIP di daerah. Namun perlawanan tersebut mereda karena DPP PDIP berhasil membuktikan bahwa pilihannya tepat dengan memenangkan pemilihan gubernur. Lain halnya yang terjadi di Lampung. Calon yang diajukan oleh pimpinan partai di pusat justru akhirnya tidak dapat diajukan Fraksi PDIP di DPRD Lampung karena perlawanan Alzier, dan akhirnya juga terbukti kalah ketika Oemarsono (calon yang didukung DPP PDIP) tetap maju melalui fraksi lain.
Pertimbangan lain dari DPP PDIP, menurut informasi yang penulis peroleh di lapangan, karena Alzier memiliki citra yang kurang positif sebagai politisi preman dan memiliki sejumlah kasus pidana/perdata, meskipun tidak pernah terbukti di pengadilan sebelumnya. Citra Alzier yang kurang positif dimata publik dinilai kontraproduktif terhadap upaya PDIP mempertahankan simpati rakyat terhadap PDIP pada Pemilu 2004.[9] Penting untuk diketahui bahwa Alzier sebelumnya pernah mencalonkan diri untuk calon Bupati Lampung Selatan pada pemilihan Bupati Lampung Selatan tahun 2000 dari Fraksi PDIP di DPRD Lampung Selatan. Saat itu, Alzier hampir menang namun sebelum pemilihan selesai terjadi chaos. Dalam pemilihan ulang Alzier kalah oleh Zulkifli Anwar yang diajukan oleh Partai Golkar. Sebelum pemilihan ulang dilakukan, publik dikejutkan dengan pemberitaan di media massa bahwa Alzier diduga terlibat dalam kasus penadahan kendaraan mewah hasil selundupan dan sejumlah kasus lainnya. Pemberitaan inilah yang merubah peta dukungan suara terhadap Alzier sebagai calon bupati.[10]
Diungkapnya masalah hukum Alzier kepada publik pasca pemilihan Gubernur tahun 2002 yang disusul dengan proses peradilan terhadap Alzier, dalam hal ini tentu karena ingin membuktikan bahwa keputusan pusat untuk tidak mendukung dan melantik Alzier adalah berdasarkan moral, sehingga kebijakan tersebut mendapatkan dukungan moral dari publik. Namun publik nampaknya terbelah dua antara yang menilainya tepat dan yang menilainya telah terlambat yang juga mamaknainya sebagai upaya politisasi, tidak lagi semata moral. Keputusan pusat yang tidak merestui pencalonan Alzier dan tidak melantiknya ketika terpilih telah mengakibatkan munculnya masalah yang lebih kompleks, yang terus berlarut-larut hingga sampai hampir empat tahun konflik antara pendukung Alzier versus pendukung Syachroedin ZP maupun ketegangan antara pusat dan daerah. Konflik yang terlanjur berlangsung lama, walaupun berhasil diatasi toh akan tetap meninggalkan dampak yang akan memiliki efek lama dalam konteks politik Lampung yang hingga kini masih terasa.

Penutup

Masalah gubernur Lampung telah berhasil diselesaikan berkat campur tangan Ketua Umum DPP Partai Golkar yang juga Wakil Presiden pada 24 November 2006 setelah terkatung-katung hampir selama 4 tahun. Namun efeknya akan terus berlanjut terhadap perpolitikan Lampung. Semuanya karena kebijakan pusat yang memaksakan calon gubernur sesuai dengan keinginannya karena kepentingan politik menjelang Pemilu 2004. Semestinya pusat (pemerintah/PDIP) lebih bijak dalam masalah ini sehingga tidak ada akibat buruk seperti yang saat ini terjadi.


Daftar Pustaka

Ariansyah, dkk., Alzier Suksesi Masa Transisi, Sped, Bandar Lampung, 2004.

Soetandyo Wignjosoebroto, Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia-Belanda: Kebijakan dan Upaya Sepanjang Babak Akhir Kekuasaan Kolonial di Indonesia (1900-1940), Bayu Media Publishing, Malang, 2004.

Wayne Parsons, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktek Analisis Kebijakan, penerjemah Tri Wibowo Budi Santoso, Kencana, Jakarta 2006.


[1] UU No 22/1999 pasal 18 menyebutkan bahwa DPRD mempunyai tugas dan wewenang: (a) memilih Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota; (c) mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, atau Walikota/Wakil Walikota.
[2] Lihat Undang-Undang No 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah.
[3] Lihat UU No 22/1999 pasal 33
[4] Uraian dari awal hingga bagian ini tentang kronologis kasus Pilgub Lampung disarikan dari buku Ariansyah, dkk., Alzier Suksesi Masa Transisi, Sped, Bandar Lampung, 2004. Kecuali tentang penyelesaian kasus yang dapat dilihat di media massa lokal (Lampung Post dan Radar Lampung) maupun media massa nasional pada 25 November 2006.
[5] Setelah tidak kunjung dilantik dan melihat posisi politik yang tidak lagi memungkinkan di PDIP, Alzier hijrah ke Partai Golkar dan pada Musda Partai Golkar Lampung pada tahun 2004, Alzier berhasil menjadi Ketua DPD Partai Golkar Lampung. Dari sinilah mulai konflik gubernur ini menyeret-nyeret Partai Golkar ke dalamnya, yang sebelumnya merupakan konflik internal PDIP. Selanjutnya, karena posisi Partai Golkar yang terbesar di DPRD Lampung, posisi Ketua DPRD Lampung diduduki oleh Indra Karyadi dari Partai Golkar. Posisi politik yang demikian memungkinkan Partai Golkar mengkondisikan sikap yang saling berhadap-hadapan antara DPRD dan Gubernur.
[6] Wayne Parsons, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktek Analisis Kebijakan, penerjemah Tri Wibowo Budi Santoso, Kencana, Jakarta 2006, hal 251
[7] Ibid.
[8] Ibid, hal 252
[9] PDIP Lampung berhasil memperoleh suara terbanyak pada Pemilu 1999 sehingga PDIP memiliki jumlah anggota terbanyak di DPRD Lampung. Prestasi ini ingin dipertahankan dan ditingkatkan pada Pemilu 2004. Hal ini penting karena Ketua Umum DPP PDIP Megawati merupakan Presiden RI incumbent yang menjadi calon Presiden RI pada pemilu 2004.
[10] Tentang masalah ini dapat dilihat di Lampung Post yang memuat liputan pemilihan Bupati Lampung Selatan pada tahun 2000.

Read More......

Globalisasi dan Kedaulatan Negara

Oleh Arip Musthopa, SIP

Globalisasi dan kedaulatan negara kerapkali dibenturkan. Globalisasi dinilai sebagai kekuatan yang cenderung melemahkan kedaulatan negara. Dalam hal ini globalisasi dapat disalahkan namun juga ada yang membela habis-habisan. Tulisan ini tidak dalam posisi yang demikian karena baik kedaulatan dipegang oleh negara maupun oleh globalisasi, toh kedua-duanya dapat menimbulkan masalah bagi rakyat. Kedaulatan negara yang terlalu kuat diselenggarakan oleh pejabatnya bisa menyebabkan otoritarianisme, totalitarianisme, dan bahkan menjelma menjadi fasis. Globalisasi dapat menjadi kekuatan yang membebaskan rakyat dari totalitarianisme apabila globalisasi hadir untuk melemahkan negara. Globalisasi yang masuk ke dalam suatu negara dan melemahkan kedaulatannya sehingga masuk bebas kepada rakyat juga dapat menimbulkan masalah ketika rakyat tidak pernah siap menghadapinya. Jadi, kedua-duanya menuntut cost.

Berkaca dari pemahaman dasar tersebut, hubungan globalisasi dan kedaulatan negara tidak dapat dinilai hanya dari siapa melemahkan siapa atau siapa menghalangi siapa, melainkan harus dilihat dari sudut pandang yang lebih kompleks, yakni bagaimana hubungan saling mempengaruhi antara globalisasi dan negara bangsa. Disatu sisi, globalisasi telah menuntut redefinisi tentang negara-bangsa. Disisi lainnya, negara-bangsa telah memaksa globalisasi menjadi dilema yang tidak bisa diterima begitu saja. Tulisan ini mencoba mendiskusikan masalah tersebut dari sudut pandang yang lebih terbuka tersebut berdasarkan dua sumber tulisan yang akan dijadikan rujukan (dan akan dilihat titik-titik perbedaannya) yakni Stephen D. Krasner, Globalization and Sovereignty, dalam David A. Smith et al (eds.), States and Sovereignty in the Global Economy (London: Routledge, 1999) dan David Held, Democracy and The Global Order (Cambridge: Polity Press, 1995) khususnya Bab 5 dan 6, Democracy, The Nation State & Global Order I & II.
Krasner memulai pemaparannya dengan beranjak dari suatu asumsi bahwa

“….sovereignty is not being fundamentally transformed by globalization. Globalization has challenged the effectiveness of state control; although it is not evident that contemporary challenges are qualitatively different from those that existed in the past. Globalization has not, however, qualitatively altered state authority which has always been problematic and could never be taken for granted.”[1]

Dari kutipan di atas nampak jelas bahwa eksistensi dan kedaulatan negara-bangsa tidak berubah secara fundamental akibat globalisasi. Sebaliknya, eksistensi dan kedaulatan negara-bangsa (hanya) “challenged” (tertantang) oleh hadirnya globalisasi. Sejauh mana tantangan itu mempengaruhi kedaulatan negara bangsa ? Krasner coba menegaskan terlebih dahulu empat cara yang biasa digunakan yang merujuk pada term kedaulatan (sovereignty):

1. Interdependence Sovereignty has referred to the ability of a government to actually control activities within and across its borders (including the movement of goods, capital, ideas, and disease vectors)
2. Domestic sovereignty has referred to the organization of authority within a given polity.
3. Westphalian sovereignty has referred to the exclusion of external authority; the right of a government to be independent of external authority structures.
4. International legal sovereignty has referred to recognition of one state by another; some entities have been recognized by other states; others have not. Recognition has been associated with diplomatic immunity and the right to sign treaties and join international organizations.[2]

Dalam penjelasannya tentang kontrol negara terhadap aktivitas warganya di era globalisasi, Krasner menyatakan bahwa arus (perdagangan, modal, ide, dll) transnational bukanlah hal baru, yang terjadi hanyalah peningkatan di wilayah tertentu dan penurunan di wilayah lainnya. Krasner bahkan menyatakan bahwa tidak ada bukti bahwa globalisasi telah ‘systematically undermined state control’. Lengkapnya Krasner mengatakan :

“I do not want to claim that globalization has had no impact on state control. This would be fatuous. But challenges to state control as a result of transnational flows are not new. The problems for states have more acute in some areas, but less in others. There is no evidence that globalization has systematically undermined state control. Indeed, the clearest relationship between globalization and state activity is that they have increased hand in hand.”[3]

Jadi, menurut Krasner, globalisasi hanya meningkatkan saja intensitas ‘flows’ transnasional namun tidak menghadirkan sesuatu yang baru dalam masalah kontrol negara terhadap aktivitas transnasional tersebut. Dengan demikian, fenomena arus barang/jasa, modal, ide dan sebagainya yang intens karena globalisasi menurut Krasner bukanlah fenomena khas era, yang lazim disebut, globalisasi melainkan hal yang lazim terjadi berabad-abad yang lalu.
Istilah kedaulatan lebih dekat berasosiasi dengan kemapanan kewenangan politik domestik/dalam negeri. Hal ini tentu saja terkait dengan masalah legitimasi politik dan konstitusional yang memberikan kewenangan kepada negara untuk mengatur tertib sosial dan mengendalikan kehidupan warga masyarakatnya dalam rangka mencapai tujuan bernegara; sesuai dengan teori kontrak sosial klasik yang menyebutkan bahwa negara terbentuk karena warga negara tidak dapat mengatur dirinya sendiri dan menyerahkan urusan untuk mengatur mereka kepada negara. Apakah otoritas/kewenangan negara untuk urusan domestik ini mengalami pelemahan karena globalisasi ? Bagi Krasner jawabannya adalah;

“….The domestic organization of states structures has always been influenced by international trends wether this involved the formation of Protestant polities in the sixteenth century, of absolute monarchies in the seventeenth century, of the republics in the nineteenth century, or of fascist, communist, and now of democratic states in the twentieth century. There is no compelling indication that the level of the convergence is greater now than it has been in the past.
There is absolutely nothing new in the fact that the global spread of certain ideas has influenced the organization of domestic political authority.”[4]

Lagi-lagi Krasner menyatakan bahwa globalisasi tidak menghadirkan pengaruh yang baru terhadap struktur politik domestik. Kalaupun ada, hal tersebut adalah hal yang biasa terjadi sejak abad ke-16 masehi. Bagi Krasner, tidak ada indikasi yang berhasil dikumpulkan bahwa tingkat penyebaran ide-ide yang mempengaruhi struktur politik domestik saat ini lebih besar dari yang terjadi di masa lalu.
Pandangan Krasner yang cenderung melihat globalisasi tidak mengakibatkan “undermined” terhadap kedaulatan negara (state sovereignty) dari sisi kontrol aktivitas transnasional dan pengaruhnya terhadap struktur politik domestik, nampaknya konsisten dengan pandangannya tentang pengaruh globalisasi terhadap westphalian sovereignty berikut ini :
‘The argument that concerns for human rights are undermining the sovereign state system is historically myopic. Relations between rulers and ruled have always been subject to external scrutiny. Weaker states especially have never been free of interference from their more powerful neighbors. What has shifted is the specific focus of concern. From the middle of the seventeenth century to the first part of the nineteenth century, rulers were concerned with religius toleration. Beginning with The Treaty of Vienna and much more forcefully in a series of agreements associated with the Balkans in the nineteenth century and with the Versailles peace after the First World War, the primary focus of international attention was with ethnic minorities. After the second World War individual human rights received greater attention…”[5]

Kutipan di atas, lagi-lagi dengan mengajukan bukti-bukti sejarah, mencoba ingin menjelaskan bahwa apa yang disebutkan sejumlah penulis bahwa agenda globalisasi yang didalamnya mengangkat isu hak azasi manusia dapat melemahkan kedaulatan negara (exclusion of external authority) karena adanya sejumlah hak azasi manusia yang bertentangan dengan kedaulatan adalah sesuatu yang ‘historically myopic’. Sesuatu yang bias sejarah. Bagi Krasner, lagi-lagi, itu bukanlah sesuatu yang khas globalisasi karena sesungguhnya adalah perubahan isu yang menjadi ‘focus of concern’ saja dari toleransi beragama pada abad ke-19, isu etnis minoritas pada tahun-tahun pasca Perang Dunia I, dan pasca Perang Dunia II yakni isu hak azasi manusia. Krasner kemudian menegaskan:

“…Wether the issue was religious toleration, minority rights, or human rights sovereignty, understood as the exclusion of external authority, has constantly been challenged throughout the history of the modern state system.”[6]

“…Globalization –manifested in the widespread, although not universally accepted, emphasis on individual human rights – is not an historically unique breach in the armor of sovereignty. Rather it is but the most recent manifestation of the fact that the norm of non-intervention or the exclusion of external authority has always been challenged by alternative principles that legitimated international constraints on the domestic practices that governed relations between rulers and ruled.[7]

Isu hak azasi manusia yang dibawa globalisasi disebut Krasner ‘not an historically unique’ dan norma non intervensi atau ‘exclusion of external authority’, sama seperti pada masa-masa sebelumnya ‘has always been challenged by alternative principles’ yang itu dapat berupa toleransi beragama, hak-hak etnis minoritas, ataupun hak azasi manusia sebagaimana cukup gencar di era globalisasi ini khususnya pasca Perang Dunia II.
Akhirnya, bagaimanakah pandangan Krasner tentang pengaruh globalisasi terhadap masalah ‘international legal sovereignty’ ?

“…National as well as international law is based on mutual recognition. Recognition provides an easily observed sign that an actor can enter into international accords.
“If anything, globalization has made international legal sovereignty more important. The number of international agreements and organizations has proliferated in the last few decades. Many of these represent efforts to captures the benefits of globalization and compensate for the loss of national control by establishing new coordinating and regulatory mechanisms at the international level.”[8]

Kemudian Krasner menyimpulkan bahwa,

“…Globalization has enhanced the incentive to reach agreements in some areas because unilateral control is more difficult. Viewed from the perspective of international law, however, these agreements enhance rather than undermine sovereignty. Indeed, the agreements would be impossible in the first place if states did not mutually recognize their capacity to enter into them.”[9]

Globalisasi dengan international law-nya bukannya melemahkan kedaulatan negara melainkan justru menegaskan bahwa 'international legal sovereignty’ lebih penting dari masa-masa sebelumnya. Hal ini disebabkan karena ‘international law’ tidak mungkin dibuat tanpa ‘recognition’ dari negara-bangsa karena prinsip ‘international law’ sama dengan ‘national law’ yakni ‘mutual recognition’. Globalisasi telah mendorong suatu “incentive” bagi upaya melahirkan persetujuan-persetujuan internasional. Dengan demikian, globalisasi bukannya “undermine” terhadap kedaulatan negara melainkan “enhance it”.
Setelah menyimak pokok-pokok pemikiran yang diangkat oleh Krasner di atas, nampak jelas posisi Krasner yang melihat globalisasi bukan sebagai era dimana ia disebut ‘era globalisasi’ melainkan pada apa yang terjadi di era globalisasi ini. Dari perspektif itulah dan dengan rujukan kekayaan sejarah yang diangkatnya, Krasner menilai bahwa apa yang terjadi terhadap empat pengertian tentang kedaulatan negara di era globalisasi ini sesungguhnya pada dasarnya atau pada karakteristik utamanya merupakan kelanjutan saja dari apa yang terjadi pada abad-abad sebelumnya, dan bahkan berabad-abad sebelum ‘era globalisasi’ disebutkan orang-orang.
Sehingga berbagai anasir yang disebutkan dapat mengancam paham dan eksistensi kedaulatan negara dengan unsur pokoknya menyangkut kontrol, otoritas domestik, westphalian sovereignty, dan hukum internasional adalah sesuatu yang cenderung biasa karena hal tersebut bukanlah hal baru. Krasner ingin mengatakan bahwa berbagai hal tersebut telah sejak dahulu kala ada dan menantang paham kedaulatan negara. Kemudian sejarah membuktikan bahwa tantangan tersebut telah berhasil dilewati oleh paham kedaulatan negara.
Hingga saat ini dan selanjutnya paham kedaulatan negara sebagai sesuatu yang universal akan terus eksis walaupun globalisasi semakin nyata, itulah yang juga ingin disampaikan oleh Krasner ketika di akhir tulisannya ia mengatakan,

“…Globalization has highlighted some tensions between norms and behavior, but there is no evidence that this is leading to some transformation of the international system.”[10]


Negara Bangsa dan Tertib Global

Mencermati tulisan Krasner di atas, maka nampak nuansa (kedaulatan) negara bangsa sebagai sesuatu yang “untouchable”, walaupun oleh suatu makhluk yang bernama ‘globalisasi’ yang kerapkali digambarkan oleh orang-orang sebagai sesuatu yang hebat dan dahsyat. Dengan keyakinan demikian, Krasner menyampaikan gagasannya dari sudut pandang ‘superioritas’ negara-bangsa. Nuansa yang berbeda, kalaupun bukannya sebaliknya, kita temukan pada tulisan David Held yang berikut ini akan kami angkat pokok-pokoknya.
Tulisan David Held beranjak dari titik tolak gagasan bahwa,
“The contemporary nature and scope of the sovereign authority of nation-states can be mapped by looking at a number of ‘internal’ and ‘external’ disjunctures between, on the one hand, the formal domain of political authority they claim for themselves and, on the other, the actual practices and structures of the states and economic system at the national, regional, and global levels.[11]

Pada intinya David Held ingin melihat cakupan dan pengertian kontemporer tentang kedaulatan negara berdasarkan rentangan ketegangan (disjuncture) antara aspek normatif dan aspek praktis baik secara internal maupun eksternal. Kedaulatan negara sendiri menurut Held adalah “the political authority within community which has the acknowledged right to exercise the powers of the state and to determine the rules, regulations and policies within a given territory.[12]
Disjunctures tersebut menurut Held ada lima konteks yaitu hukum internasional (international law), internasionalisasi penentuan kebijakan politik (internationalization of political decision-making), kekuatan hegemonik dan struktur keamanan internasional (hegemonic powers and international security structures), identitas nasional dan globalisasi budaya (national identity and globalization of cultures), dan ekonomi dunia (the world economy). Berikut kami paparkan pokok-pokok pikiran yang dikembangkan Held dalam lima disjunctures tersebut.

“Throughout the nineteenth century, international law was conceived, as noted earlier, as a law between states; states were its subjects and individuals its objects. The exclusion of the individual from the provisions of international law has been challenged and undermined in the twentieth century.”[13]

Kutipan di atas, menjelaskan bahwa pada abad ke-20 ini telah terjadi perubahan penting dalam hukum internasional ketika hukum internasional mengadopsi dan melindungi hak-hak individu melalui United Nation’s Universal Declaration of Human Rights (1948) dan Covenant on Rights (1966). Kondisi ini berbeda dengan abad ke-19 yang menempatkan individu sebagai obyek, bukan subyek hukum sebagaimana negara ditempatkan. Perubahan penting tersebut kemudian berdampak pada upaya peninjauan terhadap hukum internasional yang didasarkan semata pada prinsip state sovereignty. Upaya peninjauan bahkan sudah pada tingkat ‘against’ (melawan) the doctrine that international law is and should be a ‘law between states only and exclusively’.

“Traditionally, international law has identified and upheld the idea of a society of sovereign states as ‘the supreme normative principle’ of the political organization of humankind. In recent decades, the subject, scope, and source of international law have all been contested; and opinion has shifted against the doctrine that international law is and should be a ‘law between states only and exclusively’.”[14]

Globalisasi juga telah memaksakan (disjuncture) internasionalisasi pembuatan kebijakan politik yang digambarkan oleh Held berikut ini,

“The development of international regimes and international organizations has led to important changes in the decision-making structure of world politics. New forms of multilateral and multinational politics have been established and with them distinctive styles of collective decision-making involving governments, IGOs and a wide variety transnational pressure groups and international non-governmental organization (INGOs).”[15]

Kedaulatan dan otonomi negara bahkan dibawah tekanan (underpressure) organisasi ekonomi global serta politik dan aktivitas yang digerakkan oleh organisasi atau badan-badan regional maupun internasional. Held menulis,

“Although the challenge to national sovereignty has perhaps been more clearly debated within the countries of the European Union than in any other region of the world, sovereignty and autonomy are under severe pressure in many places. They are underpressure from a confluence of constraints imposed, on the one hand, by the structure of the international system, particularly by the organization of the global economy and, on the other hand, by policies and activites by leading agencies and organizations, both regional and international.”[16]

Globalisasi juga turut memfasilitasi hadirnya disjuncture kekuatan yang hegemonik dan struktur keamanan internasional. Berkaca pada munculnya Blok Pakta Warsawa dan NATO, meski kini Pakta Warsawa telah bubar, kehadiran blok-blok kekuatan idelogi, politik, dan militer tersebut terkadang dalam operasinya memotong integritas dan otoritas negara anggotanya demi kepentingan bersama blok kekuatan tersebut. Held menggambarkannya sebagai berikut,

“There is an additional disjuncture involving the idea of the state as an autonomous strategic, military actor, and the development of the global system of states, characterized by the existence of great powers and power blocs, which sometimes operates to undercut a state’s authority and integrity.”[17]

Kedaulatan dan otonomi negara anggota blok (NATO misalnya) adalah sesuatu yang dapat dinegosiasikan, jadi kedaulatan negara dalam hal ini tidak berlaku mutlak;
Accordingly, aspects of state sovereignty and autonomy are negotiated and renegotiated through the NATO alliance.[18]

Disjuncture berikutnya tentang identitas nasional dan budaya global. Bagi Held memahami disjuncture ini tidak terlepas dari perkembangan teknologi terutama teknologi telekomunikasi (dan transportasi) yang memungkinkan individu-individu dari berbagai belahan dunia saling mengetahui, menyaksikan, dan berkomunikasi satu sama lain. Hal inilah yang membuka kemungkinan cara pandang ataupun mekanisme baru dalam melakukan proses pengidentifikasian budaya maupun perilaku individu. Individu-individu seolah ditawarkan alternatif-alternatif dari apa yang selama ini telah mereka pegang dan jadikan kebiasaan. Kecenderungan ini dapat mengarah kepada ‘global culture’ (budaya global) dan melemahkan budaya nasional (lokal). Held mengatakan,

“Nonetheless, the growth of global communications, above all of television, video and film, gives people new ways of ‘seeing and participating’ in global developments. In principle, this opens up the possibility of new mechanism of identification.”[19]

“The globalization of the media involves a complicated set of processes which have implications for the ordering of political identities at many levels…..These processes can weaken the cultural hegemony of nation-states and restimulate the ethnic and cultural groups which compose them. And as nation-states are weakened, growing pressure for local and regional autonomy cannot be rulled out; thus, old political-cultural identities may well be challenged across the world both from above and from below.”[20]

Terakhir, disjuncture ekonomi global bagi Held harus diawali dengan memahami peranan perusahaan multinasional dalam proses internasionalisasi produksi dan internasionalisasi transaksi finansial.

“…Two aspects of international economic processes are central: the internationalization of production and the internationalization of financial transactions, organized in part by multinational companies (MNCs).”[21]

Internasionalisasi produksi dan transaksi finansial mengakibatkan,

“However, the internationalization of production, finance, and other economic resources is unquestionably eroding the capacity of an individual state to control its own economic future.”[22]
“Thus, at the very latest, it can be said that there appears to be a diminution of state autonomy in the sphere of economic policy and a gap between the idea of a political community determining its own future and the dynamics of the contemporary world economy.”[23]

Perkembangan ekonomi dunia menurut Held telah menurunkan kemampuan negara melakukan kontrol atas masa depan ekonominya dan juga kesenjangan antara ide yang dimiliki para pengambil kebijakan negara dengan dinamika kontemporer ekonomi dunia.

Penutup
Disjuncture yang dipaparkan oleh Held di atas sangat menarik dan secara diametral berbeda dengan apa yang dipaparkan oleh Krasner sebagaimana telah kita bicarakan di atas. Krasner bersikeras ingin membuktikan bahwa globalisasi merupakan fenomena biasa saja secara substansial dan historis, walaupun dalam beberapa hal secara intensitas menyebabkan peningkatan (dan tidak ada peningkatan dalam hal lainnya) dalam pengaruhnya terhadap kedaulatan negara-bangsa. Sedangkan Held ingin coba membuktikan melalui lima disjuncture di atas bahwa globalisasi menyebabkan kedaulatan negara bangsa mengalami erosi dan hal ini merupakan fenomena khas yang ditimbulkan oleh globalisasi. Pandangan Held secara padat dapat ditangkap dari kutipan berikut ini,

“The evidence that international and transnational relation have eroded the powers of the modern sovereign state is certainly strong. Global processes have moved politics a long way from activity which simply crystallizes first and foremost around state and inter-state concerns.”[24]

Pandangan yang berbeda antara Krasner dan Held membuktikan bahwa perdebatan tentang globalisasi beserta dampaknya terhadap ‘nation state’ merupakan perdebatan yang menarik dan tidak dapat disederhanakan dalam hubungan yang siapa melemahkan siapa atau siapa yang menghalangi siapa. Perdebatan tentang globalisasi dan ‘nation state’ akan lebih produktif apabila kerangka pemahaman yang dijadikan titik tolak ulasan adalah sama. Nampaknya Held beranjak dari fakta-fakta yang berada dalam suatu kotak yang bernama ‘era globalisasi’ dan coba menunjukkan bahwa apa yang terdapat dalam kotak tersebut melemahkan atau mengerosi kedaulatan negara-bangsa. Sedangkan Krasner justru tidak melihat globalisasi sebagai suatu era yang dimulai ketika orang mengenal istilah ‘globalisasi’ tetapi ia melihat ide, tindakan dan fakta-fakta yang bernuansa transnasional dan internasional yang itu melampaui batas-batas ‘era globalisasi’; dan kemudian Krasner seolah ingin mengatakan, “kenapa anda harus heran dan mengkhawatirkan kedaulatan negara-bangsa karena adanya globalisasi, bukankah itu biasa? Bukankah state sovereignty telah bisa menghadapi hal-hal semacam itu ?”.

Daftar Pustaka
Stephen D. Krasner, Globalization and Sovereignty, dalam David A. Smith et al (eds.), States and Sovereignty in the Global Economy (London: Routledge, 1999).

David Held, Democracy and The Global Order (Cambridge: Polity Press, 1995)

[1] Stephen D. Krasner, Globalization and Sovereignty, dalam David A. Smith et al (eds.), States and Sovereignty in the Global Economy (London: Routledge, 1999), hal 34.
[2] Ibid, hal 35
[3] Ibid, hal 40
[4] Ibid, hal 41-42
[5] Ibid, hal 43
[6] Ibid
[7] Ibid, hal 47
[8] Ibid, hal 48
[9] Ibid, hal 48-49
[10] Ibid, hal 49
[11] David Held, Democracy and The Global Order (Cambridge: Polity Press, 1995), hal 99
[12] Ibid, hal 99-100
[13] Ibid, hal 101
[14] Ibid, hal 107
[15] Ibid, hal 108
[16] Ibid, hal 113
[17] Ibid, hal 115
[18] Ibid.
[19] Ibid, hal 124
[20] Ibid, hal 126
[21] Ibid, hal 127-128
[22] Ibid, hal 133
[23] Ibid.
[24] Ibid, hal 135

Read More......