Sabtu, 27 Juni 2009

HMI dan Pilpres 2009

Oleh Arip Musthopa, SIP., MSi
Ketua Umum PB HMI 2008-2010

Pilpres 2009 harus ditempatkan dalam konteks Indonesia yang transisional dari era otoritarian menuju era demokrasi yang mapan. Betul memang kita telah memasuki era demokrasi, namun demokrasi kita masih berdiaspora mencari bentuknya yang paling relevan dengan kondisi sosio-politik-ekonomi-budaya bangsa Indonesia. Dalam sketsa demikian, wajar kiranya dalam praktek demokrasi kita masih terdapat sejumlah kekurangan yang mengundang kekecewaan dan gugatan.


Pengalaman demokratisasi di negara-negara Amerika Latin menunjukkan bahwa waktu 10-15 tahun adalah waktu yang cukup untuk suatu masa transisi politik. Tentu saja tergantung pada kemampuan kita melakukan konsolidasi demokrasi, dalam arti memapankan sistem demokratik dan menempatkan figur-figur demokratik dalam pos-pos penting pemerintahan dan memuseumkan sistem dan figur-figur non-demokratik. Kiranya tahun 2014 adalah momentum kita mengakhiri fase transisi dan diharapkan tak ada lagi perubahan mayor pada sistem politik kita, meski secara minor tak terhindarkan.

Dalam suatu era transisi, apalagi dalam momentum hajat demokrasi seperti Pilpres 2009, terdapat turbulensi politik yang mem(di)pengaruhi berbagai kekuatan sosial-politik. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai organisasi kemahasiswaan yang memiliki 186 cabang di kabupaten/kota se-Indonesia dan anggota sekitar 321.000, tentu tak terkecuali. Tulisan ini merupakan ikhtiar kami untuk menjelaskan positioning HMI dalam hajat tersebut.

Pilpres: Antara Prosedur dan Substansi

Pilpres adalah prosedur demokrasi untuk seleksi pimpinan nasional, presiden dan wakil presiden. Lazimnya suatu prosedur, hanya bermakna bila merefleksi nilai-nilai substansi demokrasi. Pilpres yang terlalu berjarak dengan nilai-nilai substansi demokrasi dapat memunculkan gugatan, edukasi yang buruk, dan bahkan malapetaka politik. Nilai-nilai tersebut adalah keadilan, kejujuran, kesetaraan, dan kompetisi yang sehat (tegaknya fatsoen politik).

Pilpres yang demokratik dapat terwujud apabila hadir penyelenggara pemilu yang independen dan mandiri, kontestan yang beretika dan taat aturan main, media massa yang sehat dan obyektif, serta hadirnya pemilih yang cerdas. Ketidakhadiran salah satu dari keempat komponen di atas dapat mengakibat Pilpres mengidap sejumlah kelemahan bahkan cacat yang menjauhkannya dari kategori pemilu berkualitas dan demokratik.

Diantara keempat komponen di atas, posisi terlemah adalah pemilih. Pemilih adalah penentu yang digempur oleh kontestan dan media untuk diminta keberpihakan hati dan pikirannya. Dalam keterkungkungan gempuran tersebut, pemilih seyogyanya memperoleh perlindungan dari regulasi dan penyelenggara. Namun faktanya tidak demikian, pemilih tak dapat berharap banyak pada mereka. Karena regulasi dibuat elit yang belakangan menjadi kontestan. Karena penyelenggara kerapkali lebih menunjukkan kekhawatiran atas protes dari kontestan ketimbang pemilih. Alih-alih mereka memperoleh perlindungan dan edukasi yang cukup, malah disalahkan ketika tidak atau salah menggunakan hak pilih.

Lantas, kemana pemilih patut berharap memperoleh “suaka politik”? Kepada elemen civil society, yang menurut Cak Nur sebagai ‘rumah persemaian demokrasi’. Adalah tugas dari civil society ‘menemani’ pemilih agar tidak tersesat menggunakan hak pilihnya. Sebagai bagian dari elemen tersebut, HMI sepatutnya memberikan edukasi agar menjadi pemilih yang cerdas. Oleh karena itu, HMI kemudian menggelar Gerakan Pemilih Cerdas yang mengajak pemilih untuk: mendaftar sebagai pemilih, menggunakan hak pilih, anti politik uang (suap), dan mengedepankan rekam jejak dan program figur dalam menentukan pilihannya.

Pilpres dan Tafsir Independensi

HMI menggariskan dirinya sebagai organisasi yang bersifat Independen. Independensi dimaknai dua hal, independensi etis dan organisatoris. Independensi etis bermakna setiap anggota HMI berpihak dan memperjuangkan kebenaran, yang didasarkan pada pemahaman teologis bahwa fitrah manusia adalah hanief, cenderung pada kebenaran. Oleh karena anggota HMI independen secara etis, maka konsekuensinya secara organisasi HMI juga independen. Tidak berada di bawah atau menjadi underbouw organisasi apapun, karena akan membatasi ruang implementasi spirit independensi, kalaupun bukannya membunuh spirit independensi itu sendiri.

Dalam aksinya, HMI secara organisasi hanya boleh menunjukkan keberpihakan pada kebenaran atau kepada pihak yang mana kebenaran melekat padanya. Untuk tahu yang benar dan salah dibutuhkan pengetahuan atau ilmu. Disinilah nampak keterkaitan antara keyakinan independensi (dimensi iman) yang bisa terimplementasi dengan baik (dimensi amal) apabila didukung oleh ketersediaan pengetahuan (dimensi ilmu). Atas dasar itu di HMI tidak pernah sepi digaungkan pentingnya intelektualisme sebagai tradisi, yang bukan saja penting bagi bekal individu tapi juga menyangkut kiprah organisasi.

Selanjutnya, dalam suatu kontestasi politik seperti Pilpres 2009, dapatkah logika keberpihakan ‘benar-salah’, seperti yang disyaratkan dalam doktrin independensi dijadikan dasar untuk mendukung atau tidak mendukung calon tertentu? Disini kita dihadapkan pada problem metodologi untuk mengukur tingkat benar dan salah dari masing-masing calon. Sungguh problematis dan penuh jebakan subyektifitas. Dihadapkan pada kerumitan tersebut, nampaknya memilih sikap ‘netral’ merupakan sikap yang paling dekat dengan spirit independensi. Apalagi ada benefit lain, yakni positif untuk memelihara kohesifitas internal. Namun bukankah independensi justru harus berpihak? Suatu ironi apabila atas dasar independensi, yang zahirnya menuntut keberpihakan, malah menjadi tidak berpihak (netral). Lantas, kemanakah energi keberpihakan harus disalurkan? Karena HMI juga pantang bersikap pasif.

Oleh karena pilihan mendukung atau tidak figur calon tertentu terkendala metodologi implementasi doktrin independensi, maka keberpihakan tidak dapat disematkan pada calon atau figur. Yang paling mungkin adalah energi independensi disalurkan melalui upaya membangun sistem dan prosedur (playing field) yang adil untuk semua sekaligus memberdayakan yang terlemahkan oleh sistem yang berlaku. Logikanya, siapapun yang nantinya terpilih merupakan yang terbaik asalkan melalui suatu proses (sistem dan prosedur) yang benar dan baik. Sebaliknya, apabila sistem dan prosedurnya keliru maka pemimpin yang dihasilkan pastinya bukan yang terbaik.

Keberpihakan ini menuntut peran seperti watchdog yang ‘menggonggong’ apabila terdapat kekeliruan dalam berlakunya sistem dan prosedur. Mengambil peran menjadi pengawas jalannya pilpres ketimbang menjadi tim sukses capres. Peran-peran seperti kritik proses, edukasi pemilih, pengawasanpada hari-H, dan mendesakkan agenda strategis ke dalam program calon melalui dialog publik misalnya, merupakan model-model peran yang ditempuh dalam membangun pilpres yang berkualitas dan demokratis.

Pencalonan JK

Isu lain terkait kiprah HMI di Pilpres 2009 adalah perihal pencalonan Moh. Jusuf Kalla, biasa disapa JK, yang diisukan memperoleh dukungan dari HMI. Hal ini tentu pengkaitan sederhana dari status JK sebagai alumni HMI dan pernah menjadi Ketua Umum HMI Cabang Makassar. Apalagi KAHMI, baik yang presidensil maupun presidium, telah menyatakan dukungan secara terbuka kepada JK beberapa waktu yang lalu.

Lantas, bagaimana positioning HMI menyikapi pencalonan JK? Bagi HMI, seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, wilayah dukung-mendukung figur calon secara organisasi adalah wilayah yang tidak mungkin dimasuki, meskipun itu adalah alumni HMI. Sikap ini merupakan konsekuensi doktrin independensi yang telah dijelaskan di atas. Dengan demikian, HMI merupakan komunitas yang terbuka bagi semua calon. Adalah kesungguhan ‘rayuan politik’ dan tawaran program dari masing-masing capres lah yang akan menentukan kemana masing-masing anggota HMI akan menentukan pilihan.

Memang pada umumnya alumni dan anggota HMI merasa bangga apabila ada bagian dari keluarganya yang mampu mencapai tingkat kesuksesan tertentu. Solidaritas sebagai suatu keluarga besar yang aktif terkadang lebih dari sekedar merasa bangga melainkan turut membantu ikhtiar saudaranya disertai keikhlasan yang memadai. Solidaritas keluarga besar inilah yang kiranya menjadi ‘variabel laten’ yang dapat memuluskan JK mendulang suara dari alumni maupun anggota HMI secara lebih besar dibandingkan capres yang lain. Tentu saja sejauh JK mampu menekan pada tombol yang tepat untuk membangkitkan ‘variabel laten’ itu. Wallahu a’ lam bi ashshawab.

Read More......