Rabu, 04 Februari 2009

The HMI Way; Menyegarkan Kembali HMI

Oleh Arip Musthopa
Ketua Umum PB HMI

GENAP 62 tahun sudah usia HMI. Rentang usia yang cukup matang bagi sebuah organisasi. Ketika didirikan 05 Februari 1947 lalu, HMI berdiri di bawah semangat keislaman dan keindonesiaan secara bersamaan dan sinergis, bukan dikhotomik. Dua semangat itu dikawinkan, diharmonisasi dan diracik. Gagasan tersebut, menjadi penting di tengah masih banyaknya kalangan muslim yang menghendaki terbentuknya negara Islam, tidak hanya pada masa awal beridirinya HMI, tetapi juga hingga saat ini.

Gagasan keislaman-keindonesiaan yang diusung HMI menjadi sumbangsih gagasan yang sangat apik kepada bangsa, karena mampu mengimbangi ambisi golongan yang menghendaki terbangunnya negara dengan nalar dan sistem teokratik oleh nasionalisme berbalut Islam. Dan, Dahlan Ranuwihardjo, pantas menjadi salah satu ikon yang turut mempertebal karakter kebangsaan di dalam tubuh HMI ketika usia organisasi ini masih belia.

Pembaruan pemikiran Islam Indonesia berhasil lahir dari tubuh HMI pada era akhir 1960-an melalui pemikiran Nurcholish Madjid dengan jargon “Islam Yes, Parti Islam No” dan sekularisasi agama (Islam) yang terus berkembang menjadi narasi besar gelombang pembaruan pemikiran Islam hingga tahun 1990-an. Pada masa itu juga muncul Ahmad Wahib melalui limited group-nya yang oleh Greg Barton disejajarkan dengan Cak Nur dan Gus Dur sebagai tokoh pembaru Islam Indonesia.

Cakrawala pemikiran keislaman-keindonesiaan menjadikan HMI diposisikan sebagai kelompok Islam moderat. Pada masa awal peletakan develomentalisme Orde Baru, gagasan tersebut dianggap cocok menjadi pemikiran poros tengah untuk mengimbangi kekuatan Islam teokratik yang menghendaki negara Islam dan mainstream kelompok radikal kiri yang menginginkan negara totaliter. Saat itulah, sejarah kemudian mencatat kader-kader HMI berbondong-bondong masuk ke dalam birokrasi dan menjadi mesin penyuplay kader dari kelompok Islam selama pemerintahan Orde Baru. Kenyataan ini, kelak terus berjalan hingga membentuk watak politik kekuasaan dan menjadi bumerang kemandegan pemikiran di dalam tubuh HMI sendiri.

Ketika era Reformasi bergulir dan Orde Baru terkilir, payung yang meneduhi kiprah anak-anak HMI pun bergerak sumir. Tetapi kelihaian mengopeni birokrasi dan politik, ditopang stabilitas regenerasi, pemeliharaan jaringan, kemampuan adaptasi, dan diaspora kader-kader HMI menjadikannya tetap bertahan. Bahkan nampak semakin dominan mengisi birokrasi dan elit politik nasional dewasa ini. Namun kualitas, efektivitas dan keberlangsungan jalan tersebut akan menemukan tantangan dan mendapatkan ujian. Paling tidak ini dilandasi oleh beberapa alasan.

Pertama, negara bukanlah pusat perubahan dan sumber daya politik satu-satunya. Kini telah hadir trias politica gelombang kedua, yakni state, private, dan civil sosciety yang masing-masing memiliki pengaruh atau akses terhadap perubahan politik. Dengan demikian, hanya menguasi negara bukan berarti mengendalikan kekuasaan atas negara, apalagi mengendalikan perubahan sosial.

Kedua, dunia telah memasuki abad ke-21 yang menuntut perlakuan berbeda dari abad ke-20. HMI lahir dalam mileu budaya, pemikiran, dan realitas sosial abad ke-20 sehingga niscaya dibutuhkan evaluasi dan proyeksi terhadap rumusan teks dan tradisinya. Apalagi krisis energi, krisis ekonomi, loncatan pengetahuan dan teknologi informasi serta perubahan iklim global akan menentukan formasi masa depan. Pemikiran dan kebiasaan baru HMI yang memiliki imajinasi dan cakrawala tentang formasi kehidupan masa depan mutlak dibutuhkan.

Ketiga, kesanggupan bersaing HMI di tengah kemunculan organisasi intelektual muslim baru yang justru diprakarsai oleh eks aktivis HMI tahun 1970-an dan 1980-an yang aktif di Lembaga Dakwah Kampus. Mereka hadir dengan karakter dan afiliasi gerakan yang berbeda. Kelompok-kelompok ini mulai menguasai sejumlah kampus excellent. Inilah tantangan keberlangsungan HMI ke depan, karena basis kadernya di kampus-kampus.

Keempat, sejak erat ‘bersetubuh’ dengan kekuasaan, tradisi intelektual HMI mengalami proses pemiskinan menuju pemikiran satu arah, political oriented. Komunitas epistemik HMI yang melahirkan banyak intelektual seperti Cak Nur, Ahmad Wahib, Mukti Ali, Dawam Raharjdo, dan lainya digerus oleh komunitas politik. Jarang sekali ditemukan kelompok-kelompok diskusi. Kondisi ini tentu menyedihkan ketika dihadapkan bersamaan dengan lemahnya terobosan pemikiran Islam yang kompatibel dan kontributif bagi nation-state Indonesia yang modern.

Dengan demikian, HMI ditantang untuk survive dan kontributif agar umat Islam dan bangsa Indonesia menjadi lebih baik. Jalan yang dipilih HMI (The HMI Way) selama 62 tahun harus ditafsir ulang dan disegarkan kembali. Tentu empat hal di atas harus diperhatikan dan kiranya menjadi fokus tantangan dan ujian HMI pada usia ke-62 ini. Jalan yang sudah dipilih memang berhasil melahirkan generasi yang membanggakan, namun jika residunya tidak mampu dieliminir di tengah arah zaman yang berubah, akan berbalik menjadi boomerang yang melumpuhkan.

Kini anggota HMI berjumlah lebih dari 100 ribu orang yang tersebar di 186 cabang di seluruh Indonesia dengan berbagai kontribusi jutaan alumninya. Melihat potensi besar itu, HMI masih strategis dan merupakan aset vital untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik. Akhirnya secara objektif, siapapun akan berharap jika The HMI Way atau jalan yang dipilih HMI akan dapat menjawab tantangan zaman kekinian dan masa depan. Semoga.

Read More......