Kamis, 11 Desember 2008

The HMI Way (for Better Indonesia)

Oleh Arip Musthopa

Secara sederhana 'The HMI Way" adalah sebuah istilah yang kami maksudkan untuk menjelaskan tentang jalan yang HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) pilih selama 62 tahun keberadaannya dan bagaimana prospeknya ke depan. Tak terasa jalan yang ditepuh oleh HMI bagi umat dan bangsa Indonesia selama ini telah membuat suatu blok kesejarahan tersendiri yang --paling tidak menurut pengakuan intern-- telah diakui dan layak dilabeli 'The HMI Way' seperti 'The Apple Way', 'The General Electric Way' atau 'The Toyota Way' di bidang lain. Dengan gagasan 'The HMI Way' kami ingin menegaskan tentang "blok sejarah" tersebut, mengkritalisasi nilai dan karakternya, mengevaluasi perjalanannya, memproyeksi, dan mengkontekstualisasinya pada zaman yang terus bergerak dan berubah ini.

Sejak didirikan 5 Februari 1947/14 Rabiul Awal 1366 HMI menegaskan komitmen keislaman dan keindonesiaan secara bersamaan dan sinergis sebagaimana tercermin dalam tujuan awal berdirinya HMI. Dua semangat, yakni keagamaan dan kebangsaan (Nasionalisme) dikawinkan, diharmonisasi dan diracik sehingga saling mengisi selaras dengan visi founding fathers Republik Indonesia di tengah masih banyaknya kalangan muslim yang berteriak hendak membentuk negara Islam. Komitmen awal ini sangat penting karena menjadi bekal awal bagi 'kalangan santri' untuk tidak canggung bernegara, berkiprah secara total dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal sebelumnya, bernegara seolah milik 'kalangan abangan', suatu efek traumatik akibat pendudukan pemerintah kolonial Belanda yang masih kental terasa pada usia dini republik. Pak De (Dahlan Ranuwiwardjo) dapatlah disanjungkan sebagai icon yang secara gigih mempertebal karakter kebangsaan (nasionalisme) pada tubuh HMI di usianya yang masih belia.

Problem berikutnya muncul ketika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, umat Islam dituntut untuk berkontribusi secara lebih optimal di tengah terjadinya kemandekan pemikiran Islam. Singkatnya, antara doktrin dan realitas kehidupan masyarakat tidak connected. Agama terasingkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara yang terus berkembang seiring pembangunan yang terus berjalan. Umat Islam dan kalangan intelektual muslim khususnya tertantang untuk membuat terobosan pemikiran sehingga Islam kompatibel dan kontributif bagi nation-state Indonesia yang semakin modern. Gelegar terobosan pembaruan pemikiran Islampun berhasil lahir dari tubuh HMI di era akhir tahun 1960-an dengan icon utamanya Nurcholish Madjid yang terus berkembang menjadi narasi besar 'Gelombang Pembaruan Pemikiran Islam' hingga tahun 1990an. Pokok-pokok pemikiran Cak Nur yang masih menggema hingga saat ini diantaranya Islam Yes Parti Islam No dan sekularisasi agama (Islam).

Pada saat Orde Baru rising, negara membutuhkan anak-anak bangsanya untuk mengisi birokrasi pemerintahan dan jabatan-jabatan politik sekaligus mensukseskan agenda 'developmentalisme' yang berarti 'negara sebagai agen utama perubahan sosial'. Anak-anak bangsa yang paling siap, dan berkontribusi signifikan dalam menyingkirkan PKI yang melakukan coup de etat tahun 1965, pada saat itu adalah dari tentara dan muslim terpelajar yang pada umumnya anggota HMI atau alumninya. Singkatnya sejarah kemudian mencatat bahwa kader-kader HMI berbondong-bondong masuk ke dalam birokrasi pemerintahan Orde Baru. Walaupun hingga akhir tahun 1980-an untuk jabatan-jabatan politik pada umumnya masih di pegang oleh tentara dan alumni-alumni HMI masih pada posisi second line. Strategi mendekati, mengisi, dan menguasai negara yang diidamkan Islam politik sejak masa Masyumi ini telah berhasil diwujudkan (alumni) HMI pada awal tahun 1990an ketika alumni-alumni HMI mendirikan ICMI. ICMI merupakan icon persetubuhan HMI dengan kekuasaan pemerintahan Orde Baru yang sedang berada di puncaknya.

Ketika era reformasi hadir dan Orde Baru tumbang, payung yang meneduhi kiprah "anak-anak" HMI tiba-tiba goyah dan anak-anak HMI dituntut survive. Kebiasaan "mengurusi negara" yang telah lama tertanam dan ditopang dengan regenerasi yang terus berjalan menjadikannya dapat survive dan bahkan nampak semakin "menggurita" di dalam tubuh birokrasi dan elit politik nasional dewasa ini. Namun kualitas, efektifitas dan keberlangsungan fenomena tersebut masih harus diuji lebih lanjut paling tidak karena beberapa hal berikut. Pertama, negara bukan lagi menjadi pusat kekuasaan dan sumber daya politik satu-satunya. Kini telah hadir trias politica gelombang kedua, yakni state, private, dan civil sosciety yang masing-masing memiliki pengaruh atau akses pada pengambilan keputusan kebijakan publik. Dengan demikian, hanya menguasi negara bukan berarti mengendalikan kekuasaan atas negara. Kedua, aktifis masjid HMI pada akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1980an yang aktif di Lembaga Dakwah Kampus telah melahirkan suatu generasi intelektual muslim baru yang kemudian memiliki karakter dan afiliasi perjuangan politik yang berbeda dengan induknya (HMI). Malah generasi baru ini telah melahirkan organisasi tersendiri yang menjadi kompetitor serius bagi HMI dan mengancam keberadaan HMI itu sendiri karena di sejumlah kampus excellent mereka berhasil mengalahkan HMI dalam merekrut kader. Ketiga, dunia telah memasuki abad XXI yang menuntut perlakuan berbeda dari abad XX. Dibutuhkan pemikiran dan kebiasaan baru yang kompatibel bagi konstruksi abad XXI. Sebagian besar aturan main, tradisi, dan pemikiran HMI dirumuskan di abad XX sehingga dibutuhkan evaluasi dan proyeksi terhadapnya. Padahal sejak erat bersetubuh dengan kekuasaan, tradisi intelektual HMI mengalami proses pemiskinan menuju pemikiran satu arah: political oriented.

Dewasa ini 'The HMI Way' ditantang untuk dapat survive dan kontributif agar Indonesia menjadi lebih baik. 'The HMI Way' harus ditafsir ulang dan diarahkan pada arahnya yang baru sebelum disadari bahwa segalanya sudah terlambat dan tidak mungkin diselamatkan. 'The HMI Way' yang sudah dipilih telah terbukti berhasil namun residunya membuatnya lambat kalaupun bukannya susah untuk membelokkan arah seiring arah zaman yang berubah. Dengan sumber daya anggota lebih dari 100 ribu orang yang tersebar di 186 cabang seluruh Indonesia kiranya kader-kader HMI dengan berbagai kontribusi dari alumninya yang berjumlah jutaan mampu menyelamatkan bahtera HMI. Bila kelak demikian, maka 'The HMI Way' memang selalu tepat menjawab tantangan zamannya. Wallahu a' lam. Yakin Usaha Sampai.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

HMI sekarang harus mampu memformat visi baru lagi hari ini HMI semakin di tinggalkan, maka saya dari HMI cabang pacitan jatim mari bersama - sama mencari format yang lebih baik diantara yang baik