Kamis, 11 Desember 2008

Secuil Gagasan tentang Kepemimpinan Kaum Muda

Oleh Arip Musthopa

Wacana kepemimpinan kaum muda sangat penting untuk mendorong sirkulasi elit yang telah 10 tahun reformasi masih belum maksimal. Adalah hukum alam bahwa sirkulasi atau regenerasi itu penting untuk menjaga agar sistem berjalan dengan sehat dan terdapat keseimbangan antara tradisionalisme (sebagai reporesentasi masa lalu) dan inovasi (sebagai representasi masa kini dan masa depan). Wacana kepemimpinan kaum muda berpijak pada asumsi ketuaan dan kemudaan sebagai fasilitator bagi hadirnya tradisionalisme dan inovasi tersebut, meski tidak melulu berlaku sesederhana itu.

Karena kerangka dasar memunculkan wacana kepemimpinan kaum muda adalah untuk menjaga sistem berjalan dengan sehat dan seimbang, maka kemudaan jangan dimaknai sekedar umur (muda) melainkan sejumlah karakter lain dan pemikiran "kemudaan" yang menyertainya. Atas dasar kerangka dasar itu, maka prinsip-prinsip universal lain seperti kualitas, kapasitas, dan cara memperoleh posisi dengan etis dan sesuai mekanisme jangan pula dikorbankan demi satu alasan: asal muda!. Sama dengan tidak tepatnya memaksakan alasan "tidak berpengalaman" untuk menolak yang muda untuk tampil.Lantas, bagaimana dengan peluang kaum muda untuk tampil pada posisi-posisi strategis di Indonesia dewasa ini? Kepemimpinan kaum muda akan terbuka kalau terdapat "sistem" yang memungkinkan untuk itu. Bila kita lihat pada sektor politik, bisnis, dan birokrasi, maka sistem yang paling sulit ditembus terdapat pada birokrasi yang terkenal dengan adagium 'birokrasi kompleks'. Untuk politik relatif lebih terbuka, apalagi dunia bisnis. Singkatnya, semakin dinamis dan 'berserak" suatu sistem maka semakin terbuka kemungkinan percepatan sirkulasi dan tampilnya pemimpin-pemimpin muda. Celakanya justru di birokrasi lah "bottle neck" yang membuat putusan bisnis dan politik menjadi mandul, bahkan "keburu lemas" sebelum waktunya. Tak terhitung banyaknya kasus dimana pimpinan politik dan bisnis dibuat frustasi akibat ulah birokrasi yang bekerja dalam logika "kalau memang bisa dipersulit kenapa harus dipermudah" tersebut.Dalam ukuran keterdesakan dari ketiga sektor tersebut, dalam hemat kami, kepemimpinan kaum muda sangat dibutuhkan masuk segera dan lebih banyak ke dalam birokrasi. Birokrasi kita sangat membutuhkan infus darah-darah segar dari kaum muda. Bayangkan nilai startegis birokrasi dengan jumlah pegawainya yang berjumlah sekitar 4 juta orang! Sungguh mereka dapat membuat perubahan dipercepat atau diperlambat bahkan dengan hanya satu hal: selera birokrasi! Disinilah pentingnya di-review tentang aturan kepegawaian dalam birokrasi Indonesia sehingga memungkinkan tampilnya pemimpin-pemimpin muda yang memiliki kualitas, kapasitas, dan talenta yang lebih baik.Kemudian, kepemimpinan kaum muda juga membutuhkan prasyarat berikutnya untuk dapat tampil: sikap legowo dari kaum tua. Sikap legowo ini semacam "restu" yang mempersilahkan kaum muda untuk tampil sehingga kepemimpinan yang muda dapat berlangsung kondusif. Mendapatkan sikap legowo bukan perkara yang mudah namun juga tidak terlalu sulit. Tidak mudah karena yang tua merasa lebih, lebih tahu, lebih berpengalaman, lebih pantas, dan lebih berhak. Tidak sulit karena yang tua juga masih memiliki obyektifitas ketika yang muda menunjukkan kualitas, kapasitas, talenta, dan -- ini terkadang yang lebih penting-- kesantunan. Wacana Presiden MudaSemoga ini bukan karena "Obama Effect". Melainkan didasarkan atas kebutuhan riil bangsa Indonesia. Dalam wilayah ini bisa terdapat perdebatan yang seru dan syarat kepentingan. Unsur subyektifitas mudah masuk dalam hal ini, apalagi menjelang Pemilu 2009. Terlepas dari faktor tersebut, wacana ini layak untuk dikembangkan paling tidak karena beberapa hal berikut: pertama, industri kepemimpinan nasional saat ini masih "sakit" akibat diberangus oleh sistem Orde Baru yang sentralistik dan monolitik. Sebagian besar pimpinan nasional saat ini hampir di setiap sektor bukanlah tipikal pemimpin yang mengakar melainkan model "jenggot", menggantung ke atas karena sistem yang mengkondisikan demikian. Kini setelah reformasi dan demokratisasi, dibutuhkan yang mengakar bukan yang menggantung. Wacana presiden muda adalah "warning" pada setiap pemimpin --dengan simbol tertingginya presiden-- untuk menghadirkan gaya kepemimpinan yang berbeda tersebut. Kedua, Indonesia adalah negara besar (dalam arti potensi dan sumber daya) yang membutuhkan energi besar dari para pemimpinnya --dengan simbol tertingginya presiden-- agar optimalisasinya maksimal. Presiden atau pemimpin yang muda tentunya memiliki energi yang lebih besar daripada yang tua. Dalam hal ini wacana presiden muda merupakan "warning" kepada setiap capres atau pemimpin bahwa "pengalaman" dan 'pengetahuan" tidaklah lebih berarti apabila tidak dapat direalisasikan akibat keterbatasan energi sang presiden.Terakhir, untuk lahirnya presiden atau pemimpin nasional yang kuat dan berwibawa dibutuhkan proses yang panjang dan berliku. Tidak instan dan asalan. Dalam hal ini wacana presiden muda berarti suatu "foreplay" atas proses yang panjang dan berliku tersebut. Wacana tersebut seolah membangunkan orang, terutama bagi yang berminat, untuk memulai segera perjalanan panjang tersebut dalam suatu perspektif bahwa itu mungkin baginya. Wallahu a' lam

Tidak ada komentar: