Jumat, 26 Desember 2008

Tentang Dualisme KNPI

Oleh Arip Musthopa
Tulisan ini berpijak pada asumsi realitas, terdapat dua kepemimpinan DPP KNPI periode 2008-2011 yang dihasilkan oleh dua Kongres KNPI XII yakni versi Ancol dan Bali, Oktober 2008. Sebagai komponen bangsa yang mengikuti secara aktif proses terbentuknya dualisme tersebut, penulis ingin merefleksi terjadinya dualisme tersebut dan menyumbangkan setitik gagasan untuk jalan keluarnya.


Dalam asumsi 'husnuzan', tidak ada yang menginginkan dualisme DPP KNPI, tidak juga yang terlibat dalam konflik. Cuma 'salah kelola' yang menjadi penyebab perpecahan. Sebagai organisasi tempat berhimpun organisasi kepemudaan, KNPI semestinya menjadi perekat keanekaragaman pemikiran, afiliasi politik, dan aliran kepercayaan pemuda Indonesia. Fungsi perekat KNPI yang kedodoran inilah yang kemudian disesalkan, apalagi terjadi di tengah perayaan 80 tahun Sumpah Pemuda sehingga menjadi anomali sejarah "merayakan persatuan dengan perpecahan".

Inilah titik nadir dari perjalanan sejarah KNPI. Tidak ada yang jaya dalam konflik semacam ini karena logika benar-salah ataupun konstitusional-non konstitusional menjadi "melar" tergantung subyektifitas dan kepentingan. Adu kuat itulah kuncinya, seperti kata Adam Smith "survival of the fittest", yang kuat dialah yang bertahan. Apa yang dapat kita pelajari dari peristiwa "memilukan" ini?

Inkompetensi, Intervensi, dan Kontradiksi

Penulis memandang perpecahan sebagai permukaan atau output dari sesuatu yang lebih fundamental. Istilah tradisionalnya, "tidak ada asap bila tidak ada api". Tentu ada faktor penggerak terjadinya perpecahan tersebut atau kata Marx, 'basis material'-nya. Paling tidak tiga hal berikut. Pertama, inkompetensi dari kepemimpinan DPP KNPI periode 2005-2008. Kepemimpinan yang tidak fokus mengurusi DPP KNPI dan pemuda Indonesia yang dikombinasikan dengan lemahnya pengalaman kepemimpinan pucuk pimpinan DPP KNPI adalah penyebab dari sisi ini. Wujud nyatanya menjadikan keterlibatan di DPP KNPI sebagai batu loncatan bagi karier politik dan bisnis yang lebih baik. Tingginya kepentingan dari pimpinan dan pengurus DPP KNPI bak anak panah yang mengarah ke segala penjuru mata angin yang merobek cakrawala yang memayungi keutuhan DPP KNPI.

Kedua, Intervensi. Tidak dapat dipungkiri bahwa salah arah 'intervensi' dari kementerian pemuda dan olahraga menjadikan permasalahan menjadi lebih akut. Konflik menjadi lebih sulit diatasi ketika salahsatu pihak merasa di-back up oleh kekuasaan pemerintah, meski kita tahu pucuk pimpinan nasional tidak menghendaki demikian. Akibatnya, semangat perlawanan yang dibalut keyakinan bahwa "saatnya pemuda tidak mengembek kepada kekuasaan" menjadi energi tersendiri yang mengkristal. Dalam proses menuju perpecahan, sebetulnya penulis sempat mengusulkan suatu formula untuk menghindari perpecahan dengan 'Kongres dibuka di Ancol dan Berakhir di Bali' namun sayang dinding-dinding ego dan kepentingan sesaat terlalu tebal untuk dapat ditembus.

Ketiga, Kontradiksi. Organisasi yang sehat tidak dibangun di atas fundamen yang saling kontradiksi. Kontradiksi yang paling kentara adalah KNPI yang hakikatnya adalah organisasi dari, oleh, dan untuk pemuda Indonesia namun diurus dan ditentukan oleh suara 'orang tua'. Maksudnya, sudah lazim diketahui bahwa para pengurus DPP KNPI dan pimpinan OKP banyak yang berusia di atas 40 tahun. Padahal idealnya secara sosiologis dan seperti yang diusulkan dalam draft RUU Kepemudaan yang disusun Kemenegpora, usia pemuda adalah maksimal 35 tahun. Kontradiksi berikutnya adalah OKP yang berhimpun di dalam tubuh KNPI tidak semuanya memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh konstitusi KNPI itu sendiri. Tidak semua OKP yang berhimpun dan memiliki suara dalam voting di Kongres KNPI adalah organisasi yang lingkupnya nasional. Apalagi besar dan kecilnya OKP tidak dihargai dengan prinsip pembagian suara yang proporsional.

KNPI Baru

Dualisme KNPI tidak layak untuk dipertahankan, kecuali memang KNPI tidak lagi dibutuhkan atau lebih baik didirikan organisasi kepemudaan tempat berhimpun yang baru. Sejauh ini masing-masing pihak masih menggunakan logika adu kuat untuk memperoleh pengakuan dan ingin diakui sebagai satu-satunya OKP yang sah. Dalam hemat penulis, selama logika ini yang masih dijalankan, tidak akan ada penyelesaian atas dualisme ini dan keduanya akan menjadi abu, bukan arang seperti yang mereka harapkan.

Dualisme ini semestinya tidak didekati dari penafsiran 'kami yang paling benar atau konstitusional' karena konstitusi KNPI sendiri tidak mampu mewadahi konflik semacam ini. Ada celah konstitusional yang memungkinkan banyak penafsiran konstitusi sehingga terdapat plus-minus dari sudut pandang ini.

Dualisme dapat diatasi dan terjaminkan tidak akan terulang lagi di kemudian hari apabila elit pemuda Indonesia saat ini mau menurunkan egonya dan membenahi KNPI secara fundamental sehingga dapat tercipta KNPI Baru yang mendekati idealitas. Idealnya KNPI sesuai hakikatnya sebagai organisasi pemuda, dihuni oleh pemuda (saja) dengan maksimal usia 35 tahun. Dihuni oleh OKP yang bersifat nasional, memiliki cabang setingkat provinsi di lebih dari 50% jumlah provinsi dan hal tersebut terbukti dengan adanya aktifitas yang kontinyu dan regenerasi yang normal, tidak hanya mengandalkan kop surat, stempel, dan papan nama. Pembagian hak suara didasarkan pada asas proporsional yakni tergantung besar-kecilnya OKP tersebut dan agar terjaga kemurnian dan semangat awal pendirian KNPI maka OKP pendiri harus diberikan hak keistimewaan tertentu seperti hak veto di PBB atau golden share di perusahaan.

Tanpa perubahan yang fundamental dan memaksakan logika adu kuat mungkin dapat menyelesaikan masalah secara artifisial tapi tidak secara substansial dan sangat mungkin perpecahan akan terulang dalam waktu dekat, bahkan berturut-turut karena yang lemah tidak akan sepenuhnya mati. Generasi muda di KNPI, OKP dan Kemenegpora sekarang dihadapkan pada dua pilihan sejarah: membiarkan logika adu kuat berlanjut dan konflik berlarut atau turunkan ego dan bangun KNPI Baru? Saya memilih yang kedua, bagaimana dengan anda? Wallahu a'lam bishshawab.

Tidak ada komentar: