Senin, 17 Maret 2008

Kapitalisme, Domba, Meja Panjang

Oleh Muhammad Chatib Basri
Sejarah kapitalisme di Eropa mungkin adalah sejarah tentang domba danmeja panjang. Saya teringat satu risalah lama, mungkin ditulis olehOnghokham, tentang binatang ternak di Eropa dan Jawa beberapa abad lalu.

Di Eropa, ternak terpenting adalah domba, yang membutuhkankonsentrasi kapital yang besar (seperti lahan atau tanah) untukmenggembalakannya. Sedangkan di Jawa, konon, ternak utama adalah ayam, yang tak perlu konsentrasi kapital atau tanah yang luas. Sejarah kapitalisme barangkali juga sejarah tentang meja panjang.Cobalah lihat akar kata bank. Dalam bahasa Prancis, bank ditulis denganbanque (meja panjang yang berisi makanan), atau banca dalam bahasaItalia. Kata ini pun ada hubungannya dengan bangkrut, berasal dari katabanca rotta (Italia), yang artinya meja yang rusak (Inggris : rotten)karena kesalahan si pemilik meja itu sendiri. Tapi mengapa kemudian bank dikaitkan dengan meja panjang? Konon, ituadalah meja yang digunakan oleh orang Yahudi untuk mencatat aktifitaspeminjaman uangnya. Orang datang kepada lintah darat yang duduk didepan sebuah meja panjang. Saya tak tahu seberapa benar argumen ini, tapi marilah kita tengokperkembangan kapitalisme di Eropa. Di abad-abad lalu, kita melihatsebuah Eropa yang membenci duniawi. Aristoteles, misalnya, menunjukkanbahwa kebebasan adalah sebuah konsep tentang sebuah wilayah yangswasembada. Menjadi kaya, Aristoteles, adalah sesuatu yang boleh, tapimenjadi kaya melalui aktifitas dagang adalah membaha-yakan. Itu sebabnya mereka yang terlibat aktif dalam perdagangan untukmenghidupi diri mereka, dalam sebuah rezim yang baik, tidak boleh punyaperan dalam politik. Dan rezim yang baik adalah rezim yang diatur olehwarga terbaiknya dan memiliki nilai yang luhur. Karena itu warga yang baik adalah warga yang tak hidup dengan cara yangvulgar atau kasar seperti jalan hidup kaum pedagang. Dari konsep initampak bahwa dagang adalah kegiatan yang mencurigakan, yang menurunkanharkat. Pendapat Aristoteles ini juga sejalan dengan pandngan gerejawaktu itu, yang berlawanan diametral dengan pandangan para kapitalis. Kita mungkin teringat Wall Street, film Oliver Stone di akhir 1980 an,dimainkan Michael Douglas, yang memerankan Gordon Gekko. Gekko adalahsosok lantang : tamak adalah baik. Sebuah kontradiksi sempurna denganajaran Aristoteles atau ajaran agama-agam. Wall Street tentu sajasebuah film dengan pesan klasik, bahwa yang baik akan menang dan yangtamak akan kalah. Namun, dalam film ini dilukiskan dengan tajambagaimana ketamakan mendorong perilaku manusia. Membungakan uang atau riba dilarang oleh teologi Kristen, jauh sebelumIslam melarang riba. Dalam Kristen, pada awalnya orang diijinkanmeminjamkan uang kepada ”orang asing” tapi tidak kepada ”saudara”sendiri. Pandangan ini sejalan dengan pandangan proteksionis dan kaummerkantilis, yang mementingkan ”kelompok kita” dan mencoba mengambilkeuntungan dari pihak ”asing”. Dengan larangan membungakan uang bagi umat Kristen itu, yang tersisaadalah kelompok Yahudi. Lalu dibuatlah aturan : orang Kristen dilarangmembungakan uang, orang Yahudi tidak dilarang. Inilah yang kemudianmembuat Yahudi menguasai sektor ekonomi dan menjadi kaya. Larangan itumembuat kaum Yahudi kemudian diasosiasikan dengan aktifitas membungakanuang dan masuk dalam aktifitas ekonomi yang terlarang untuk orangKristen. Masyarakat Yahudi di Eropa yang semula hidup dari pertanian dankerajinan berubah menjadi masyarakat pedagang, terutama berdagang uang.Gereja Katolik kemudian memaksa komunitas Yahudi meninggalkankepemilikan tanah, dengan dengan cara tak akan membayar sewa tanah yangdimiliki Yahudi. Akibatnya masyarakat Yahudi beralih ke barang-barangberharga-bergerak, seperti berlian dan logam mulia. Dari sisi Yahudi sendiri, cara hidup berdagang sesuai dengan pandanganagama mereka, yang mengajarkan bahwa harus banyak waktu diserahkankepada Tuhan. Dagang dan membungakan uang kurang memakan waktuketimbang bertani, jadi lebih banyak waktu untuk mengabdi Tuhan. Itulah yang menjelaskan mengapa Yahudi kemudian menguasai perekonomiandi Eropa dan menjadi kuat secara politik, karena negara membutuhkanuang mereka untuk diperas. Karena itu masyarakat Yahudi bertindakseolah sebagai penghisap uang, yang kemudian akan dihisap lagi olehkerajaan. Bagaimanapun, Yahudi telanjur menguasai perekonomian Eropa. Benvenuti de Rambaldis de Imola menulis tentang karya termashur Dante,Divine Comedy. Penulis Italia itu berkelakar : mereka membunga-kan uangakan masuk ke neraka, sedangkan mereka yang gagal dalam membungakanuang akan terperosok ke dalam kemiskinan. Riwayat Yahudi di Eropa mungkin mirip dengan sejarah orang Cina diIndonesia. Kelompok Cina dulu tidak diijinkan masuk aktifitas selainekonomi; mereka kemudian berperan besar dalam ekonomi Indonesia. Memang kemudian terjadi pergeseran pandangan. Thomas Aquinas (Katolik)menyatakan uang itu steril dan tak kotor. Calvin (Protestan) berkata,membungakan uang diijinkan sampai lima persen, meski ia tetap mengecammereka yang hidup hanya dari membungakan uang. Dari sinilahtransformasi mulai terjadi. Kita bisa melihat beberapa pendukung pasar. Orang seperti Adam Smithdan Voltaire, misalnya, mengatakan bahwa aktifitas pasar dinilai bukankarena ia membuat orang menjadi lebih kaya, tapi karena memungkinkaneconomic self-interest dianggap kurang berbahaya dibanding upayamengejar hal lain, termasuk fanatisme agama. Voltaire adalah pengecam fanatisme agama, yang dianggap penyebab perangdan pertumpahan darah. Tentu orang bisa beragumen bahwa kapitalisme punmenimbulkan perang. Dan ini benar. Tapi David Friedman punya argumen lain. Menurut dia, ada tiga carauntuk membuat orang lain bersedia melakukan aktifitas yang kitainginkan. Cara pertama adalah cinta. Bila seseorang mencintai oranglain dengan sepenuh hati, maka ia akan melakukan permintaan orang itudengan sukarela. Sayangnya, dalam realitas kita tak bisa mengharapkansemua orang mencintai kita. Karena itu, kata Friedman : love is notenough. Cara kedua adalah paksaan (coercion). Pilihan ini kerap efektif untukmembuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan. Tapi paksaanakhirnya punya batas. Ada biaya yang sangat besar untuk ini. Maka perlucara ketiga : trade. Dalam trade, seseorang akan bersedia melakukanaktifitas bagi kepentingan orang lain, jika kepentingannya jugadiakomodasi oleh orang itu. Dengan kata lain, di sini terjadi pertukaran. Quid pro quo, atau iniuntuk itu. Dalam konteks ini ketika orang merasa bahwa dengan melakukansesuatu ia akan menerima manfaat dari tindakan itu, maka keputusannyauntuk bertindak akan bersifat sukarela. Dan ini sejalan dengan premis dasar libertarian. Selamakepentingan-kepentingan itu berinteraksi, dan masing-masing pihakmelihat keuntungan dari interaksi itu, selama itu pula proses interaksisosial berjalan. Sejarah kapitalisme memang penuh warna. Sebuah sejarah panjang yangmengalami transformasi : dari domba menjadi modal, dari meja panjangmenjadi bank.@

Tidak ada komentar: