Jumat, 14 Maret 2008

Isu Politik dalam Kebijakan Pemerintah tentang Kasus Gubernur Lampung 2002-2006

Oleh Arip Musthopa, SIP

Pendahuluan

Sejak tahun 1999, Indonesia memasuki era otonomi daerah atau desentralisasi.[1] Dimulainya era otonomi daerah ini ditandai dengan disahkannya UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Kedua UU tersebut menggantikan UU No 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan UU No 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Secara praktis, otonomi daerah mulai dilaksanakan secara utuh pada 1 Januari 2001 karena Pemerintah perlu melakukan persiapan untuk implementasi UU No 22 dan UU No 25 Tahun 1999 tersebut.
[1] Desentralisasi sebenarnya bukan hal baru dalam catatan sejarah bumi nusantara. Lebih dari seratus tahun yang lalu, praktek desentralisasi telah kita kenal ketika Pemerintah Belanda tahun 1903 menetapkan suatu Wethoudende Decentralisatie van het Bestuur in Nederlandsch-Indie (Stb.1903/329) atau yang lebih dikenal dengan sebutan Decentralisatie wet (Undang-Undang Desentralisasi) 1903. Kebijakan desentralisasi Pemerintah Belanda untuk Hindia Belanda tersebut kemudian diperkuat dengan dikeluarkannya Decentralisatie Besluit 1904 dan Locale Ordonantie 1905. Serta penyempurnaan Decentralisatie wet pada tahun 1922 melalui Wet op de Bestuurshervorming (Stb 1922/216). Desentralisasi yang diberikan oleh pemerintah kolonial memang merupakan desentralisasi yang terbatas karena tentu saja penuh nuansa kepentingan pemerintah kolonial. Namun demikian fase ini sangat penting sebagai pembelajaran politik (politieke scholing). Sayang sekali semangat desentralisasi ini tidak dikembangkan lebih lanjut namun sebaliknya diberangus oleh Demokrasi Terpimpin Orde Lama dan Orde Baru yang memang bertabiat sentralistis. Lihat Soetandyo Wignjosoebroto, Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia-Belanda: Kebijakan dan Upaya Sepanjang Babak Akhir Kekuasaan Kolonial di Indonesia (1900-1940), Bayu Media Publishing, Malang, 2004, hal 48-49.


Salah satu praktek dari pelaksanaan otonomi daerah yang cukup menyita perhatian adalah pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Pemilihan kepala daerah melalui DPRD tersebut disambut antusias oleh (elit) daerah karena memberikan kewenangan yang besar kepada DPRD untuk melakukan penjaringan bakal calon kepala daerah, menetapkan calon kepala daerah, memilih kepala daerah dan menetapkan calon terpilih kepala daerah. Pemerintah pusat hanya tinggal mengesahkan berdasarkan hasil pemilihan kepala daerah oleh DPRD tersebut.[1] Hal ini berbeda dengan yang terjadi pada masa Orde Baru, dimana DPRD hanya berwenang memilih calon yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat dan calon yang terpilih harus sesuai dengan keinginan pemerintah pusat. Apabila tidak sesuai maka pemerintah pusat tidak akan menetapkan/mensahkannya.[2]
Dengan formasi yang demikian, berarti kebijakan politik untuk memilih kepala daerah telah didesentralisasi kepada daerah melalui DPRD sebagai lembaga legislatif daerah. Pemerintah pusat hanya memiliki kewenangan administratif untuk mengesahkan calon terpilih, asalkan calon maupun kepala daerah terpilih telah memenuhi syarat sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan undang-undang.[3]
Dalam prakteknya, berbagai pemilihan kepala daerah tersebut memunculkan beragam fenomena yang “menarik”, dalam arti bahwa fenomena pemilihan tersebut tidak sepenuhnya berjalan sesuai dengan aturan normatif dan semangat desentralisasi yang ada dalam UU No 22 Tahun 1999 tersebut. Fenomena “menarik” tersebut, seperti yang ditampilkan dalam pemilihan Gubernur di Jawa Tengah, Bali, dan Lampung. Dalam tulisan ini, penulis ingin mengangkat permasalahan Gubernur yang terjadi di Provinsi Lampung dilihat dari isu politik yang terdapat di dalamnya terutama isu politik menyangkut perbedaan kepentingan antara pusat dan daerah yang menyebabkan Pemerintah enggan melaksanakan kewenangan administratifnya untuk mensahkan Gubernur terpilih hasil pemilihan Desember 2002.
Dipilihnya kasus pemilihan Gubernur Lampung didasarkan pertimbangan sebagai berikut: Pertama, kasus pemilihan Gubernur Provinsi Lampung, sejak akhir 2002, merupakan kasus yang terlama sebelum dapat diatasi oleh pemerintah pusat pada 24 November 2006. Kedua, kasus ini berakhir dengan tidak dilantiknya gubernur terpilih dari pemilihan gubernur 30 Desember 2002, yakni Alzier Dianis Thabranie, dan pemerintah pusat tetap mempertahankan Gubernur Syachroedin yang merupakan hasil pemilihan ulang pada 24 Mei 2004 sehingga memunculkan beraneka ragam tafsir hukum dan politik karena Mahkamah Agung mengabulkan gugatan Alzier atas kebijakan pusat yang tidak melantik dia. Ketiga, kasus pemilihan gubernur Lampung merupakan kasus yang paling berdampak terhadap sistem politik dan pembangunan di daerah itu sendiri karena selama kasus berlangsung dan bahkan hingga kini pun setelah kasus selesai, ketegangan politik terus terjadi di Lampung antara pendukung Alzier dan Syachroedin. Keempat, penulis mengikuti kasus ini dengan seksama dari awal ketika penulis menjadi aktivis mahasiswa di Universitas Lampung dan Ketua Umum HMI Cabang Bandar Lampung periode 2002-2003, yang dengan posisi tersebut penulis dapat berinteraksi langsung dengan elit politik Lampung dan memperoleh akses informasi primer dengan tingkat validitas yang dapat dipertanggungjawabkan.

Deskripsi Kasus Gubernur Lampung
Pada tanggal 30 Desember 2002 Provinsi Lampung menyelenggarakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Lampung. Ada lima pasang yang bertarung: Alzier Dianis Thabranie-Ansyorie Yunus dari FPDIP, Jazuli Isa-Mat Amin Kraying dari FPG, Syachroedin ZP-Malhani Manan dari FPPP, Herwan Achmad-Mawardi Harirama dari FPKB, dan Namoeri Anom-Azib Zanim dari FABKU, dan Oemarsono-Syamsuria Ryacudu dari FKK.
Dari 75 anggota DPRD Lampung, ada 73 wakil rakyat yang hadir pada pemilihan tersebut, 2 orang tidak hadir karena sakit. Melalui tiga kali putaran pemilihan akhirnya berhadap-hadapan pasangan Alzier Dianis Thabranie-Ansyorie Yunus versus Oemarsono-Syamsuria Ryacudu. Melalui proses pemilihan yang alot akhirnya pasangan Alzier-Ansyorie unggul dengan memperoleh 39 suara, sedangkan pasangan Oemarsono-Syamsuria memperoleh 33 suara, dan 1 suara sisanya abstain.
Selepas pemilihan hingga hari ini, pasangan Alzier-Ansyorie tidak pernah dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur. Menurut jadwal semestinya mereka dilantik pada 25 Januari 2003. Sebaliknya, pemerintah pusat menggelar pemilihan ulang pada 24 Mei 2004 dan kemudian melantik pasangan Gubernur-Wakil Gubernur Syachroedin ZP-Syamsuria Ryacudu yang dihasilkan dari pemilihan ulang tersebut. Akibat dari masalah ini hingga saat ini ketegangan politik di Lampung terus terjadi antara para pendukung Alzier (DPRD) melawan para pendukung Syachroedin (eksekutif dan PDIP), walaupun tensinya kini mulai menurun sejak Partai Golkar melalui Ketua Umum DPP Partai Golkar menyampaikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa mereka menerima putusan pemerintah pusat untuk tidak melantik Alzier pada 24 November 2006 yang berarti juga mengakui Syachroedin-Syamsuria Ryacudu sebagai Gubernur-Wakil Gubernur Propinsi Lampung periode 2004-2009.
Ada beberapa hal yang menyebabkan Alzier-Ansyorie tidak dilantik:
(1) Sehari sebelum pemilihan, 29 Desember 2002. Mendagri Hari Sabarno pada sore hari mengirim surat kawat No 121/27/2978/SJ tertanggal 29 Desember 2002 yang meminta DPRD Lampung mengklarifikasi tuduhan pidana yang melibatkan Alzier sebelum pemilihan Gubernur. Surat tersebut tidak dibacakan pimpinan DPRD (Abbas Hadisunyoto) sebelum pemilihan dilangsungkan.
(2) Pasangan Alzier-Ansyorie merupakan pasangan calon hasil Rakerdasus PDIP Lampung pada tanggal 8 Oktober 2002 yang kemudian diusulkan ke DPP PDIP untuk disahkan. Sedangkan calon Gubernur yang diinginkan oleh DPP PDIP adalah Oemarsono (Gubernur yang sedang menjabat) dan Wakil Gubernur diserahkan kepada DPD PDIP Lampung. Keputusan ini tertuang dalam SK DPP PDIP No A.06/IN/DPP/XI/2002 tertanggal 30 November 2002. Perbedaan calon antara DPD PDIP Lampung dan DPP PDIP ini kemudian berimbas pada pergantian pimpinan DPRD Lampung (dari Srie Atidah ke Abbas Hadisunyoto) dan pimpinan FPDIP di DPRD. Pergantian ini merupakan kemenangan kelompok pro Alzier-Ansyorie. Ansyorie Yunus sendiri ketika itu merupakan Ketua DPD PDIP Lampung.
(3) Alzier dihadapkan pada delapan tuduhan pidana. Yakni 2 kasus tuduhan penggelapan 500 ton pupuk PT Pusri PPD Lampung (2002), kasus penadah mobil curian Daihatsu Espass (2002), penggunaan gelas ilegal: drs, SE, dan MBA (2002), penipuan cek kososng dan penggelapan ruko (1993), penipuan dan penggelapan perhiasan emas (1993), penadah mobil mewah (2003), dan pencemaran nama baik Ny. Kurniati Muslihat (2003). Atas tuduhan tersebut Alzier diburu Mabes Polri untuk dikenai tahanan. Jum’at 18 April 2003 Alzier mendatangi Polda Lampung untuk menjalani pemeriksaan atas kasus-kasus tersebut. Setelah melalui pemeriksaaan maraton, Sabtu 19 April 2003 Alzier dibawa paksa melalui Helikopter dari Mapolda Lampung ke Mabes Polri. Selanjutnya 20 Agustus 2003, pemeriksaan terhadap Alzier dinyatakan selesai. Pada selasa 30 September 2003 berkas 2 perkara Alzier dari Kepolisian dinilai lengkap oleh Kejaksaan Tinggi, yakni 1 perkara dugaan penggelapan 500 ton pupuk milik PT Pusri dan 1 perkara penggunaan gelar ilegal. Melalui proses persidangan yang panjang, pada Kamis 12 Februari 2004 Alzier divonis hukuman sembilan bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun untuk kasus pupuk dan denda Rp5 juta subsider dua bulan penjara untuk kasus penggunaan gelar sarjana palsu.
Pada 1 Desember 2003 Mendagri Hari Sabarno mengeluarkan SK Mendagri No 161.27/598/Tahun 2003 tentang pembatalan hasil pemilihan Gubernur Lampung tanggal 30 Desember 2002. Serta SK No 121.27/1.989/SJ tertanggal 1 Desember 2003 tentang Pemilihan Ulang Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung paling lambat Maret 2003 sebelum pemilihan legislatif April 2004. Alasannya, ada prosedur yang dilanggar/tidak dilakukan. Pada 2 Desember 2003 keluar Keppres No 262/M/2003 yang mengangkat Tursandy Alwi (pejabat di Depdagri) sebagai Pejabat Gubernur Lampung.
Setelah PDIP melakukan pergantian antar waktu anggota DPRD Lampung dan terjadi pergatian pimpinan DPRD Lampung dari Abbas Hadisunyoto kepada Nurhasanah, maka DPRD Lampung menggelar pemilihan ulang Gubernur/Wakil Gubernur pada 24 Mei 2004 dengan dihadiri 67 anggota. Dalam pemilihan ulang initerpilih pasangan Syachroedin ZP-Syamsuria Ryacudu sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, mengalahkan pasangan Oemarsono-M. Ibrahim BS dengan perolehan suara cukup mencolok, 49 versus 17 suara. Syachroedin-Syamsuria dikukuhkan melalui Keppres No 71/M/2004 tertanggal 1 Juni 2004.
Merasa hak-hak politiknya tidak dikabulkan oleh pemerintah pusat, Alzier mengajukan SK pembatalan Mendagri ke PTUN Jakarta. Pada 13 Mei 2004, PTUN jakarta memerintahkan tergugat (Mendagri) mencabut SK No 161.27/598/2003 sekaligus menerbitkan surat keputusan tentang pengusulan pengesahan pasangan gubernur-wakil gubernur hasil pemilihan tanggal 30 Desember 2002 sebagai Gubernur/Wakil Gubernur Lampung periode 2003-2008. Alasan PTUN adalah bahwa alasan pembatalan pelantikan keduanya tidak jelas, tidak tegas, dan tidak limitatif sebagaimana seharusnya suatu keputusan. Surat pembatalan pelantikan tidak merinci dan tegas, jelas, dan limitatif pelaksanaan pemilihan gubernur/wakil gubernur yang mana atau bagian mana yang tidak memenuhi prosedur. Surat pembatalan juga tidak menegaskan peraturan perundang-undangan mana yang tidak dipenuhi.
Mendagri kemudian mengajukan banding, sambil banding diajukan, Mendagri tetap memproses pemilihan ulang gubernur/wakil gubernur Lampung. Kemudian, PTTUN pada tanggal 19 Oktober 2004 mengeluarkan putusan yang menguatkan putusan PTUN yakni mengabulkan gugatan Alzier-Ansyorie. Pasca putusan ini, Mendagri M. Ma’ruf AR mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.[4]
Selanjutnya pada 17 Juni 2004 Mahkamah Agung memenagkan gugatan Alzier dengan menguatkan putusan PTUN dan PTTUN Jakarta. Putusan kedua pengadilan di bawah MA itu membatalkan dua Surat Keputusan Mendagri tertanggal 1 Desember 2003. Menyikapi putusan MA tersebut, DPRD Lampung menggelar Rapat Paripurna DPRD minus anggota DPRD dari PDIP yang tidak setuju apabila DPRD harus menyikapi putusan MA. Dalam Rapat Paripurna 14 Juli 2005 tersebut DPRD Lampung menyatakan tidak mengakui Gubernur Syachroedin-Wakil Gubernur Syamsurya Ryacudu dan memohon Presiden lewat Mendagri mencabut Keppres pengangkatan Syachroedin-Syamsurya dan melantik Alzier-Ansyorie. Namun demikian, pemerintah tidak juga melakukan eksekusi atas putusan Mahkamah Agung tersebut. Hal ini mengakibatkan konflik politik antara pendukung Alzier versus Syachroedin yang kemudian menghambat kelancaran jalannya pemerintahan di Provinsi Lampung. DPRD Lampung (sebagian besar) tidak ingin melakukan pembahasan Anggaran Biaya Tambahan (ABT) APBD 2005 dan menolak melakukan pembahasan APBD tahun 2006. Kalaupun dilakukan usaha pembahasan melalui rapat DPRD yang dipimpin oleh Pimpinan DPRD dari FPDIP, Nurhasanah, anggota rapat selalu tidak memenuhi kuorum sehingga hasilnya tidak dapat disahkan oleh Mendagri. Ketegangan ini terus berlanjut hingga 24 Nopember 2006 Ketua Umum DPP Partai Golkar Jusuf Kalla berhasil melunakkan sikap Alzier dan Partai Golkar Lampung[5] agar dapat menerima kebijakan pemerintah yang telah melantik dan mengakui Gubernur Syachroedin ZP.

Pendekatan Kekuasaan untuk Pembuatan Keputusan : Elitisme
Model proses kebijakan elitis berpendapat bahwa kekuasaan terkonsentrasi di tangan segelintir orang atau kelompok. Menurut model ini pembuatan keputusan adalah proses yang dilaksanakan demi keuntungan elit-elit tersebut. Sebagai sebuah model pembuatan keputusan, tujuan elitisme didasarkan pada analisis terhadap cara dunia riil berjalan. Dikatakan bahwa dalam dunia riil ada pihak-pihak yang berada di atas yang memegang kekuasaan dan ada “massa” yang tak memegang kekuasaan. Model ini berasal dari ilmu sosial modern, yakni berakar pada dua karya ahli teori Italia: Mosca dan Pareto.[6]
Mosca mengatakan bahwa demokrasi dapat dilihat sebagai sebentuk politik dimana elit-elit bersaing untuk mendapatkan suara dari penduduk guna mengamankan legitimasi kekuasaan elit. Ide Mosca dan Pareto menjadi basis untuk merumuskan pendekatan elitis selanjutnya. Robert Michels (1915) mengembangkan pendekatan dalam studi partai politik dimana ia mengemukakan bahwa ada “hukum besi oligarki” yang berlaku di dalam organisasi. Di sepanjang waktu, elit-elit organisasi menciptakan kepentingan dan tujuan sendiri yang berbeda dengan tujuan dan kepentingan anggota organisasi.[7]
Garis perkembangan lain dalam pendekatan elit adalah garis yang dikemukakan oleh Lasswell (1936) yang juga mengemukakan pandangan bahwa: “studi politik adalah studi tentang pengaruh dan orang-orang yang berpengaruh ....orang-orang yang berpengaruh adalah orang-orang yang mendapatkan paling banyak...Orang-orang yang mendapatkan paling banyak adalah kaum elit, sisanya adalah massa.” (Lasswell, 1936: 13).[8]

Analisa Kasus

Melihat uraian kasus di atas, nampak bahwa aspirasi PDIP Lampung yang dihasilkan melalui Rakerdasus PDIP Lampung sebagai aspirasi daerah, aspirasi anggota tidak ditanggapi secara baik oleh DPP PDIP. Rekomendasi Rakerdasus yang memberikan suara terbanyak pada Alzier Dianis Thabranie ditolak mentah-mentah oleh DPP PDIP yang lebih menginginkan calon gubernur yang maju dari Fraksi PDIP di DPRD Lampung adalah Oemarsono, gubernur incumbent. Keputusan pusat (Pemerintah dan DPP PDIP) yang demikian menandakan bahwa elitisme kuat bercokol dan mendominasi perspektif mereka dalam pengambilan keputusan. Sehingga menandakan bahwa elit pusat (pemerintah/DPP PDIP) memiliki kepentingan tertentu yang tidak sama atau tidak dapat diakomodasi oleh Alzier. Sikap DPP PDIP yang tidak menginginkan Alzier sebagai calon Gubernur Lampung berimplikasi pada penolakan mengangkat dan melantik Alzier sebagai Gubernur Lampung periode 2003-2008 meskipun dia terpilih dengan perolehan suara cukup meyakinkan.
Kebijakan pemerintah pusat juga menimbulkan persepsi bahwa pemerintah pusat tidak tulus dalam memberikan otonomi daerah. Karena penentuan kebijakan yang strategis di daerah tetap saja harus sesuai dengan yang diinginkan oleh pemerintah pusat/pimpinan partai di tingkat pusat. Otonomi daerah untuk memilih dan menentukan kepada daerahnya sendiri sesuai semangat UU No 22 tahun 1999 sebagai landasan hukum dilaksanakannya pemilihan kepala daerah oleh DPRD tersebut menjadi semu maknanya. Karena toh, meski diselenggarakan oleh daerah secara otonom, calon yang harus diajukan dan yang harus jadi adalah yang dikehendaki oleh pemerintah pusat/pimpinan partai di tingkat pusat. Selain itu, tidak bisa! (paling tidak yang nampak dalam kasus di Lampung).
Kesalahan prosedur yang diajukan oleh pemerintah dalam surat pembatalannya tidak cukup beralasan karena kesalahan prosedur yang disampaikan tidak substansi, tidak jelas, dan tidak kuat untuk dijadikan alasan. Pendapat ini bahkan telah dikuatkan oleh putusan PTUN, PTTUN, dan putusan Mahkamah Agung. Namun demikian, pemerintah tetap tidak bergeming atas sikapnya. Karena yang subtansi bagi pemerintah pusat bukan apakah prosedurnya telah dengan sama persis dan tepat diikuti atau tidak, melainkan mereka tidak menginginkan Alzier sebagai Gubernur Lampung, dengan alasan yang tidak pernah diungkapkan secara terbuka kepada publik.
Kalaupun masalah dakwaan hukum pidana terhadap Alzier dijadikan alasan, bukankah seorang Gubernur juga dapat diadili ? Bukankah justru apabila seorang Gubernur diperiksa dan diadili akan meningkatkan prestise penegakan hukum; dibandingkan dengan mengadili seorang calon gubernur yang menang seperti Alzier yang sejak awal pencalonan tidak disetujui oleh partai penguasa, sehingga malah memunculkan persepsi bahwa penegakan hukum yang dilakukan bukan untuk keadilan dan tegaknya hukum melainkan untuk memuluskan agenda politik. Akibat negatifnya malah lebih meluas lagi karena merusak upaya reformasi di bidang hukum, yakni menegakkan tatanan hukum dengan logika dan obyektifitasnya sendiri, yang semestinya dihormati dan ditegakkan serta tidak diintervensi oleh kepentingan politik kekuasaan.
Lantas agenda apakah dari pemerintah pusat/partai penguasa yang dapat menjelaskan kenapa pemerintah pusat (yang dikuasai PDIP) enggan menggunakan kewenangan administratifnya untuk melantik Gubernur Lampung terpilih, Alzier? Jawaban atas pertanyaan ini lah yang merupakan dimensi atau isu politik di balik keputusan pusat yang tidak menginginkan Alzier sebagai Gubernur Lampung. Dalam politik, agenda politik tidak akan diungkapkan melalui penjelasan resmi. Namun apabila melihat pola kebijakan PDIP dalam pemilihan gubernur di Jawa Tengah dan Bali yang waktunya tidak berjauhan dari pemilihan gubernur di Lampung dapat ditemukan benang merah bahwa PDIP cenderung mengajukan calon gubernur dari incumbent. Menurut informasi yang diperoleh penulis dari lapangan, karena DPP PDIP lebih percaya kepada mereka (incumbent) dalam rangka memperoleh kemenangan di pemilu legislatif dan eksekutif tahun 2004 dibandingkan dengan calon lain mengingat mereka telah “mencapkan kukunya” selama lima tahun pemerintahannya dan memiliki “cukup logistik” untuk membantu PDIP memenangkan Pemilu 2004. Di dua daerah tersebut (Jawa Tengah dan Bali), DPP PDIP juga memperoleh perlawanan dari kadernya yang merasa lebih berhak diajukan oleh DPP PDIP karena merupakan kader partai dan bahkan pimpinan di struktur PDIP di daerah. Namun perlawanan tersebut mereda karena DPP PDIP berhasil membuktikan bahwa pilihannya tepat dengan memenangkan pemilihan gubernur. Lain halnya yang terjadi di Lampung. Calon yang diajukan oleh pimpinan partai di pusat justru akhirnya tidak dapat diajukan Fraksi PDIP di DPRD Lampung karena perlawanan Alzier, dan akhirnya juga terbukti kalah ketika Oemarsono (calon yang didukung DPP PDIP) tetap maju melalui fraksi lain.
Pertimbangan lain dari DPP PDIP, menurut informasi yang penulis peroleh di lapangan, karena Alzier memiliki citra yang kurang positif sebagai politisi preman dan memiliki sejumlah kasus pidana/perdata, meskipun tidak pernah terbukti di pengadilan sebelumnya. Citra Alzier yang kurang positif dimata publik dinilai kontraproduktif terhadap upaya PDIP mempertahankan simpati rakyat terhadap PDIP pada Pemilu 2004.[9] Penting untuk diketahui bahwa Alzier sebelumnya pernah mencalonkan diri untuk calon Bupati Lampung Selatan pada pemilihan Bupati Lampung Selatan tahun 2000 dari Fraksi PDIP di DPRD Lampung Selatan. Saat itu, Alzier hampir menang namun sebelum pemilihan selesai terjadi chaos. Dalam pemilihan ulang Alzier kalah oleh Zulkifli Anwar yang diajukan oleh Partai Golkar. Sebelum pemilihan ulang dilakukan, publik dikejutkan dengan pemberitaan di media massa bahwa Alzier diduga terlibat dalam kasus penadahan kendaraan mewah hasil selundupan dan sejumlah kasus lainnya. Pemberitaan inilah yang merubah peta dukungan suara terhadap Alzier sebagai calon bupati.[10]
Diungkapnya masalah hukum Alzier kepada publik pasca pemilihan Gubernur tahun 2002 yang disusul dengan proses peradilan terhadap Alzier, dalam hal ini tentu karena ingin membuktikan bahwa keputusan pusat untuk tidak mendukung dan melantik Alzier adalah berdasarkan moral, sehingga kebijakan tersebut mendapatkan dukungan moral dari publik. Namun publik nampaknya terbelah dua antara yang menilainya tepat dan yang menilainya telah terlambat yang juga mamaknainya sebagai upaya politisasi, tidak lagi semata moral. Keputusan pusat yang tidak merestui pencalonan Alzier dan tidak melantiknya ketika terpilih telah mengakibatkan munculnya masalah yang lebih kompleks, yang terus berlarut-larut hingga sampai hampir empat tahun konflik antara pendukung Alzier versus pendukung Syachroedin ZP maupun ketegangan antara pusat dan daerah. Konflik yang terlanjur berlangsung lama, walaupun berhasil diatasi toh akan tetap meninggalkan dampak yang akan memiliki efek lama dalam konteks politik Lampung yang hingga kini masih terasa.

Penutup

Masalah gubernur Lampung telah berhasil diselesaikan berkat campur tangan Ketua Umum DPP Partai Golkar yang juga Wakil Presiden pada 24 November 2006 setelah terkatung-katung hampir selama 4 tahun. Namun efeknya akan terus berlanjut terhadap perpolitikan Lampung. Semuanya karena kebijakan pusat yang memaksakan calon gubernur sesuai dengan keinginannya karena kepentingan politik menjelang Pemilu 2004. Semestinya pusat (pemerintah/PDIP) lebih bijak dalam masalah ini sehingga tidak ada akibat buruk seperti yang saat ini terjadi.


Daftar Pustaka

Ariansyah, dkk., Alzier Suksesi Masa Transisi, Sped, Bandar Lampung, 2004.

Soetandyo Wignjosoebroto, Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia-Belanda: Kebijakan dan Upaya Sepanjang Babak Akhir Kekuasaan Kolonial di Indonesia (1900-1940), Bayu Media Publishing, Malang, 2004.

Wayne Parsons, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktek Analisis Kebijakan, penerjemah Tri Wibowo Budi Santoso, Kencana, Jakarta 2006.


[1] UU No 22/1999 pasal 18 menyebutkan bahwa DPRD mempunyai tugas dan wewenang: (a) memilih Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota; (c) mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, atau Walikota/Wakil Walikota.
[2] Lihat Undang-Undang No 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah.
[3] Lihat UU No 22/1999 pasal 33
[4] Uraian dari awal hingga bagian ini tentang kronologis kasus Pilgub Lampung disarikan dari buku Ariansyah, dkk., Alzier Suksesi Masa Transisi, Sped, Bandar Lampung, 2004. Kecuali tentang penyelesaian kasus yang dapat dilihat di media massa lokal (Lampung Post dan Radar Lampung) maupun media massa nasional pada 25 November 2006.
[5] Setelah tidak kunjung dilantik dan melihat posisi politik yang tidak lagi memungkinkan di PDIP, Alzier hijrah ke Partai Golkar dan pada Musda Partai Golkar Lampung pada tahun 2004, Alzier berhasil menjadi Ketua DPD Partai Golkar Lampung. Dari sinilah mulai konflik gubernur ini menyeret-nyeret Partai Golkar ke dalamnya, yang sebelumnya merupakan konflik internal PDIP. Selanjutnya, karena posisi Partai Golkar yang terbesar di DPRD Lampung, posisi Ketua DPRD Lampung diduduki oleh Indra Karyadi dari Partai Golkar. Posisi politik yang demikian memungkinkan Partai Golkar mengkondisikan sikap yang saling berhadap-hadapan antara DPRD dan Gubernur.
[6] Wayne Parsons, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktek Analisis Kebijakan, penerjemah Tri Wibowo Budi Santoso, Kencana, Jakarta 2006, hal 251
[7] Ibid.
[8] Ibid, hal 252
[9] PDIP Lampung berhasil memperoleh suara terbanyak pada Pemilu 1999 sehingga PDIP memiliki jumlah anggota terbanyak di DPRD Lampung. Prestasi ini ingin dipertahankan dan ditingkatkan pada Pemilu 2004. Hal ini penting karena Ketua Umum DPP PDIP Megawati merupakan Presiden RI incumbent yang menjadi calon Presiden RI pada pemilu 2004.
[10] Tentang masalah ini dapat dilihat di Lampung Post yang memuat liputan pemilihan Bupati Lampung Selatan pada tahun 2000.

Tidak ada komentar: