Senin, 17 Maret 2008

Democratizing Globalization

Oleh Arip Musthopa

Dalam bukunya Making Globalization Work (Penguin Books, 2006), Joseph E. Stiglitz makin mengukuhkan karakternya yang memiliki perspektif yang tajam dan kritis terhadap globalisasi. Namun Stiglitz jauh dari sikap yang anti globalisasi, melainkan ia mengajukan berbagai pemikiran maju yang diharapkan menjadi solusi atas berbagai isu mendasar dalam globalisasi seperti kemiskinan, ketidakadilan, dan demokrasi. Bagi Stiglitz, globalisasi telah membawa suatu “unprecedented benefits to all”. Namun demikian, globalisasi harus terus dikritik dan harus di “remake” sehingga ia menjadi lebih dekat kepada apa yang ia janjikan.

Stiglitz menyoroti secara serius permasalahan ‘inequality’ (ketidakadilan/ kesenjangan) yang terus meningkat, khususnya dalam hal ekonomi. Isu seputar masalah ini adalah tentang ‘jobs’ (pekerjaan) dan tenaga kerja, produksi dan produktivitas, serta ‘income’, modal, dan ‘outsourcing’. Secara khusus, Stiglitz mengupas tentang outsourcing yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan Amerika ke India dan China. Menurutnya, fenomena outsourcing bukan hanya tentang upaya untuk meminimalisasi biaya produksi dan berapa jumlah tenaga kerja yang di-outsourced namun sudah mengakibatkan kekhawatiran orang-orang Amerika tentang pekerjaan dan bahkan dapat mengakibatkan gap antara supply dan demand tenaga kerja di Amerika Serikat yang bisa menyebabkan masalah yang lebih besar. Dalam periode tahun 2001-2004 saja, akibat outsourcing Amerika kehilangan 2,8 juta pekerjaan di sektor manufaktur.
Ulasan Stiglitz tentang peningkatan ketidakadilan dan fenomena outsourcing dalam tulisannya ini seolah ingin menunjukkan bahwa globalisasi bukan hanya memukul developing countries namun juga negara maju seperti Amerika Serikat. Karena fenomena outsourcing bagaimanapun bermuka dua, yakni keuntungan dan kerugian sekaligus. Bagi negara industri maju, paling tidak ada 3 jalan merespon tantangan globalisasi dalam masalah ini : pertama, mengesampingkan permasalahannya dan menerima peningkatan ‘inequality’; misalkan yang diajukan proponen teori trickle-down economics). Kedua, menolak globalisasi yang fair (adil). Sikap yang kedua ini berarti globalisasi merupakan momentum bagi Amerika dan Eropa menggunakan kekuatan ekonomi mereka untuk memastikan ‘rules of the game’ agar globalisasi menguntungkan mereka secara permanen –-paling tidak selama yang memungkinkan untuk itu. Baik yang pertama maupun yang kedua, bagi Stiglitz adalah ‘not working’ dan ‘morally wrong’ dan secara ekonomi maupun politik ‘unviable’. Selanjutnya Stiglitz merekomendasikan sikap yang ketiga, yakni ‘coping with globalization and reshaping it’. Dalam sikap yang ketiga ini, negara-negara industri maju hanya memerlukan sejumlah kebijakan dalam rangka upaya penyesuaian.
Stiglitz selanjutnya mengupas tentang terjadinya ‘democratic deficit’ dalam lembaga-lembaga internasional seperti IMF, WTO, dan World Bank. Hal ini ditunjukkan dengan tidak berjalannya prinsip dan mekanisme demokrasi dalam proses pengambilan kebijakan di lembaga-lembaga tersebut yang mengakibatkan kebijakan yang dikeluarkan tidak tepat dan menuai kegagalan. Selanjutnya hal ini berdampak pada citra dan kredibilitas lembaga-lembaga tersebut yang terus mengalami erosi.
Dalam upaya mengatasi masalah ini, Stiglitz mengajukan dua respon. Pertama, mereformasi tatanan institusional. Kedua, berfikir lebih hati-hati tentang apa yang diputuskan dalam level internasional. Yang pertama meliputi perubahan dalam struktur voting di IMF dan Bank Dunia, dengan memberikan hak yang lebih besar untuk negara-negara berkembang; perubahan dalam hal representasi/ perwakilan, siapa yang mewakili masing-masing negara? Hendaknya menteri yang terkait dengan bidang yang dibicarakan (tidak melulu menteri keuangan atau menteri di bidang ekonomi) ; mengadopsi prinsip perwakilan dengan mengacu pada prinsip-prinsip demokrasi.
Selanjutnya perlu juga dilakukan terhadap lembaga-lembaga tersebut upaya-upaya untuk meningkatkan transparansi; memperbaiki aturan-aturan tentang conflict-of-interest; lebih terbuka, termasuk memperbaiki prosedur-prosedur; mendorong kemampuan negara-negara berkembang untuk partisipasi secara lebih bermakna dalam proses pembuatan kebijakan; meningkatkan akuntabilitas; prosedur-prosedur hukum yang lebih baik; dan lebih baik lagi dalam mendorong ‘international rule of law’.
Sementara itu dalam rangka memperbaiki kebijakan-kebijakan di level internasional dibutuhkan ‘a new global social contract’ antara negara maju dan negara yang kurang maju/berkembang. Diantaranya adalah dengan membuat (1) sebuah komitmen dari negara-negara maju untuk menciptakan rezim perdagangan yang lebih fair, (2) sebuah pendekatan baru untuk hak atas kekayaan intelektual dan promosi riset, (3) sebuah persetujuan dari negara-negara maju untuk memberikan kompensasi kepada negara-negara berkembang atas ‘their environmental services’, (4) sebuah komitmen dari negara-negara maju untuk membayar negara-negara berkembang secara lebih fair atas sumber daya mereka yang dieksploitasi negara-negara maju; (5) mereformasi arsitektur keuangan global yang akan mengurangi ketidakstabilan, dan lain sebagainya.

Komentar
Apa yang dipaparkan dan diajukan oleh Stiglitz sungguh menarik dan banyak diantaranya bernilai praktis cukup tinggi. Hal ini tentu tidak terlepas dari pengalaman Stiglitz sendiri selama berkecimpung di lembaga-lembaga tersebut maupun di dalam pemerintahan Amerika Serikat. Namun demikian, tetap perlu digaris bawahi bahwa tetap dominannya perspektif negara maju dalam pandangan-pandangan Stiglitz. Sehingga cukup melakukan ‘remake’ atau ‘reshaping’, tidak perlu sampai ‘restructuring’ yang lebih radikal atau mendasar. Sehingga kita menjadi ragu apakah tawaran solusi yang diberikan oleh Stiglitz, yang nampaknya cukup optimistis dengan solusi yang diajukannya, akan benar-benar mencukupi untuk mewujudkan globalisasi yang ‘nearly live up to its promise’?
Globalisasi secara ilmu pengetahuan dan teknologi nampaknya tetap harus kita pandang sebagai sesuatu yang tak terhindarkan (given). Karena berkat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, interkoneksi (interconnection), intensitas (intencity), dan kecepatan (velocity) menjadi sesuatu yang sungguh nyata dan semakin meningkat. Namun apakah demikian secara ekonomi dan politik harus dipandang sebagai sesuatu yang given ? Sungguh saya tidak berpikir demikian. Sikap yang lebih kritis dan berhati-hati harus ditujukan dalam memandang globalisasi secara ekonomi dan politik, melebihi apa yang dilakukan oleh Stiglitz, dari sudut pandang negara dunia ketiga/negara berkembang yang merupakan habitat kini kita berada.
Kita sepakat dengan Stiglitz agar ada upaya untuk meningkatkan peranan negara-negara berkembang dalam pengambilan keputusan di lembaga-lembaga internasional. Namun hal tersebut akan semu apabila peningkatan itu tidak sampai pada titik yang memungkinkan negara-negara berkembang memiliki potensi untuk menang yang sama (fifty-fifty) dengan negara maju dalam menggolkan suatu kebijakan. Bahkan bagi kita, mungkin yang lebih dibutuhkan bukan potensi yang sama secara aturan main, melainkan potensi untuk menang yang lebih besar dari negara-negara maju dalam menggolkan suatu kebijakan karena dengan menggolkan lebih banyak kebijakan yang menguntungkan kita, kita memiliki banyak kesempatan untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju.@

Tidak ada komentar: