Senin, 17 Maret 2008

ASEAN Power Grid

Oleh Arip Musthopa
Tanggal 23 Agustus 2007 di Singapura, para menteri energi negara-negara ASEAN menandatangani Memorandum of Understanding on The ASEAN Power Grid, dari Indonesia diwakili oleh Menteri ESDM, Purnomo Yusgiantoro. Ide dalam MoU ini bukanlah hal baru, sebagaimana disebutkan dalam MoU tersebut, secara nyata gagasan ASEAN Power Grid sebagai “electricity interconnecting arrangements within ASEAN” disepakati menjadi muatan dalam ASEAN Vision 2020 yang dirumuskan dalam Second ASEAN Informal Summit di Kuala Lumpur, 15 Desember 2007.

Pertemuan Menteri-Menteri Energi ASEAN (AMEM) tahun 1999 dan 2004 yang merumuskan ASEAN Plan for Energy Cooperation semakin menajamkan rencana pembangunan ASEAN Power Grid tersebut. Selanjutnya, pertemuan AMEM ke-20 di Bali 5 Juli 2002 mengesahkan ASEAN Power Grid’s Roadmap for Intergration, dan pertemuan ke-21 AMEM di Langkawi, Malaysia pada 3 Juli 2003 menghasilkan Final Report of the ASEAN Interconnection Master Plan Study (AIMS) sebagai dua dokumen yang menjadi rujukan implementasi proyek tersebut.
Agar dapat menjadi dokumen yang mengikat, MoU tersebut harus diratifikasi oleh masing-masing negara anggota ASEAN sebagaimana disebutkan dalam Article X (ke sepuluh) poin 2 MoU. Hal ini telah sejalan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi pasal 10 yang berbunyi:
(1) Kerja sama internasional di bidang energi hanya dapat dilakukan untuk:
a. menjamin ketahanan energi nasional;
b. menjamin ketersediaan energi dalam negeri; dan
c. meningkatkan perekonomian nasional.
(2) Kerja sama internasional, sebagaima~a dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
(3) Dalam hal Pemerintah rnembuat perjanjian internasional dalam bidang energi yang menimbulkan akibat yang 1uas dan merldasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/ atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang, harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Dalam rangka ratifikasi, hendaknya Pemerintah segera mengajukan MoU tersebut untuk segera dibahas DPR sekaligus melakukan kajian yang komprehensif dalam rangka mempersiapkan Indonesia memasuki era ASEAN Power Grid. Kebetulan saat ini kita (Pemerintah dan DPR) sedang membahas RUU Ketenagalistrikan. Dalam hemat kami, pembahasan RUU Ketenagalistrikan dan ratifikasi MoU harus dilakukan secara paralel sehingga peluang yang terdapat dalam MoU dan konsekuensi yang ditimbulkan olehnya terhadap sistem ketenagalistrikan nasional dapat dibahas dan diantisipasi dalam muatan RUU Ketenagalistrikan. Sebagai contoh tentang rezim perpajakan untuk ekspor atau impor tenaga listrik yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan apapun. Dengan adanya ASEAN Power Grid yang membuka peluang ekspor-impor tenaga listrik, kebutuhan akan aturan tentang hal tersebut menjadi mutlak dan hal tersebut dapat terjawab pada saat pembahasan RUU Ketenagalistrikan.
ASEAN Power Grid dilatarbelakangi oleh tingginya permintaan tenaga listrik di ASEAN sesuai visi ASEAN 2020 yang diperkirakan tidak dapat dipenuhi oleh masing-masing negara tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan kerjasama kolektif untuk dapat memenuhinya. Selain itu, kerjasama ini diyakini dapat mendorong upaya penyediaan tenaga listrik yang lebih efisien di kawasan ASEAN sekaligus berdampak pada pelestarian lingkungan karena mengandalkan bahan bakar non minyak dan renewable energy. Karena secara paralel, ASEAN sedang mengembangkan proyek-proyek 1) ASEAN Power Grid; (2) Trans-ASEAN Gas Pipeline; (3) Energy Efficiency and Conservation; (4) New and Renewable Sources of Energy; (5) Coal Technology and Trading; and (6) Regional Energy Policy and Planning.
Dengan sumber daya primer Indonesia yang melimpah khususnya di Batubara dan Gas serta sumber daya primer yang terbarukan yang sangat besar seperti panas bumi yang belum optimal dikembangkan, Indonesia memiliki peluang yang sangat besar untuk mengoptimalkan pasar yang tercipta dari proyek ASEAN Power Grid ini. Rencananya, ASEAN Power Grid masuk ke Indonesia dari Singapura dan Malaysia melalui Batam, Sumatera, dan Kalimantan. Hal ini harus diimbangi oleh upaya kita untuk segera membenahi sistem ketenagalistrikan di pulau-pulau tersebut yang hingga saat ini belum terkoneksi. Sistem ketenagalistrikan di Sumatera baru sebagian yang terkoneksi dalam satu kesatuan pulau dan di Kalimantan masih lebih tertinggal dari sistem yang telah ada di Sumatera. Selain itu, sistem Jawa-Sumatera juga belum terkoneksi.
Rencana pembangunan ASEAN Power Grid harus disambut dengan kacamata untuk memanfaatkan jaringan tersebut nantinya untuk ekspor energi listrik dari Indonesia kepada negara-negara ASEAN lain, bukan sebaliknya kita akan mengimpor listrik dari mereka. Oleh karena itu, kita hendaknya secara optimal memanfaatkan sumber daya primer yang banyak tersedia di Kalimantan dan Sumatera dan membangun pembangkit-pembangkit listrik skala besar disana untuk selanjutnya diekspor melalui ASEAN Power Grid. Skema ini bukan saja akan memberikan revenue kepada negara dan menjadikan industri ketenagalistrikan kita akan berkembang, namun juga secara politis akan menimbulkan ketergantungan negara-negara ASEAN terhadap pasokan energi listrik Indonesia yang tentunya akan meningkatkan nilai tawar politik Indonesia di kawasan ASEAN.
Untuk memuluskan rencana dalam poin di atas, Pemerintah tidak perlu segan untuk memberikan insentif khusus atau pengaturan khusus yang lebih meringankan bagi pelaku usaha yang mau mengembangkan pembangkit dan sistem ketenagalistrikan di Sumatera dan Kalimantan, sepanjang dia dikembangkan untuk diekspor.
Kebijakan yang berorientasi pada ekspor tenaga listrik di atas, juga harus diikuti oleh pembatasan ekspor energi primer kepada negara-negara ASEAN khususnya dan negara-negara lain pada umumnya. Bukankah, menjual dalam bentuk energi sekunder akan memberikan nilai tambah ekonomi yang lebih baik daripada menjual dalam bentuk energi primer ?! (Januari 2008)

Tidak ada komentar: