Jumat, 14 Maret 2008

Memaknai Dunia Pertambangan Nasional

Oleh Arip Musthopa, SIP
Ketua Bidang PA PB HMI 2006-2008, Pemerhati Masalah Pertambangan

Tulisan ini dirasa penting untuk dibuat berdasarkan pertimbangan bahwa makna penting pertambangan kurang banyak dipahami secara proporsional. Pertambangan lebih sering dipahami sebagai aktifitas ekonomi dan industri yang lebih banyak menimbulkan permasalahan ketimbang memberikan kemanfaatan. Dikaitkan dengan isu lingkungan hidup, pertambangan identik dengan merusak lingkungan atau sekurangnya merugikan lingkungan seperti dalam kasus PT Newmont Minahasa Raya di Teluk Buyat Sulawesi Utara.

Dikaitkan dengan pelaksanaan otonomi daerah, citra pertambangan kerap identik dengan kesemrawutan pengelolaan pertambangan di tingkat lokal yang bercirikan menjamurnya aktifitas petambang tanpa izin (PETI), petambang tradisional, atau tambang inkonvensional (TI) yang sangat kurang memperhatikan aspek kelestarian lingkungan dan minim teknologi. Selain itu, sektor pertambangan juga kerapkali diasosiasikan dengan dominasi perusahaan asing seperti Freeport, Newmont, Inco, dan lain-lain dalam pengelolaan kekayaan pertambangan nasional sehingga mudah mengundang sentimen kecemburuan ekonomi dan nasionalisme.

Citra di atas benar adanya, namun bukan semata demikian kondisi pertambangan, tidak semata negatif dan penuh masalah. Banyak sisi positif pertambangan yang penting juga diketahui karena nyata manfaatnya. Sangat penting pemahaman yang proporsional terhadap pertambangan karena pandangan yang negatif membuat kita enggan mengembangkan sektor pertambangan, padahal kita termasuk bangsa yang beruntung memiliki bahan tambang (mineral) yang melimpah karena Indonesia termasuk negara dalam rim of fire (rangkaian gunung api).

Apalah artinya kekayaan alam yang melimpah tersebut apabila tidak pernah dieksploitasi dan dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanahkan oleh UUD 1945. Meskipun eksploitasi yang tidak mempertimbangkan kelestarian lingkungan dan tidak mengoptimalkan penerimaan negara akan berdampak sangat merugikan bagi kita dalam jangka pendek maupun panjang.

Cara pandang yang proporsional terhadap pertambangan pada akhirnya akan menghantarkan kita pada pengelolaan bahan tambang yang menguntungkan bagi kita saat ini berupa nilai tambah ekonomi dan kesejahteraan serta secara jangka panjang juga tidak merugikan generasi masa depan.

Bagaimana kita dapat melihat pertambangan dari sudut pandang yang proporsional? Titik tolak yang sangat penting adalah melihat pertambangan dengan segenap karakteritiknya. Industri pertambangan adalah industri yang padat modal, padat teknologi, dan padat tenaga kerja. Hal ini disebabkan karena bahan tambang pada umumnya berada di bawah permukaan tanah dan bahan tambang terutama mineral bercampur dengan tanah dan unsur lain sehingga membutuhkan teknologi tertentu untuk dapat memisahkannya. Kondisi demikian juga menyebabkan pertambangan sebagai sektor yang high risk (beresiko tinggi) dari sisi keselamatan kerja dan secara otomatis merusak permukaan bumi karena untuk mengangkat bahan tambang perlu “merobek” permukaan bumi.

Karakteristik yang demikian sulit menyebabkan tidak mudah sektor ini dimasuki dan “dikuasai”. Perlu keahlian (teknologi), keberanian, dan kemampuan yang tinggi agar bisa eksis dan berbisnis secara wajar di sektor ini. Persoalan di daerah, dimana banyak terdapat pertambangan skala kecil, banyak muncul karena standar keahlian dan kemampuan yang tidak terpenuhi, yang dimiliki hanya keberanian dan keinginan memperoleh keuntungan yang menggebu akibatnya pengelolaan menjadi semrawut.

Karakteristik yang demikian berat juga menyebabkan tidak banyak perusahaan dalam negeri mampu terjun di sektor ini. Dalam industri tambang mineral misalnya, yang sering berkibar hanya BUMN seperti PT Aneka Tambang, Tbk dan PT Timah, Tbk. Dalam industri tambang batu bara, swasta nasional lebih bisa berkibar, BUMN malah cuma PT Bukit Asam, Tbk. Hal ini disebabkan karena pertambangan mineral lebih padat modal (dengan return of investment yang lama), padat teknologi serta resiko kerja yang juga lebih tinggi. Selain itu, pasar batu bara lebih terbuka dibandingkan produk mineral sehingga lebih mudah dipasarkan.

Titik tolak lain yang tak kalah penting dalam melihat sektor pertambangan adalah sejauh mana kontribusi pertambangan terhadap perekonomian dan penerimaan keuangan Negara. Dibandingkan sektor migas, sektor pertambangan memang jauh di bawahnya. Data tahun 2005 menunjukkan bahwa penerimaan negara dari migas (pajak dan non pajak) mencapai Rp153,335 Triliun, sedangkan sektor pertambangan umum memberikan penerimaan kepada negara (pajak dan non pajak) sebesar Rp17,685 Triliun.

Namun demikian, kontribusi dari sisi yang lain tidak dapat dipandang remeh. Menurut BPS tahun 2004, terhadap Produk Domestik Bruto pertambangan memberikan kontribusi Rp 47,3 triliun. Rp 6,7 triliun kontribusi untuk belanja dalam negeri, Rp 606 miliar untuk pengembangan masyarakat (community development) dan wilayah, US $ 66,9 juta untuk reklamasi, penutupan tambang dan pengelolaan lingkungan, dan menyerap tenaga kerja langsung sekitar 34.000-an.

Secara umum, pertambangan memberikan potensi manfaat sebagai berikut: (1) menjadi pionir roda ekonomi di kawasan tertentu, (2) mendorong pengembangan wilayah, (3) memberikan manfaat ekonomi regional dan nasional, (4) memberikan peluang usaha pendukung, (5) pembangunan infrastruktur baru, (6) memberikan kesempatan kerja, (7) membuka isolasi daerah terpencil, dan (8) meningkatkan ilmu pengetahuan dengan transfer teknologi.
Berbagai potensi manfaat tersebut tidak akan dapat kita nikmati apabila kita memiliki cara pandang yang salah terhadap sektor ini. Sikap yang underestimate maupun yang overestimate pada akhirnya mengakibatkan kita salah dalam mengeluarkan kebijakan arah pengembangan pertambangan nasional. Hal ini dibuktikan dengan data Fraser Institute yang menempatkan Indonesia dalam kategori buruk dalam Indeks Potensi Kebijakannya meskipun tergolong tinggi dalam Indeks Potensi Mineralnya.@

Tidak ada komentar: