Senin, 17 Maret 2008

Refleksi 60 Tahun HMI

Oleh Anas Urbaningrum

Meraih Kembali Tradisi Intelektual Hari ini, 5 Februari 2007, HMI genap 60 tahun. Sebagai organisasi, HMI belumlah tua. Mengapa? Sebab, tugas sejarahnya belum mencapai puncak, apalagi selesai. Masih banyak tugas dan peran yang nyata-nyata menuntut kehadiran HMI.

Parameternya jelas, yakni khitah kelahiran HMI dengan visi keislaman dan keindonesiaan yang disandang. Dalam bahasa sederhana, hisab itu berbasis pertanyaan dasar: apa yang telah disumbangkan HMI bagi umat dan bangsa?Keluarga Besar HMI paham persis bahwa Harapan Masyarakat Indonesia adalah ungkapan Panglima Besar Jenderal Soedirman dalam bagian sambutannya pada dies natalis pertama HMI di Jogjakarta pada 1948. Saat itu, Jenderal Soedirman menumpahkan harapannya agar HMI bukan semata-mata Himpunan Mahasiswa Islam, tapi menjadi Harapan Masyarakat Indonesia.Plus-MinusSepanjang 60 tahun berdiri, HMI telah menampilkan peran dan kiprah bagi umat Islam dan bangsa Indonesia. HMI tidak hanya telah melahirkan banyak alumnus yangtersebar di berbagai bidang kehidupan bangsa, tapi juga turut mewarnai sejarah modern Islam Indonesia.Berbagai model alumnus lahir dari rahim perkaderan HMI. Berbagai tipe alumnus telah bermunculan dari pembelajaran di HMI. Kiprah alumni tumbuh dan berkembang sesuai panggilan jiwa masing-masing. Bebas memilih, sebebas cara berpikir yang dikembangkan dalam kehidupan organisasi.Jujur harus dikatakan, tidak semua kiprah dan peran alumni HMI bisa menjadi teladan. Ada yang tidak berhasil melawan sifat lalai, alpa, kemudian menerima musibah nama baik. Tapi, sebagian besar adalah orang-orang yang hidup dan tampil wajar, sesuaiprofesi masing-masing. Ulet bekerja, berkarya penuh ketekunan.Ada sejarah 1950-an yang melahirkan komitmen Negara nasional, bukan negara Islam. Ada sejarah 1960-an yang lebih berwarna pergulatan politik melawan kekuatankomunisme. Ada sejarah 1970-an yang ditandai tawaran terobosan tentang gerakan kultural bagi perjuangan umat Islam Indonesia.Tapi, ada pula sejarah 80-an yang menandai hubungan akomodatif dengan negara, terutama ketika isu asas tunggal. Ada pula sejarah 1990-an yang merupakankelanjutan sejarah relasi akomodasionis antara umat Islam dan negara serta diakhiri dinamika reformasi yang ditandai berhentinya Presiden Soeharto.Sama dengan organisasi dan gerakan kemahasiswaan lain, tantangan HMI menjadi lebih berat. Kondisi eksternal yang berubah cepat, dengan berbagai warna dan dinamikanya, sangat menuntut adaptasi, kreasi peran, serta kiprah baru yang relevan dan produktif.Ketika sikap kritis menjadi hal biasa, ketika intelektualitas mudah diakses secara bebas, ketika tradisi keagamaan berkembang pesat dengan penuh warna-warni, ketika politik massa menjadi lebih menonjol ketimbang keterampilan individual dan kekuatan lobi, ketika kekuatan dana sering membabat komitmen politik, serta ketika lulusan perguruan tinggi menghadapi sempitnya lapangan kerja, di manakah posisi dan peran organisasi kemahasiswaan di Indonesia? Di situ pula HMI berada. Sungguh tantangansejarah yang berat.Tegakkan KhitahSebagai organisasi perjuangan, HMI tetap penting dan strategis. Lahan garap mahasiswa, komunitas kaum muda terdidik, adalah wilayah yang lebih unggul daripada kelompok muda lain. Meski tidak sepenting pada zaman pra-kemerdekaan, 1950 sampai 1970, posisi serta peran mahasiswa tetap penting.Mahasiswa mempunyai peluang dan kesempatan untuk melakukan mobilitas sosial menjadi kelas menengah, pada berbagai bidang kehidupan yang semakinterbagi-bagi oleh proses modernisasi.Betapa pun, kelas menengah yang muncul membesar dan kuat merupakan salah satu modal pokok bagi masa depan Indonesia. Bukan kelas menengah yang (semata-mata)lahir dari faktor darah dan keturunan atau sebab-musabab patronase politik dan birokrasi, tapi kelas menengah yang lahir otentik lantaran kemampuan akademik-intelektua lnya, kemahiran dan ketrampilan teknokratisnya, serta komitmen sosialnya untuk terlibat dalam berbagai masalah kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.HMI akan tetap hidup, tegak dan terus mampu menjalankan tugas sejarahnya, jika secara sungguh-sungguh mengonsentrasikan diri pada pengaderan mahasiswa yang dengan tajam diorientasikan kepada lahirnya komunitas kelas menengah yang mempunyai kedalaman akademik-intelektua l, kemahiran, ketrampilan teknokratis, serta komitmen sosial-politik yang memadai. Tentu, semua dipayungi komitmen dan landasan keislaman yang cukup.Dalam kaitan tersebut, HMI perlu menjaga, merawat, dan menajamkan pengaderan anggotanya dengan aksentuasi pada beberapa hal pokok. Pertama, pengkajian danpendalaman Islam adalah sisi mutlak. Kader sangat perlu dibekali wawasan dan inspirasi, pengetahuan, kesadaran dan spirit pergerakan, serta tubuh dan api Islam. Tentu, Islam dalam pengertian dan wajah modernis, pluralis, damai, kontekstual, dan bervisi masa depan. Kedua, pengembangan tradisi intelektual sangat penting dijaga dan dibangkitkan kembali. Itulah salah satu karakter yang menjadi bagian sejarah HMI. Jika sekarang intelektualitas dan tradisi intelektualisme agak menurun, tidak ada jalan lain kecuali menggali kembali "harta karun" tradisi intelektual yang dulu pernah berkembang.Ketiga, pengembangan tradisi kepemimpinan yang demokratis dan mengakar. HMI masih berpotensi menjadi salah satu ladang bagi lahirnya kepemimpinan sipildari kalangan Islam moderat –berpaham nasionalis-religius Islam. Kader-kader HMI, baik yang terjun lebih cepat ke jalur partai politik, menjadi akademisi atau jalur intelektual di kampus, maupun yang menempa diri di jalur LSM, dituntut tidak hanyamampu dan matang secara politik, terampil berorganisasi, dan mahir berkomunikasi sosial, tapi juga semakin dituntut untuk membangun basis dan akar politik yang memadai. Selamat dies natalis ke-60. Wallahu a’lam. (Jawa Post, 5 Feb 2007)Anas Urbaningrum, ketua umum PB HMI periode 1997-1999

Tidak ada komentar: