Senin, 10 Maret 2008

HMI dan Konstruksi Abad XXI

Oleh Arip Musthopa
Ketua Bidang Pembinaan Anggota PB HMI 2006-2008

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) lahir pada 5 Februari 1947. Berarti, sekitar pertengahan abad XX dan delapan belas bulan pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Nuansa ideologis sangat kuat mewarnai kelahirannya. Terutama ideologi nasionalisme dan semangat keislaman. Dalam perjalanannya selama 61 tahun, HMI mampu mensinergikan antara keduanya. Menjadi tidak asing di HMI, bahwa wacana keindonesiaan dan keislaman, bukanlah dua wacana yang terpisah. Keduanya merupakan dua ruang pemikiran yang saling mengisi dan tidak layak untuk dipertentangkan. Diantara dua ruang pemikiran inilah, pemikiran-pemikiran genuine anak-anak HMI dan alumninya banyak dilahirkan.


Semangat kelahiran tersebut yang sering dijadikan pijakan anak-anak HMI dalam berargumentasi bahwa konsepsi negara kebangsaan bisa diterima dan agenda membentuk Negara Islam tidak lagi relevan untuk dibicarakan. Selanjutnya entitas Islam tidak diutamakan untuk dilihat sebagai simbol melainkan sebagai nilai-nilai yang diekstraksi kepada keuniversalannya dan lebih tepat mewujud sebagai ‘penanda’ dari pada ‘petanda’. Sehingga pertanyaan yang muncul, bukan apakah berstatus Islam atau tidak, melainkan seberapa relevan, mewarnai, dan bermanfaat nilai-nilai Islam bagi individu dan bangsa yang memeluknya beserta perkembangan zaman yang mengiringinya.
Kerangka dasar inilah yang menstimulasi kegerahan para intelektual muslim muda yang tergabung di HMI berinisiatif melakukan gerakan pembaruan pemikiran Islam. Naskah Nilai-nilai Dasar Perjuangan yang disusun oleh Nurcholish Madjid dkk yang disahkan di Kongres HMI IX Malang tahun 1969, bukan saja monumental bagi sejarah pemikiran Islam di HMI, namun juga sejarah pemikiran Islam di Indonesia.
Dengan karakternya yang obsesif dengan kemodernan, Nurcholish dkk berhasil menyiapkan landasan pemikiran yang memungkinkan muslim Indonesia kompatibel bagi isu-isu pembangunan, demokrasi, dan hak asasi manusia. Perbedaan paradigma dalam memandang dan menghasilkan komponen kemodernan kerapkali memunculkan ketegangan diantara dunia Barat dan Islam. Namun Nurcholish Madjid dkk sejauh ini cukup berhasil menyiapkan landasan pemikiran (ideologi) bagi pertemuan keduanya di ruang universalisme.
Selanjutnya, fase ideologis khas abad XX yang mewarnai semangat kelahiran HMI yang dikembangkan dan diperbarui oleh Nurcholish Madjid dkk tersebut diaksentuasikan dengan strategi perjuangan HMI yang cenderung bergerak dengan karakter state/political structural oriented) sehingga alumninya berbondong-bondong berkumpul di dunia politik dan birokrasi. Memang banyak alumni HMI yang juga eksis di dunia swasta dan akademik, namun dalam arus utama mindset kader dan alumni ukuran kesuksesan dan ruang utama pengabdian adalah pada posisi politik.

Paling tidak itulah arus utama yang nampak hingga saat ini yang memang sinergis dengan kebutuhan zamannya dan telah berhasil mencatatkan prestasi yang mengesankan. Namun kini zaman telah beralih. Abad sudah berganti, bukan lagi abad XX melainkan abad XXI yang tentunya akan membawa karakteristik sendiri yang berbeda dari abad XX. Masih akan relevankah karakteristik HMI yang didominasi state/political structural oriented tersebut?
Karakteristik Abad XXI
Agak sulit kita menggambarkan karakteristik abad XXI saat ini karena terlalu banyak kemungkinan yang dapat terjadi dalam masa waktu sekitar 100 tahun ke depan. Namun paling tidak apa yang kita sebut sebagai karakteristik awal abad XXI sudah dapat kita identifikasi dari berbagai peristiwa politik dan ekonomi serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di akhir abad XX dan dasawarsa pertama awal abad XXI ini.
Bila abad XX adalah abad industri dan ideologi, maka abad XXI merupakan abad teknologi informasi dan ekonomi. Thomas L. Friedman sudah berani menyebut dunia, seperti halnya Plato menyebutnya sekitar 2400 tahun yang lalu: The World is Flat. Baginya, dunia yang mengalami globalisasi bukan lagi digerakkan oleh driving force berupa Negara dan perusahaan multinasional seperti dalam globalisasi gelombang 1.0 dan 2.0, melainkan oleh individu. Globalisasi, berkat perkembangan teknologi informasi menjadi mungkin digerakkan oleh individu-individu. Globalisasi gelombang 3.0 ini memungkinkan bagi individu tanpa atas nama dan difasilitasi oleh Negara dan perusahaan besar mampu berbuat hal-hal yang besar.
Teknologi informasi lebih dahsyat dari teknologi transportasi dalam menyederhanakan ‘jarak’ (dimensi ruang-waktu sekaligus). Penyederhanaan inilah yang merubah sendi-sendi kehidupan masyarakat tercerabut hingga ke akar-akarnya. Komunikasi dan Silaturahmi menjadi lebih mudah, murah, dan cepat. Informasi mengalir lebih deras. Akibatnya struktur, hierarki, dan komando menjadi kurang bermakna. Seketika dunia menjadi mengecil dan seolah datar karena tidak lagi dibatasi oleh “dinding-dinding” geografis dan politis.
Karena komunikasi, silaturahmi, arus informasi menjadi lebih intens, maka kehidupan menjadi lebih dinamis dan berwana. Bila demikian, maka perubahan batas dan identitas hanyalah menunggu waktu. Apa yang kita anggap penting, dengan cepat akan menjadi kurang atau malah lebih penting. Informasi dan momentum menjadi sangat bernilai. Singkatnya, intensitas kehidupan meningkat.
Bila arus informasi meningkat, maka pergerakan modal dan juga ekonomi menjadi lebih labil karena mudah terpengaruh oleh informasi. Batas-batas Negara menjadi kabur, maka yang berlaku adalah ‘capital has no flag’. Negara tidak dapat lagi sepenuhnya mengendalikan aliran finansial.
Bila demikian, individu dan organisasi seperti apa yang dibutuhkan di abad XXI? Ternyata bukan sekedar individu yang knowledge-intensive melainkan juga berbakat. Kombinasi individu yang knowledge-intensive dan berbakat yang mampu bertahan dan tampil dipermukaan. Selanjutnya, organisasi yang dituntut adalah organisasi yang responsif, cepat bereaksi, dan cost-effective. Organisasi gemuk tidak lagi dibutuhkan, yang ada adalah ‘flat organization’. Dengan demikian, organisasi harus melakukan downsizing (perampingan) dan merombak strukturnya menjadi lebih datar.
Flat organization memungkinkan organisasi ‘menari’ dengan lebih lincah dan dapat tampil ‘seksi’ dibanyak kesempatan. Oleh karena itu, pemberdayaan anggota dan pengurus organisasi di garis depan (frontline) perlu diperhatikan secara khusus.
Agenda ke Depan
Kondisi HMI saat ini baik secara mindset maupun mekanisme dan infrastruktur organisasi masih belum kompatibel dengan kebutuhan organisasi yang dituntut abad XXI. Kondisi tersebut direpresentasikan oleh belum terciptanya kemandirian (pendanaan) organisasi, manajemen organisasi yang belum berbasiskan teknologi informasi, wawasan dan mindset kader yang belum konstruktif sesuai tantangan dan tuntutan abad XXI, serta infrastruktur organisasi yang belum mendukung bagi terselenggaranya roda organisasi yang cost-effective, dan lain-lain.
Akibat dua periode kepengurusan PB HMI mengalami konflik dan alumninya yang tergabung dalam KAHMI masih terbagi dua, HMI banyak mengalami kerugian untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan di lingkungan eksternalnya yang berlangsung cepat. Kepemimpinan PB HMI periode 2006-2008 saat ini cukup efektif menyediakan stabilitas dan stimulus awal bagi penataan organisasi. Hanya saja belum ada visi dan ‘peta jalan’ (roadmap) yang jelas untuk melakukan tranformasi sumber daya manusia dan postur organisasi sehingga lebih kompatibel bagi tantangan dan tuntutan abad XXI.Tahun 2008 HMI akan berkongres untuk yang ke-26. Kongres dan kepemimpinan pasca Kongres tersebut harus mengambil momentum untuk meletakkan landasan dan melakukan transformasi sumber daya manusia dan postur organisasi bila HMI tidak mau rugi untuk yang kesekian kalinya. Dirgahayu HMI ke-61, Jayalah kembali.@

1 komentar:

yjuniardi mengatakan...

smoga d abad 21 hmi masih eksis brperan dn membri maslahat dan rahmatan lil alamin