Senin, 17 Maret 2008

Ziauddin Sardar: 'Islam Itu Seperti Samudra’

Sepekan di Indonesia, memberi gambaran yang bagus bagi pemikir Islam asal Inggris, Ziaudin Sardar, tentang masa depan Islam. Menurut dia, Indonesia adalah bentuk Islam di masa mendatang. Keberagaman yang ada di Indonesia, dinilainya bisa menjadi ikatan yang menyatukan. Dalam situasi perbincangan yang santai di salah satu ruang di British Council, Jakarta, dia menerima Iman F Yuniarto, Johar Arief, dan Irfan Junaidi, dari Republika untuk berbincang tentang masa depan dan agenda Islam. Berikut isi perbincangannya:

Bisa Anda gambarkan bagaimana masa depan Islam? Ya, kebanyakan orang berpikir bahwa Islam itu seperti sungai, yang diapit oleh batas, dan hanya mengalir ke satu arah. Tapi saya menganggap Islam itu seperti samudra yang tidak punya batas yang riil. Di samudra, Anda bisa mengarahkan budaya masyarakat pada arah tertentu yang dimiliki Islam. Di sungai, Anda tidak memerlukan penentuan arah. Di samudra, Anda memerlukan arah, karena Anda bisa bergerak ke manapun. Itulah nilai-nilai Islam. Menurut saya, kebanyakan Muslim tidak benar-benar memahami nilai Islam. Mereka pikir nilai Islam itu hanya shalat, puasa, zakat. Mereka tidak berpikir bahwa bertanya itu adalah juga nilai Islam. Mereka tidak menjadikan bertanya sebagai kunci dari nilai-nilai Islam. Padahal, kalau Anda lihat Alquran, di sana penuh dengan pertanyaan. Dialog pertama Nabi (Muhammad SAW) saat menerima wahyu adalah bertanya. Saat Nabi diminta untuk membaca, beliau mempertanyakan, apa yang harus dibaca. Jadi mengapa kita tidak jadikan bertanya sebagai nilai Islam. Jadi, buat saya, bertanya itu adalah nilai dasar Islam. Selain itu, membaca, berpikir, dan menulis, adalah juga nilai-nilai Islam. Bahkan, nilai ini datang lebih awal sebelum perintah shalat dan puasa. Dan jika Anda melihat masyarakat Muslim, satu hal yang tertinggal adalah membaca. Menulis juga tidak menjadi sesuatu yang diperhatikan dalam masyarakat Islam. Nilai lainnya yang juga penting adalah ijma' (konsensus). Mengapa ini penting. Karena dalam Islam juga dikenal debat dan mengkritik. Kalau Anda debat atau memberi kritik, berarti ada berbedaan pendapat. Tapi seseorang tidak bisa memaksakan pendapatnya. Anda bisa laksanakan pendapat jika sudah ada ijma'. Masyarakat Islam tidak pernah setuju dengan sesuatu yang salah. Musyawarah menjadi nilai Islam yang mendasar. Musyawarah itu berbeda dengan konsultasi. Musyawarah itu merupakan bentuk pertanggungjawaban. Konsultasi itu tidak mengandung pertanggungjawaban. Dan konsultasi itu hanya berupa pertanyaan yang sifatnya personal. Ada banyak mekanisme musyawarah. Pemilihan, referendum, adalah bagian dari musyawarah. Saya kira saat ini Muslim tidak punya navigasi, karena nilai-nilai yang dipegang hanya nilai-nilai yang bersifat ritual. Yang dipegang bukan nilai-nilai yang nyata. Jadi, menurut saya, masa depan Islam itu memiliki banyak arah. Jadi, saya tidak melihat masa depan Islam hanya bergerak pada satu arah. Karena itu, buku saya menyebut Islamic futures (huruf s di akhir kata menunjukkan jamak), bukan Islamic future, atau The Islamic future. Banyak sekali jalan untuk menjadi Muslim. Jadi masa depan Islam itu terbuka, beragam, dan dinamis. Islam itu bukan hanya satu, tapi beragam. Jadi menurut Anda, masa depan Islam itu cerah apa suram? Ya, itu pertanyaan yang akan saya jawab. Masa depan yang baik ataupun yang buruk itu tergantung kita. Masa depan bisa kita bentuk. Jadi, kalau kita bentuk agar masa depan menjadi suram, itu salah total. Tapi kalau kita ciptakan masa depan menjadi cerah, itu perjuangan kita. Jadi itu tergantung kita, bukan tergantung pada sesuatu yang abstrak. Saya percaya kita bisa membuat masa depan yang baik. Saya pikir, para cendekiawan muda di dunia Islam telah menyediakan sesuatu yang bisa diharapkan. Mereka bangkitkan Islam dalam berbagai aspek. Tapi kalau kita pikir bahwa ritual adalah segalanya, kita tidak akan pernah bisa bergerak ke manapun. Dan kita tidak akan berada di mana-mana dalam 500-600 tahun mendatang. Apakah masa depan Islam itu harus seperti kejayaan Islam di masa lalu? Tidak. Kalau Anda berjalan maju, terus Anda lihatnya ke belakang, maka Anda akan membentur sesuatu. Jadi kalau Anda maju, lihatlah ke depan. Tapi kalau perlu melihat ke belakang, jadikan itu sebagai momentum. Itulah yang disediakan sejarah. Kita perlu belajar sejarah, kita perlu maju dengan tradisi kita, tapi kita tidak boleh terkekang oleh tradisi kita. Tradisi itu hanya jadi batasan yang kaku. Berbagai tradisi itu diperlukan untuk memajukan masyarakat, bukan untuk mengekang. Saat ini kita sedang menghadapi isu besar berupa kampanye melawan teroris. Menurut Anda, apa dampaknya terhadap masa depan Islam? Menurut saya, isu terorisme telah menghambat kemajuan perkembangan masyarakat Islam. Saat ini, kalau Anda lihat masyarakat Muslim, kita akan lihat apa yang sebenarnya diperlukan masyarakat Muslim. Kebanyakan mereka kesulitan pendidikan. Lihatlah laporan UNDP. Lihatlah, di seluruh kawasaan Timur Tengah, tidak ada satu universitas yang bertaraf internasional. Dari Maroko sampai Iran, tidak ada satu universitas yang bertaraf internasional. Di Timur Tengah, pemerintahannya juga masih kerajaan serta menekan. Jadi agenda kita adalah terorisme dan agenda ini. Terorisme tidak akan mengatasi masalah (keterbelakangan dunia Islam) ini. Kita harus akui bahwa dunia Barat mempengaruhi Mubarak (presiden) di Mesir. Dunia Barat juga membuat penjajahan dan kekacauan di Irak, dan sebagainya. Itu benar. Tapi terorisme tidak akan bisa membuat Barat untuk tidak melakukan itu semua. Jadi problem bagi dunia Islam, bukan hanya kekuatan Barat, tapi juga kondisi dunia Islam sendiri. Haruskah kita terlibat dalam perang melawan terorisme itu? Ya, lihatlah contoh. Anda punya dua peristiwa pengeboman di Bali. Anda harus hentikan mereka yang jadi pelakunya. Jadi orang Indonesia bertanggung jawab untuk melakukan sesuatu yang bisa mencegahnya. Jadi mereka tidak membunuh manusia yang tidak berdosa. Saya pikir, kalangan ekstrem dalam masyarakat Muslim itu adalah minoritas. Tapi ini juga menjadi bagian dari tanggung jawab kita. Kalau Anda tidak bicara dengan mereka, kita izinkan mereka menjadi sesuatu yang tidak terlihat. Kalau Anda bicara dengan mereka, mereka akan menjadi terlihat. Manusia yang terlihat tidak akan mau menjadi teroris. Kita seharusnya tidak membiarkan mereka hidup hanya dalam dunia mereka yang terpisah dari kita. Apa yang membuat mereka tidak terlihat? Karena mereka berada di pinggiran. Mereka ingin sembunyi dan hanya bertukar pikiran hanya dengan anggota kelompok mereka. Kita perlu membawa mereka dalam komunitas dan tidak membiarkan mereka tersembunyi di pinggir. Kita sangat terbuka untuk berdialog dengan mereka. Kita tak boleh mereka mengambil anak-anak muda untuk dicuci otaknya. Sebagian kami menganggap bahwa perang terhadap terorisme sebenarnya perang terhadap Islam. Anda setuju? Saya pikir, terorisme paling menjadi masalah bagi umat Islam disbanding bagi umat lain. Umat Islam paling banyak menjadi korban dari aksi terorisme. Dalam 15 tahun terakhir, ratusan Muslim di Pakistan meninggal akibat serangan teroris. Ada juga satu kelompok Muslim yang membunuh Muslim yang lain, seperti yang terjadi antara Syiah dan Sunni. Hal serupa di Arab Saudi, Mesir, Yordania, dan sebagainya, yang terbunuh adalah Muslim. Bahkan tragedi 9/11, juga membunuh banyak Muslim. Bahkan tragedi 7/7 di London, juga membunuh banyak Muslim. Jadi terorisme menjadikan Muslim sebagai sasaran pertama. Jadi kalau menganggap perang melawan terorisme adalah perang melawan Islam, itu adalah mental dari korban yang terluka. Mereka berpikir tidak ada yang salah dengan dunia Islam. Yang selalu salah adalah Barat. Kita tertekan, sebabnya Barat. Kita tertinggal, sebabnya Barat. Kita lalai,sebabnya Barat, dan sebagainya. Semuanya, disebabkan Barat. Ini sangat berbahaya. Jadi sebenarnya di mana posisi Barat terhadap dunia Islam? Ini sangat jelas bahwa Barat adalah kekuatan yang dominan. Anda tahu bahwa kekuatan itu datang dari pengetahuan. Anda tahu bahwa kita memerlukan pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan dan kemajuan ekonomi. Militer hanyalah bagian kecil dan kekuatan itu. Anda tidak akan punya kekuatan militer jika tidak punya kekuatan ilmu pengetahuan. Dan kita lemah dalam semua ini. Kekuatan itu harus diusahakan, bukan datang begitu saja. Apa yang harus dilakukan dunia Islam terhadap kekuatan Barat? Menurut saya, dunia Islam harus mengajak dunia Barat. Ini era global. Kita harus turut serta dalam pemberdayaan yang dilakukan masyarakat dalam konteks yang sejajar. Saat ini kita tidak sejajar dalam kaitannya memajukan ilmu pengetahuan, riset, dan pemberdayaan masyarakat. Terlalu banyak perbedaan. Kita harus membangun kembali pemberdayaan masyarakat kita. (Republika - Senin, 09 Oktober 2006)

Tidak ada komentar: